Oleh: Agusliadi Massere*
Tadi malam, 28 November 2024 Pukul 21.00 WIB, tulisan ini terpilih dan ditetapkan sebagai tulisan terbaik ketiga/Juara 3 dalam Lomba Menulis Esai Menyambut Hari Sumpah Pemuda dengan merujuk pada puisi Denny JA “Nasionalisme di Era Algoritma” yang diselenggarakan oleh Denny JA Foundation bekerja sama Kreator Era AI
***
Kehidupan yang terus mengalami perubahann, perkembangan, dan kemajuan, kini telah sampai pada Era Algoritma. Era yang ditandai dengan perkembangan dan kemajuan pesat teknologi digital, yang bukan hanya memengaruhi kehidupan terutama dalam pola interaksi, termasuk pula telah mengaburkan dan melenyapkan banyak batas-batas kehidupan.
Puisi Denny JA “Nasionalisme di Era Algoritma” sekilas dan jika tidak dibaca secara tuntas dan mendalam akan memantik rasa pesimis dan kekhawatiran, nasionalisme kita berpotensi tergerus dalam pusaran era algoritma. Namun, sesungguhnya puisi tersebut memantik pemahaman dan kesadaran mendalam bahwa ada sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa tergerus atau mengalami reduksi oleh perkembangan kehidupan dan teknologi dahsyat sekali pun.
Apa yang saya pahami, rasakan, dan sadari setelah membaca Puisi Denny JA “Nasionalisme di Era Algoritma” semakin yakin setelah membaca beberapa referensi di antaranya, buku Memetics: Perspektif Evolusionis Membaca Kebudayaan (2013) karya Eko Wijayanto, buku Dunia Pasca Manusia: Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer Filsafat Teknologi (2013) karya Budi Hartanto, buku Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia (2019) karya Yuval Noah Harari, dan beberapa buku karya dan narasi-narasi semiotik Yasraf Amir Piliang.
Tidak kalah menariknya, yang ikut memantik pemahaman, kesadaran, dan keyakinan saya adalah unggahan status singkat Dr. Desvian Bandarsyah, seorang Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, di akun resmi Facebook-nya. Desvian menegaskan “Yang sakral tak tergantikan oleh perubahan dengan alasan apapun”.
Kemudian Desvian melengkapi penegasan dalam bentuk flyer—dengan background warna polos tunggal—bertuliskan “Dulu, manusia sukses disebabkan oleh kerja keras, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, serta kejujuran. Setelah dunia melangkah di era super modern, nilai semacam itu masih berlaku dalam kehidupan. Yang profan berjalan memperbaharui dirinya, tetapi yang sakral tetap abadi sebagai substansi dan nilai utama.”
Sekilas, sebagaimana ditegaskan oleh Denny JA dalam puisinya, “Negara adalah peta yang kabur di ujung jari, batas-batasnya larut dalam pixel dan kode.” Ini adalah sesuatu yang tidak terbantahkan di era algoritma, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital. Bahkan, jangankan negara, jika kita memperhatikan dan mendalami narasi-narasi semiotik Yasraf—salah satunya bisa ditemukan dalam buku karyanya, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (2011)—batas sosial pun telah lenyap sebagai efek kehidupan di era algoritma. Misalnya, hari ini, kita sulit lagi membedakan yang mana mainan anak-anak, dan yang mana mainan orang dewasa.
Pantas saja jika Darta—subjek dan/atau aktor tunggal dalam puisi Denny JA itu—merasa heran. “Di jantung algoritma yang tanpa rimba, mengapa cintaku pada tanah air tetap berakar, seperti embun pada daun yang enggan jatuh, meski musim berganti dan waktu tak mengijinkannya.” Ini ungkapan keheranan Darta di balik kedahsyatan perkembangan teknologi yang salah satu unsur dan/atau pilar utamanya dikenal dengan algoritma.
Dalam puisi Denny JA itu, “Nasionalisme di Era Algoritma”, sebenarnya telah terungkap beberapa jawaban atas keheranan Darta dalam menilai dan merasakan dampak dan keniscayaan algoritma. Seperti terungkap dalam puisi “Sekarang, ia bicara dengan bahasa algoritma//namun hatinya tetap bernada Indonesia.” Denny JA melanjutkan lagi dengan ungkapan puitisnya “Informasi memang tak mengenal batas//Sinyal mengaburkan jarak//Tapi cinta tanah air tetap tumbuh dalam senyap.”
Jawaban-jawaban Denny JA atas keheranan Darta dalam puisi tersebut sangat mendalam, bersifat puitis dan berdimensi psikologis. Meskipun di dalamnya tersirat jawaban yang berbasis sosiologis dan antropologis. Namun, saya selaku pembaca puisi Denny JA, dan penikmat dan selalu jatuh cinta dari tulisan-tulisan Denny JA—meskipun hanya buku-buku versi ebook-nya—ingin mengungkapkan ruang mekanisme tempat terjadinya, apa yang telah menjadi jawaban Denny JA untuk menjawab keheranan Darta dan mungkin kita semua mengalami keheranan yang sama dengan Darta.
Terinspirasi dari Harari, Penulis Bestseller Sapiens, dalam bukunya Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia (2019: 96-104), saya memahami dan menyadari bahwa apa yang dimaknai algoritma maupun proses algoritmik bukan hanya terjadi atau mekanisme kerjanya dalam teknologi atau pun teknologi digital. Algoritma atau pun proses algoritmik juga terjadi atau beroperasi dalam diri manusia. Bahkan dalam kehidupan dan sejarah pun. Algoritma adalah langkah “metodis” yang bisa digunakan untuk melakukan kalkulasi, pemecahan masalah, dan mencapai keputusan-keputusan.
Dalam sejarah, kehidupan, dan manusia proses algoritmanya pun sangat kuat. Meskipun yang dikendalikan bukan lagi gir-gir mekanik dan sirkuit elektrik, tetapi, menurut Harari, mengendalikan sensasi-sensasi, emosi-emosi, dan pikiran-pikiran. Seperti peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang bermuara dan terkodekan dalam bentuk “nasionalisme” tentunya mengandung sensasi-sensasi, emosi-emosi, dan pikiran-pikiran. Ini pun menjadi pemantik sejenis hal “metodis” yang memengaruhi proses algoritmik. Apatah lagi peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 setiap tahun diperingati dengan suasana dan kemeriahan yang luar biasa yang memperkuat sensasi-sensasi, emosi-emosi, dan pikiran-pikiran.
Selain itu, seperti pandangan Desvian di atas, saya pun merasakan Sumpah Pemuda mengalami “sakralisasi” yang dalam pandangan saya tidak selalu berhubungan dengan hal transendensi-teologis atau ketuhanan. Sakralisasi yang saya maknai di sini, termasuk pula memberikan tempat istimewa yang berbeda dengan yang lain dalam sanubari yang paling dalam. Menautkan nilai tertinggi terhadapnya ketimbang yang lain, itu pun sakralisasi, yang tentunya sulit tergantikan dengan perkembangan luar yang bersifat profan.
Sebagaimana konsep Memetics Eko Wijayanto, Sumpah Pemuda pun tentunya mengalami proses evolusionis kebudayaan. Terus menular, melakukan replikasi, pewarisan nilai ke dalam diri, emosi, sensasi, dan pikiran-pikiran ke dalam suatu generasi ke generasi berikutnya. Mengalami proses sejenis penularan dan pewarisan gen dalam mekanisme genetika. Jadi nilai istimewa dan luhur Sumpah Pemuda terus terwariskan dari generasi ke generasi.
Selanjutnya hukum algoritma dalam teknologi pun bisa lagi dioptimalkan untuk semakin memperkuat proses algoritmik dalam kehidupan, sejarah, dan manusia. Dan ini berefek positif, berkontribusi kuat terhadap penguatan nasionalisme agar tidak pernah tergerus oleh dampak era algoritma sekali pun. Apa itu? Yang pasti di era ini manusia menghabiskan banyak waktunya di dunia virtual terutama melalui media baru yaitu media sosial: Facebook, Instagram, TikTok, dan lain-lain.
Ada yang menarik dari Yasraf yang terinspirasi dari Baudrillard terkait tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat (2011:134). Ternyata hari ini, kita telah sampai pada tahap keempat yang disebut fraktal atau viral. Saya memaknainya, bahwa kebenaran hari ini sangat ditentukan oleh apa yang viral.
Memaksimalkan tahapan ini, sebaiknya kita terus mengunggah nilai istimewa, kuat dan luhur dari Sumpah Pemuda agar nasionalisme terus tertanam kuat dan memengaruhi proses algoritma teknologi dan algoritmik kehidupan, sejarah, dan manusia.
Sumber Gambar: Karya Lukisan Aditya Prameswara yang masuk 14 Pemenang Terbaik pada Lomba Melukis dengan Bantuan AI yang dilaksanakan juga oleh Denny JA Foundation bekerja sama Kreator Era AI
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammamadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital dan Kebangsaan