Oleh: Ratika Juliansih*
Ajaran Islam bahkan meniscayakan umatnya agar berilmu dan beriman (Q.S. Al-Mujādilah: 11), serta sebaliknya jangan sampai bertindak tanpa ilmu sebagaimana firman Allah yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra: 36). Ilmu membentuk manusia menjadi alim atau ulama. Ulama adalah mereka yang berilmu.
Dua ayat rujukan dalam Al-Quran tentang ‘ulama —bentuk jamak dari ‘ālim— dalam Surah Al-Faṭīr ayat ke-28 menunjuk pada mereka yang memiliki ilmu dengan jiwa “khasyyah” (takut, bertaqwa) kepada Allah, serta “ulama Bani Israil” yang mengetahui akan turunnya Nabi Muhammad (Q.S. Asy-Syu‘arā’: 197). Sementara mereka yang berilmu, berpikir, dan saleh banyak dirujuk dalam Al-Quran maupun Hadis Nabi, yang menunjukkan derajat kualitas manusia berilmu secara multi-sifat dan aspek.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof.Haedar Nashir, menyampaikan pidato di Milad Muhammadiyah ke-109 yang mengusung tema “Optimis Hadapi Covid-19:Menebar Nilai Utama.” Prof. Haedar mengatakan, “Muhammadiyah dalam memperingati Milad ke-109 niscaya bergerak makin dinamis dalam membangkitkan para anggota dan seluruh institusinya.”Jadikan momentum terbaik ini sebagai pintu mengembangkan dakwah, tajdid, dan ijtihad kolektif guna mendorong semangat al-taghyir (perubahan), al-tanwir (pencerahan), dan al- taqaddum (kemajuan) untuk membangun Muhammadiyah yang unggul berkemajuan di tanah lokal, nasional, dan global,”
Prof. Haedar menegaskan pula, “Para pimpinan Muhammadiyah dari seluruh lapisan niscaya gigih memajukan umat dan bangsa melalui amal usaha dan kerja-kerja unggulan seraya terus belajar, memperkaya, mengembangkan, serta mempromosikan pemikiran-pemikiran maju. Menanggapi atau berdialog dengan pemikiran yang berbeda dari berbagai kalangan mesti dilakukan dengan pemikiran dan ilmu yang mendalam dan berhorizon luas, bukan dengan pikiran-pikiran dangkal dan apologia. “Para pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dapat menjadi suluh kemajuan dengan jiwa ilmu dan hikmah disertai uswah hasanah”.
Selain itu hal yang ditegaskan oleh Haedar, “Para kader Muhammadiyah dengan integritas iman, kepribadian, dan nilai-nilai utama yang diajarkan Islam dan tradisi Kemuhammadiyahan yang berkemajuan niscaya mampu berdiaspora di berbagai lapangan dan ramah kehidupan. Agar tetap ikhlas dalam ber- Muhammadiyah, berkomitmen tinggi, berkhidmat, bekerjasama dan menjalin kebersamaan, bekerja secara sistemik dan terorganisasi, menjadikan persyarikatan unggul berkemajuan, serta memperluas gerak Muhammadiyah dalam memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta”.
Saya adalah orang yang awalnya tidak punya latar belakang tentang Muhammadiyah. Dulu, sebelum saya masuk ke kampus Muhammadiyah dan mempelajarinya, saya tidak tahu Muhammadiyah itu seperti apa, karena saya belum pernah mempelajarinya. Tapi, meskipun saya masih belum mengenal Muhammadiyah, dalam hati kecil saya saat itu telah mengagumi beberapa hal dari Muhammadiyah. Misalnya, saat saya diundang menghadiri acara peringatan Hari Besar Islam di salah satu sekolah Muhammadiyah (saat itu saya sebagai anggota OSIS dan masuk dalam sesi keagamaan), saya sempat kagum sama penceramahnya.
Meskipun dalam benak saya, dia kurang saleh dan tidak mencerminkan seorang ustadz lantaran tidak pakai sarung, peci, dan sorban, tapi saya kagum dengan beberapa hal: pertama, sang penceramah ini disambut secara biasa saja para hadirin. Kesan saya antara jamaah dan ustadz ini begitu akrab, berbeda dengan tradisi saya yang ketika ada ustadz datang semua orang berebut cium tangan. Kemudian saat ceramah, saya lihat ceramahnya juga lain, tidak banyak dalil, tapi actual dan terkesan cerdas. Apalagi dia masih muda dan kebetulan tampan.
Hingga akhirnya saya ingin mencoba untuk bisa mengenal Muhammadiyah dan apa bedanya dengan yang lain. Sehingga setelah lulus SMA, saya memilih jurusan yang saya inginkan tetapi di kampus Muhammadiyah. Dan saya memilih kampus Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Nah, barangkali teman-teman mahasiswa sekalian ada yang punya latar belakang seperti saya. Atau saya kira di masyarakat kita masih ada juga yang masih salah sangka terhadap Muhammadiyah seperti saya dulu.
Di sisi lain pendidikan AIK (Al-Islam Kemuhammadiyahan) merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pembelajaran yang harus diberikan di perguruan tinggi atau universitas khususnya di lingkungan Universitas Aisyiyah Yogyakarta ( UNISA ) untuk membentuk karakter mahasiswa yang unggul. Prioritas utama yang ingin dicapai setelah mengikuti kuliah kemanusiaan dan keimanan, ibadah-ibadah, akhlak dan muamalah adalah ingin memiliki jiwa tauhid yang murni, beribadah hanya kepada Allah swt., berbakti kepada orang tua serta bersikap baik terhadap kerabat, memiliki akhlaq yang mulia, berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama. Secara umum, mahasiswa menyetujui terhadap adanya AIK. Hal tersebut tercermin dari persepsi mahasiswa yang menilain bahwa AIK perlu diberikan kepada mahasiswa karena keberadaan Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) tidak lepas dari cita-cita Kemuhammadiyahan.
Harapan kita untuk membangun nilai dalam diri kita dan keluarga adalah penghormatan dan kepatuhan pada orang tua, Kesejahteraan lahir batin segenap anggota keluarga, loyalitas, solidaritas serta gotong royong yang murni di antara segenap anggota keluarga. Memahami pendidikan khususnya pendidikan Islam berarti harus menganalisa secara paedagogis suatu aspek utama dari misi agama yang di turunkan kepada manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Islam sebagai petunjuk ilahi mengandung implikasi paedagogis yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin, muslim muhsin dan mutaqin melalui proses tahap demi tahap.
Di bawah itu juga, harapan kita sebagai mahasiswa untuk membangun nilai utama di kampus dan di lingkungan masyarakat adalah dengan kreatif dan mampu memecahkan masalah dengan tepat, Pembelajar yang rajin, kritis, disiplin, berpengetahuan luas dan berwawasan global. Mampu berkomunikasi dengan baik, siap mengambil resiko apapun, bekerja keras dan cerdas, mempunyai integritas yang tinggi, toleran, mencintai sesama, dan fleksibel dalam berinteraksi.
Kyai Dahlan telah meletakkan pondasi dan merintis perjuangan Muhammadiyah dengan segala pengorbanan meski di kala fisiknya melemah dan keaadaan serba terbatas. Tentu bagi para pemimpin persyarikatan saat ini bagaimana meneruskan secara lebih gigih dalam memajukan Muhammadiyah. Lebih-lebih setelah diberi amanat oleh Muktamar, Tanwir, Musywil, Musyda, Musycab, Musyran, dan mandat organisasi lainnya. Keadaan Muhammadiyah saat ini lebih baik dan memiliki fasilitas relatif mudah, maka dituntut tanggungjawab lebih tinggi dari para pimpinannya.
Dalam bermuhammadiyah memang memerlukan pemikiran dan langkah sistematis dengan basis koridor prinsip, sistem, dan mekanisme organisasi yang menjadi rujukan bersama. Jika memiliki pemikiran alternatif terbuka untuk didialogkan sesuai dengan koridor di persayarikatan. Bukan pikiran dan langkah individual, lebih-lebuh sekadar pikiran lepas. Bermuhammadiyah itu harus berpikir sekaligus bekerja dan berkorban secara kolektif dan tersistem. Karenanya para pimpinan di seluruh tingkatan pasca Tanwir Bengkulu 2019 kian dituntut tanggungjawabnya yang tinggi dalam memikirkan dan menjalankan amanat organisasi untuk membawa Muhammadiyah menjadi semakin berkemajuan. Pesan Kyai Dahlan sangatlah tegas, “agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya.”!
* Mahasiswi S1 Kebidanan Semester 3 di Universitas Aisyiyah Yogykarta