KHITTAH.co- Muktamar merupakan forum tertinggi organisasi di Persyarikatan Muhammadiyah. Sebelumnya, istilah yang digunakan untuk forum ini adalah ‘kongres’. Lebih lama lagi, di awal-awal berdirinya Persyarikatan ini, istilah yang digunakan hanyalah ‘rapat’.
Istilah muktamar digunakan pertama kali pada 1944, itu pun ada kata ‘darurat’ disematkan, sehingga menjadi ‘Muktamar Darurat’. Kala itu, tampuk kepemimpinan beralih dari K.H. Mas Mansur kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Istilah ‘muktamar’ saja, tanpa sematan kata apa pun setelahnya, baru digunakan pada tahun 1950. Setelah tahun 1944, forum semacam muktamar baru dihelat pada 1946, tapi menggunakan istilah “Silaturahmi se-Jawa”.
Untuk istilah ‘kongres’, baru digunakan pada 1926. Waktu itu, forum tertinggi persyarikatan dihelat di Surabaya yang mendapuk K.H Ibrahim sebagai “Ketua” Muhammadiyah.
Sementara itu, istilah ‘rapat’ digunakan sejak awal berdirinya Muhammadiyah, yakni sejak K.H. Ahmad Dahlan mendirikan gerakan sosioreligius ini. Istilah rapat bertahan 13 tahun, yakni sejak 1912 sampai 1925.
Muktamar “Khusus”?
Baru-baru ini, dalam pidato pembukaan Tanwir Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir menyebut terma ‘Muktamar Khusus’.
Wujud dari muktamar khusus tersebut baru jelas tampakannya ketika model muktamar yang akan dihelat pada 18–20 November 2022, di Surakarta tersebut dijadikan sebagai hasil tanwir.
Muktamar 48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Surakarta, dihelat secara luar jaringan (luring) dan dalam jaringan (daring). Maksudnya, ada yang hadir langsung di forum Muktamar (offline), ada pula yang via internet saja (online).
Dalam Muktamar 48 nantinya, yang mungkin itulah “Muktamar Khusus” tersebut, Anggota Tanwir, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah, dan Ketua Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah menghadiri Muktamar secara luring di Kota Surakarta.
Dalam putusan Tanwir yang dihelat 4–5 September 2021, Anggota muktamar yang lain, hadir dan mengikuti Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah secara daring di klaster wilayah masing-masing. Sistem klaster akan diatur kemudian oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tidak hanya sistem forum atau pelaksanaan teknis muktamar saja yang berubah dengan daring dan luring. Sistem pemungutan suara atau pemilihan Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah juga dilakukan dengan e-voting.
Tentu, maksud e-voting ini adalah penggunaan aplikasi berjaringan internet untuk pemilihan. Canggih, memang! Sudah ditegaskan pula, keamanan dan kerahasiaan e-voting ini dipastikan akan terjaga.
Sejarah “Gagalnya” Pelaksanaan Muktamar
Muktamar model seperti putusan tanwir yang menegaskan sikap optimistik tersebut, bisa dimaklumi sebagai siasat atas Pandemi Covid-19 yang belum usai.
Kita ketahui, karena Pandemi Covid-19, muktamar sempat mengalami penundaaan. Sedianya, setelah Muktamar 47 di Makassar tahun 2015, forum tertinggi Persyarikatan ini dihelat pada 2020 lalu.
Muktamar yang semula direncanakan dilakasanakan pada 1–5 Juli 2020 diundur hingga 2021. Rencananya Juli 2021, namun kita tahu bagaimana jadinya.
Penundaan muktamar, bukanlah baru kini terjadi. Tulisan Muhammad Yuanda Zara di laman Suara Muhammadiyah, bahkan menuliskan Kongres ke 30 tahun 1941 gagal dilaksanakan karena “Staat van Oorlog”.
Masa itu, terjadi Perang Dunia II, penjajahan Jepang di Tanah Air, dan Revolusi Fisik. Mirip-mirip dengan Muktamar 48, pada 1941 tersebut, logo kogres dan kesiapan panitia sudah mengisyaratkan perhelatan akbar suda bisa dihelat.
Namun sayang, Pearl Harbour hancur dibom Jepang dua pekan lebih sebelum perhelatan Muktamar, NAZI menduduki Belanda, Jepang dan Cina plus AS terus berperang, yang semua itu pasti berdampak bagi Indonesia.
Belum lagi penjajahan Jepang yang semakin ganas, termasuk di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Burma (Myanmar) dan Filipina. Maka dibatalkanlah kongres.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pada 1944, dihelat Muktamar Darurat. Ini merupakan dampak dari situasi tidak kondusif sejak tahun 1941 yang membatalkan pelaksanaan Kongres ke 30 Muhammadiyah di Purwokerto.
Muktamar Darurat juga dihelat dengan peserta yang amat sedikit, tidak seramai biasanya, karena hadirin muktamar hanyalah perwakilan.
Penundaan muktmar lainnya terjadi pada 1981. Kita mungkin sudah mendengar tentang situasi panas dan tidak menentu akibat penerapan “Asaz Tunggal Pancasila” bagi seluruh organisasi masyrakat di negeri ini, kan?
Muktamar akhirnya dhelat pada 1985 di Surakarta, yang semula harusnya dihelat pada 1981. Terkait asaz tunggal, Muhammadiyah bersedia menerima masuknya Pancasila dalam Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah.
Waktu itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah terpaksa menerima Pancasila dengan alasan ‘politik helm’.
Muhammadiyah bagai melintasi jalur wajib menggunakan helm, sehingga harus memakai helm, agar dakwahnya tetap aman saat berhadapan dengan pemerintah.
Begitulah. Kita berharap Muktamar 48 di Surakarta 18–20 November 2022 mendatang bisa menghasilkan putusan yang akan menjadikan Muhammadiyah lebih terang-benderang sinarnya untuk mencerahkan umat dan bumi ini!