Oleh: Lyland Wilujeng*
Muhammadiyah itu gerakan Islam, maka Islam harus menjadi landasan nilai, jiwa, pemikiran, dan cita-cita gerakannya. Watak pergerakan Muhammadiyah menyatu dan melekat dengan Islam. Olehnya itu segala hal selalu dipertimbangkan berdasarkan prinsip dan pedoman ajaran Islam. Ajaran Islam yang menjadi aspek hidup utama menyangkut akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah-dunyawiyyah dipahami dan di amalkan berdasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Muhammadiyah sendiri bukan organisasi atau pergerakan biasa, tetapi pergerakan dakwah. Artinya segala gerakannya selalu berdimensi dakwah yakni berjiwa, berpikiran, dan bertindak dakwah. Karakter dakwah yang melekat dalam Muhammadiyah menjadikan dirinya memandang segala persoalan dari sudut dakwah, yaitu mengubah keadaan menjadi lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Muhammadiyah tidak berada dalam posisi gerakan Islam yang ekstrem, radikal, fundamentalis, liberal apalagi sekuler. Posisinya tengahan alias wasithiyah atau moderat, inilah karakter khas Muhammadiyah. Sebuah pergerakan Islam selalu memiliki banyak pertautan, sehingga posisi tengahan itu dalam hal akidah, ibadah, akhlak memiliki watak khasnya sendiri yang tampak sifatnya yang berdimensi purifikasi; sementara dalam mu’amalah-dunyawiyyah berorientasi dinamisisasi.
Muhammadiyah sudah lama dikenal luas oleh masyarakat, baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Bahkan Presiden Soeharto pernah mengatakan “Siapa yang tidak mengenal Muhammadiyah?” dan beliau menyatakan diri sebagai “bibit Muhammadiyah”. Kiai Haji Ahmad Dahlan serta Nyai Walidah Dahkan selain pendiri Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, juga diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.
Muhammadiyah tentu perlu dikenali dan dipahami dari berbagai aspeknya yang melekat dengan jati diri gerakan Islam ini. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang berdiri di Yogyakarta pada 18 November 1912 Miladiyah atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah dengan pendiri Kiai Haji Ahmad Dahlan. Muhammadiyah sejak awal berdirinya menjalankan misi dakwah untuk menyebarluaskan serta mewujudkan ajaran Islam dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat.
Muhammadiyah saat ini menghadapi era baru globalisasi, suatu zaman di mana antar negara dan bangsa nyaris tidak ada sekat. Muhammadiyah sudah beberapa periode terutama sejak era Prof. Dr. Din Syamsuddin merintis dan memperluas kehadirannya di ranah global atau dunia Internasional. Dari kehadiran PCIM-PCIA (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah) di berbagai negara yang semakin bertambah jumlahnya.
Pada tahun 2016 Muhammadiyah merintis pendirian Universitas Muhammadiyah Malaysia. Diskusi dan penjagaan terus dilakukan agar terwujud perguruan tinggi Muhammadiyah di kawasan ASEAN. Semua langkah tentu dilakukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan, serta PTM terkait.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga merintis pendirian perguruan Muhammadiyah dari TK ABA (‘Aisyiyah Bustanul Athfal) sampai tingkat dasar dan menengah di Melbourne Australia. Langkah ini merupakan gerak strategis bahwa Muhammadiyah melakukan ekspansi pendidikan ke ranah global untuk menyebarluaskan pandangan Islam berkemajuan sebagai bentuk kinerja dari Internasionalisasi Muhammadiyah melalui program unggulan, sehingga bukan merupakan wacana belaka. Melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah yang menggelobal tersebut akan lahir muslim terpelajar yang kuat iman dan akhlaknya, tetapi juga cerdas dan berwawasan global.
Muhammadiyah terbilang sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dengan usianya yang sudah 109 tahun, ia telah menjadi organisasi Islam yang sangat besar. Muhammadiyah bahkan di kenal sebagai organisasi modern Islam terbesar bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Muhammadiyah lahr, tumbuh, dan berkembang besar dengan penuh perjuangan yang dinamis antara pasang dan surut, serta melewati berbagai macam rintangan dan tantangan.
Saat mendirikan Muhammadiyah bersama para murid dan sahabatnya, pendirinya, Kiai Haji Ahmad Dahlan sungguh dihadapkan pada banyak penetangan. Kiai Haji Ahmad Dahlan bahkan dianggap kafir atau menyimpang dari Islam karena memperkenalkan paham pembaruan. Padahal pendiri Muhammadiyah tersebut justru mengajak umat Islam untuk kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sebenar-benarnya dengan mengembangkan ijtihad untuk menghadirkan Islam dalam menjawab masalah dan tantangan zaman.
Kepeloporan pembaruan Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga di tunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917. Ide dasarnya lahir dari pandangan Kiai agar perempuan Muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan.
Kini Muhammadiyah memasuki milad ke 109 tahun itu bukan waktu yang sebentar sebagai tonggak baru untuk mengawali perjalanan mengemban gerakan pencerahan. Para pimpinan Muhammadiyah dari hari ke hari makin menghayati betul betapa berat tetapi mulia mengemban misi dakwah dan tajdid untuk mencerahkan umat manusia, dan digerakkan dengan hati ikhlas, mujahadah, dan secara berjamaah-berjamaah.
Ada kenikmatan rohaniah dalam bermuhammadiyah, meskipun boleh jadi melelahkan dan menggembirakan. Hal itu karena mereka yang berada di Muhammadiyah dan menggerakan organisasi Islam, ini bukan sekadar berkiprah yang bersifat praktis-fisik, tetapi rohaniah dan ada idelisme filosofis-ideologisnya. Dengan demikian dalam menjalankan misi gerakan kedepan sangatlah penting peta jalan sekaligus komitmen gerakan dari para penggerak persyarikatan.
* Mahasiswa S! Kebidanan Semester 3 Universitas Aisyiyah Yogyakarta