Oleh : Muh. Asratillah Senge
Muhammadiyah dan “Ruang Mental Ber-sama”
Politik memang terkadang membuat kita bingung, hal-hal yang dulunya harmonis bisa berubah menjadi pertikaian, hal-hal yang sebelumnya wajar tetiba menjadi luar biasa. Begitu pula dengan kata “nasionalisme” yang belakangan ini kembali dipersoalkan, bukan karena nasionalisme itu sendiri problematik, tetapi seakan-akan nasionalisme semakin hari semakin pudar pesonanya, nasionalisme seakan-akan menjadi pihak yang terpojok karena dikepung oleh diskursus-diskursus politik tandingan.
Dalam situasi terpojok, (diskursus) nasionalisme pun melakukan serangan balik, ibarat lembaga sensor, mencoba untuk mengidentifikasi significant other yang perlu menjadi partnert sparing nya. Lalu muncullah semacam daftar lembaga-lembaga atau oknum yang ditengarai sebagai significant other tersebut, dan yang paling rentan masuk dalam daftar adalah lembaga-lembaga gerakan keagamaan. Walaupun negara tidak pernah mengeluarkan daftar resmi, tapi wacana yang berkembang di publik, menyebutkan beberapa organisasi yang rentan “masuk angin” oleh wacana-wacana yang kontra-nasionalisme, termasuk dalam hal ini adalah Muhammadiyah. Betulkah demikian ?
Saya sedikit banyaknya bersepakat dengan tesis bung Yudi Latif, bahwa gerakan Islam atau kehadiran Organisasi massa Islam di Indonesia, membantu melahirkan apa yang disebut dengan “proto-nasionalisme”. Kita tidak bisa membayangkan, jikalau nusantara yang terdiri dari ribuan pulau, bahasa, suku-bangsa dan etnik akan menjadi “Indonesia”, jika tak ada semacam “universalitas”, atau semacam “irisan bersama”, yang bisa menjadi alasan bagi orang-orang dengan berlatar belakang beragam di dalamnya untuk merasa “ber-sama”. Kita tidak bisa bayangkan jikalau manusia-manusia nusantara yang sangat plural tersebut, tak memilki semacam “ruang mental bersama” yang dikonstruk oleh religiusitas Islam ? dan “ruang mental” tersebutlah yang akan menjadi salah satu bahan utama untuk membantuk “kebangsaan Indonesia”.
Barangkali ada perspektif lain, yang mengatakan bahwa Nasionalisme kita cikal bakalnya sudah terbentuk ,melalui hubungan dagang serta politik antar pulau dan kerajaan di Nusantara. Tapi saya relatif senada dengan Heraclitus sang filsuf dari pesisir Laut Tengah, “hubungan yang didasari hal yang tak terlihat, jauh lebih kuat dibanding yang didasari hal yang terlihat”. Maksudnya variabel-variabel demografis, geografis dan ekonomi-politik memang cukup penting dalam mendorong sekelompok orang tertentu untuk hidup bersama tapi itu tidak cukup, perlu perihal yang tak kasat mata dalam hal ini “imajinasi bersama” seperti yang pernah diungkap oleh Benedict Anderson. Sebelum “Imajinasi bersama” tersebut mengambil bentuk sebagai Indonesia, “Imajinasi bersama” tersebut berawal dari sebagai “muslim”.
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah ? Muhammadiyah sudah didirikan sejak 1912, walaupun gerakannya bermula hanya di lingkup Yogyakarta, lalu perlahan tapi pasti melebarkan sayap pergerakannya ke seluruh wilayah Indonesia. Jejaring organisasi yang luas, memiliki peran besar untuk merekatkan person-person yang memiliki latar belakang berbeda. Dan Muhammadiyah tidak hanya merekatkan, dia mendorong para kader dan simpatisannya untuk berbuat dan wujud konkretnya adalah keberadaan amal usaha (sekolah, rumah sakit, panti asuhan) di mana-mana. Belum lagi keterlibatan person-person kunci pendirian Muhammadiyah di gerakan-gerakan lain yang berbasis agama ataupun tidak. Misalnya keterlibatan Ahmad Dahlan sebagai anggota resmi di Budi Utomo, belum lagi keterlibatannya dalam organisasi Jami’yatul Khair dan Sarekat Islam, ini menjadi bukti keterlibatan Muhammadiyah dalam mematangkan “Proto Nasionalisme” yang akan semakin terkonsolidasi pada peristiwa sumpah pemuda di tahun 1928.
Belum lagi keterlibatan kader Muhammadiyah sekaliber Jenderal Sudirman, yang di umur masih muda begitu aktif di gerakan kepanduan Muhammadiyah, tahun 1936 menjadi guru di sekolah rakyat milik Muhammadiyah bahkan sempat diangkat sebagai kepala sekolah, tahun 1937 beliau juga aktif sebagai pengurus di kegaiatan-kegiatan kepemudaan Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo yang di masa jabatannya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah juga terlibat aktif sebagai anggota BPUPK dan ada beberapa nama kader Muhammadiyah lagi yang punya kontribusi bagi lahirnya “Indonesia”. Tapi yang terpenting saat ini bukanlah saling memamer jasa dan daftar pahlawan, yang terpenting saat ini adalah bagaimana sebaiknya Muhammadiyah bahkan kita memaknai nasionalisme.
Nasionalisme Sebagai Kata Kerja
Emmanuel Levinas pernah mengungkapkan bahwa, yang paling berbahaya bagi kemanusiaa adalah “totalisme”. Apa itu totalisme ?, barangkali kata tersebut bisa diterjemahkan sebagai “sistem tertutup” atau bisa kita persamakan dengan “pem-benda-an”. Konon karena “totalisme” lah seringkali kita gagap bahkan gagal memandang wajah manusia sebagai representasi manusia, dan mungkin karena “totalisme” lah kita memandang wajah sesama hanya sebagai “suara”, “kompetitor”, “lawan”, “teman segerbong” dll, bukan sebagai manusia.
Saya termasuk orang, yang begitu bersyukur akan keberadaan Pancasila dengan ke lima silanya. Bayangkan jika hanya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” belaka yang menjadi dasar negara, maka akan melahirkan Ketuhanan yang totaliter dan bayangkan jika hanya sila “Persatuan Indonesia” belaka yang menjadi dasar negara, maka akan melahirkan Nasionalisme yang totaliter. Sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, mengingatkan bahwa basis keberagaamaan adalah “kemanusiaan, keadilan dan ke-adab-an”, begitu pula dengan nasionalisme. Apa yang terjadi di timur tengah itu sedikit banyaknya ditengarai oleh kebertuhanan tanpa citarasa kemanusiaan, begitu pula dengan kehadiran Hitler dan penguasa fasis di masa lampau sedikit banyaknya ditengarai oleh nasionalisme/solidaritas nasional tanpa sensitifitas kemanusiaan.
Manusia bukan sekedar “ada” tapi selalu dalam proses “kemenjadian” (becoming), begitu pula dengan nasionalisme. Sebagai rangkaian huruf alfabet, nasionalisme telah selesai, tapi pemaknaannya akan seturut pula dengan kemenjadian manusia. Nasionalisme semestinya kita maknai sebagai “kata kerja”, nasionalisme kita mestinya menjadi “nasionalisme terbuka” bukan sebagai “nasionalisme tertutup. Maka tak heran jika Ir. Soekarno sering mengutip perkataan Mahatma Gandhi, “My nationality is humanity”, dengan kata lain selaiknya nasionalisme adalah pancaran dari kemanusiaan kita, dengan kata lain nasionalisme adalah piranti untuk mengaktualisasikan kemanusiaan dalam ruang yang bernama “Indonesia”.
Ikhtiar untuk menjadikan nasionalisme sebagai “kata kerja”, itulah yang saya baca dari pemaknaan Muhammadiyah terhadap Negara Pancasila sebagai “Dar Al-Ahdi Wa Syahadah”. Dalam buku yang berjudul Negara Pancasila Sebagai Dar Al-Ahdi Wa Al-Syahadah, yang diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Tahun 2015, pada halaman 14 disebutkan ”Muhammdiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam”. Di kalimat tersebut, Muhammadiyah memandang bahwa NKRI adalah sesuatu yang luhur dikarenakan dilandasi oleh falasafah yang luhur pula, selain itu NKRI dan Pancasila adalah sesuatu yang Islami dikarenakan sejalan dengan ajaran Islam. Sehingga secara organisasional, Ideo-Teologis posisi NKRI dan Pancasila sudah jelas bagi Muhammadiyah.
Muhammadiyah tidak hanya memandang NKRI dan Pancasila sebagai Dar Al-Ahdi (Hasil Konsensus) dan sesuatu yang luhur, tetapi juga memandang ruang ke-Indonesiaan sebagai ruang tuk berkarya, ruang untuk selalu dalam proses ke-menjadian, ruang pembuktian dan persaksian (dar al-syahadah). Dengan memandang NKRI sebagai dar al-syahadah, maka itu akan menghindarkan keber-Tuhan-an kita berubah menjadi keber-Tuhan-an yang garang, dan menyelamatkan nasionalisme kita dari nasionalisme sempit atau nasionalisme etnik. Gia Nodia guru besar Filsafat Politik di Institute of Philosophy Tbilisi Georgia, dalam tulisannya yang berjudul Nationality and Democracy (1992), mengatakan bahwa salah satu kendala negara-negara berkembang atau dunia ketiga dalam mengawal demokrasi politiknya adalah rentannya demokrasi politik tersebut ditikam atau berada di bawah bayang-bayang populisme dan nasionalisme etnik.
Nasionalisme Yang Tak Menaklukkan
Di masa Orde Baru, kata nasionalisme selalu dilihat dan diwartakan dengan menggunakan perspektif keamanan-stabilitas. Karena sering dilihat dengan persektif keamanan, maka senantiasa diasumsikan NKRI senantiasa terancam oleh bahaya laten (dan ini seringkali disederhanakan menjadi PKI dan SARA), sehingga harga yang dibayarpun tak sedikit, kebebasan menjadi tumbalnya, kenapa demikian ?, karena kebebasan dainggap bisa menjadi portal bagi munculnya bahaya laten dalam ruang publik. Begitupula jika nasionalisme dipandangan dari perspektif stabilitas an sich, nasionalisme berubah menjadi semcam piranti teknologi kekuasaan yang menuntut kepatuhan tiada tara bagi warga negara.
Nasionalisme sebagai piranti teknologi kekuasaan, cenderung mengkotak-kotakkan warga negara secara oposisional, yaitu antara “warga negara baik” dan “warga negara buruk”. Daniel Dakkhidae dalam Mendidik Warga Negara : Dari Karakter, Ketertaklukan, Lantas Ke mana ? (2013) mengatakan “warga negara yang baik adalah orang yang tahu apa tugasnya…..mendidik diri menjadi patuh dan takluk, demi keselamatan negara….dengan demikian ada pradoks di sana, yaitu dalam negara yang aman warga negaranya dididik untuk patuh karena negara selalu berada dalam ancaman………..keamanan, bahaya dan Pancasila berada dalam satu paradigma….”.
Dengan kata lain nasionalisme tak akan mampu berdiri sendiri untuk mendewasakan dirinya, dia membutuhkan rekan dialog yang lain dalam hal ini demokrasi. Mengapa nasionalisme perlu berdialog atau bersimbiosis dengan demokrasi ? Maka dari itu saya bersepakat dengan Mochtar Pabottingi dalam Demokrasi dan Kepemimpinan (2013) yang mengatakan “simbiosis positif antara nasion dan demokrasi terbukti pada kenyataan universal bahwa demokrasi tumbuh sehat dan makmur hanya di atas wadah nasion dan serat-serat nasion diperkuat dalam sistem demokrasi. Simbiosis itu bersifat sirkular atau melingkar”.
Falsafah demokrasi adalah penghormatan terhadap harkat manusia, menyandingkan nasionalisme dengan demokrasi bukan hanya menuntut solidaritas kebangsaan, tetapi juga menuntut hal yang lebih luhur, bahwa selayaknya solidaritas nasional tidak dibangun atas dasar penaklukkan, tidak dijalankan atas dasar dominasi. Karena Nasionalisme yang ditegakkan atas penaklukan, sesungguhnya bukanlah kekuatan, tetapi lebih pada “rasa kalah”, “rasa bersalah” dan Inferioritas yang membatin.
Tapi Muhammadiyah menawarkan hal lebih. Sebagaimana Karl Jasper yang berpendapat, manusia hanya bisa bereksistensi dan memperoleh “penerangan eksistensi” jika dia bertolak dari yang transenden. Muhammadiyah menwarkan dalam buku Dar Al-Ahdi Wa Syahadah (2015) halaman 22, “Muhammadiyah memandang bahwa Indonesia ke depan meniscayakan rekonstruksi sosial-politik, ekonomi dan budaya yang bermakna yang mensyaratkan kehadiran agama sebagai sumber nilai kemajuan, pendidikan yang mencerahkan, kepemimpinan profetik, institusi yang progresif, dan keadaban publik”.