Oleh : Muh. Asratillah Senge
KHITTAH.co – Tetapi jangan sampai kita mengartikan pengharapan sama dengan sikap mesianistik. Walaupun mesianistik dipenuhi dengan janji-janji serta imaji-imaji harapan akan kedatangan figur, sosok atau zaman yang jauh lebih baik, tetapi mesianistik berakar pada kebungkaman manusia, kepercayaan kepada mesianisme berakar pada sikap otophobia- yaitu sikap yang takut akan kebebasannya sendiri dan konsekuensi-konsekuensinya. Othophobia inilah yang akan membuat seseorang lari dari kebebasannya sendiri, dan menyerahkan diri, nalar dan kebebasannya terhadap otoritas tertentu, termasuk otoritas keagamaan tertentu.
Agama sebagai miqra’ bukanlah kepasifan eksistensial, tetapi merupakan “kepasifan yang bijaksana”, panggilan bagi manusia untuk tetap bisa “hening” dalam ikhtiarnya yang intens , memandang manusia dan alam dengan “penglihatan yang mendengarkan”, dengan penglihatan yang berusaha memahami, bukan penglihatan yang mengobjektivikasi, menginspeksi dan menginvasi.
Petanda Transendental yang ditunjuk oleh agama sebagai sesuatu yang simbolik, adalah sesuatu yang sakral. Inilah menyebabkan ritual keagamaan, termasuk perayaan-perayaan hari besar keagamaan (religion celebration) adalah sesuatu yang sakral, dengan kata lain menunjuk sambil terlibat dalam yang sakral. Sakral adalah sebuah mysterium yang dalam, walaupun dalam terminologi modern , dibuat demarkasi antara kata sakral dan profan, tetapi pada dasarnya “sakral” adalah alas eksistensi bagi yang profan. Artinya kita bisa menunjuk kepada yang sakral, apabila kita menjelajahi ke-profa-nan dengan menggunakan kapasitas logos kita hingga ke batas-batasnya, dan menarik kata-kata, terma-terma, proposisi-proposisi yang biasa kita gunakan untuk mengungkapkan kebenaran diskursif hingga ke kondisi ultimate-nya.
Seorang teolog Jerman Rudolf Otto, mengeksplorasi makna kesakralan agama, beserta ritual-ritual yang menyertainya. Menurut Otto , setiap agama menujuk kepada suatu yang disebut dengan The Holy. Untuk menjelaskan The Holy Otto menggunakan kata numen dan numinus, yaitu istilah yang merujuk kepada semacam kehadiran numen atau Tuhan. Dalam karya Otto yang berjudul The Idea of Holy, dia tidak berusaha menjelaskan wujud atau “bagaimana wujud sebenarnya” sebuah objek yang menyebabkan kehadiran tersebut, tetapi fokus Otto adalah menjelaskan pengalaman akan kehadiran tersebut secara fenomenologis. Yaitu dengan cara meletakkan segala bentuk klaim essesialisme dalam tanda kurung, inilah yang disebut dengan epoche.
Menurut Otto, perasaan akan kehadiran numen merupakan alas atau pengalaman insani dasar dan titik tolak dari semua pengalaman religius. Pengalaman kehadiran ini akan meghasilkan “rasa kebermakhlukhan”, rasa yang menyadarkan manusia bahwa dirinya adalah subjek yang rapuh, yang menunjukkan bahwa manusia adalah aktor yang ditakdirkan untuk menulis nasibnya tapi terkadang terkungkung dalam ketidakberdayaan, rasa yang menyadarkan akan “kebebalan niscaya” dan “ketidakmampuan inhern” pada diri manusia untuk mengetahui segala-galanya.
Seorang Psikolog humanis Viktor Frankl, mempersoalkan tradisi aufklarung, yang memahami manusia dalam sebuah essensialisme total, yang menggambarkan manusia sebagai homo sapiens atau animal rationale, yakni makhluk rasional yang menjadi sutradara atas proyek-proyek hidup dirinya sendiri, dan mengusulkan konsep manusia sebagai homo patients, yaitu makhluk yang menderita- barangkali kita teringat dengan perkataan Buddha bahwa “Hidup adalah Penderitaan (dukkha)”.
Manusia bukanlah makhluk setegar dan sekokoh seperti yang dikatan oleh Descartes, yang mampu mengenali dengan clearly (terang) dan distinctly (jelas), segala bentuk kebenaran, atau prinsip-prinsip universal yang bisa menjamin segala bentuk pengetahuan. Manusia seperti itu adalah manusia yang muda, sehat, punya waktu luang dan merupakan kelas menengah ke atas. Tapi bagaimana dengan manusia yang cacat, tua atau para korban akibat peristiwa-peristiwa destruktif, semacam bencana alam, pembantaian, pembungkaman politik ataupun terror.
Manusia bukanlah cogito semata, manusia adalah makhlukh yang menubuh, manusia adalah makhluk yang menderita sebagai tubuh. Seperti yang dikatakan oleh Maurice Merleau-Ponty, manusia merupakan le corps-sujet, manusia adalah tubuh subjek. Tubuh itulah yang mengakarkan manusia pada “kerapuhan inhern” atau pada penderitaan. Penderitaan bukanlah sesuatu yang eksternal yang datang menghampiri manusia, tetapi merupakan mode of being atau cara berada manusia.
Perasaan keber-makhlukhan yang merupakan konsekuensi dari perasaan kehadiran, berarti kesadaran kita sebagai tubuh-subjek. Itulah barangkali kenapa Tuhan merasa perlu mengutus Musa untuk membebaskan Israel, menubuhkan Firman menjadi Yesus Kristus serta mengutus rasul Agung Muhammad SAW, itu semua agar kebenaran ilahiah yang ingin disampaikan kepada kita sebagai manusia, menjadi kebanaran yang terlebih dahulu “mengalir” dalam daging dan darah para nabi dan Rasul tersebut, sehingga parallel dengan mode of being kita sebagai tubuh subjek. Para Nabi dan Rasul, bukanlah orang-orang yang tidak pernah merasakan penderitaan, tapi yang membedakan mereka dengan manusia awam adalah keberanian mereka menggemgam harapan dan melampauinya di tengah kepungan dukkha, ketidakkhawatiran mereka terhadap kekhawatiran, kedamaian (aslama) sikap mereka dalam menghadapi nasib, atau dalam ungkapan Nietzche, salah satu ciri dari ubermensch adalah mereka sanggup mengatakan “amor fati”, merayakan nasib dan menghadapinya dengan intens, seakan-akan mereka mengarungi samudera tak bertepi dan tiadanya satupun pulau untuk berlabuh.
Rudolf Otto, selanjutnya berkata, bahwa yang sakral atau yang yang suci tersebut merupakan sesuatu yang non-rasional dan non-moral. Ini tidak berarti yang suci bersifat irrasional dan immoral, tapi pertanyaan tentang moralitas dan rasionalitas tidak menjadi relevan jika kita mengalami “kehadiran yang numen” tersebut. Selanjutnya Otto menamai perasaan ini dengan istilah mysterium trememdeum yaitu misteri yang menggetarkan dan mengundang ketakjuban, dan ini selanjutnya akan memperturutkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda, dalam hal ini : Keseganan, kemegahan, urgensi, misteri dan pesona.
Perasaan segan (awe) menunjuk pada debaran yang muncul dalam keterlibatan kita dengan sesuatu yang misterius, dan debaran inilah yang akan mendorong kita secara tak terduga , untuk keluar dari prisma ego kita dan memperoleh cara berpikir yang sama sekali baru. Pengakuan kemegahan (majesty) akan numinus selanjutnya membangkitkan rasa rendah hati dalam diri kita, membuat kita surut dari agresivitas kita, dan mengembangkan kemampuan reseptif dan mendengarkan “angin sepoi-sepoi” kebenaran. Pengalaman akan kehadiran numen , juga akan melahirkan semacam urgensi atau energy, memperbaharui ketegaran dan kesabaran dalam menghadapi hidup, menajamkan kembali potensi ke-khalifa-an manusia, membuat diri kita semakin aktif sebagai mazhar ilahi. Urgensi tersebut, di satu sisi menambah “debaran” kita karena membuat kita lebih berani masuk terlibat dalam misteri, tapi hal ini juga akan membuat kita semakin sadar bahwa numen atau Tuhan adalah sesuatu yang serba lain (misterius), terma-terma yang sering kita gunakan untuk menggambarkannya, bukanlah representasi mutlak. Tetapi disatu sisi perasaan akan kehadiran numen akan menimbulkan pesona .
Akhirnya penulis ingin mengatakan bahwa , Natal, Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari besar lainnya, bukanlah sekedar momen untuk mengenang Orang-Orang besar yang pernah ada dimasa lalu dalam ruang dan waktu tertentu, bukanlah sekedar mengingat nilai-nilai ataupun wahyu yang sekali jadi. Tetapi pada dasarnya agama bercerita tentang diri manusia yang menyejarah, walaupun agama bercerita tentang figur dalam ruang sosio-historik tertentu, tetapi lebih jauh agama ingin mengatakan mengenai mode of being manusia yang kemungkinan besar menampakkan diri dengan wajah yang berbeda-beda dalam setting ruang dan waktu yang berbeda. Agama membantu manusia memahami dan menghadapi kehidupan yang paradoks dan kompleks yang tidak mungkin di closure sepenuhnya oleh rasio.