Oleh : saifuddin al mughniy
(OGIE Institute Research and Political Development)
Membincang negara bukan lalu menafikan politik sebagai medium proses berjalannya demokrasi. Sebab demokrasi hingga saat ini masih dipakai sebagai mainstream di dalam penataan perpolitikan disuatu bangsa. Indonesia sebagai negera dunia ketiga pun nyaris masih mempertahankan sistem ini sebagai jalan tengah terhadap politik Islam dengan politik liberalism. Indonesia sejak usia kemerdekaan 71 tahun ini bukan tidak mungkin semakinmtanag dalam menemukan hakekat berdemokrasi yang sesungguhnya, ataukah akan menunggu sampai usia 100 tahun untuk mematangkan demokrasi sebagaimana bangsa Amerika melakukan itu.
Tentu menjadi sesuatu yang “absurd” bila hal itu dilakukan, mengingat transformasi pengetahuan demikian cepatnya merambah seluruh kawasan Negara-bangsa (nation state), penemuan sains dan tekhnologi menjadi instrument perkembangan suatu bangsa menuju cita-citanya. Saya kira apa yang tergambar dalam UUD 1945 sebagai dasar ber(kebangsa)an Indonesia yang baik telah terurai dengan benar yang dilahirkan dari rahim kemerdekaan.
Perkara sekarang adalah jika dikatakan “Indonesia adalah negara tanpa Tuhan”, maka sudah pasti banyak orang Indonesia akan marah. Bahkan orang yang mengatakannya akan dianggap sebagai “orang aneh”, sehingga bisa diancam atau dibunuh sekalipun (sebagaimana sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia). Alasannya karena Negara Indonesia adalah negara yang (sesuai dengan sila pertama Pancasila) “ber-Ketuhanan Yang Maha Esa”. Alasan lainnya karena hampir semua warga Negara Indonesia adalah umat beragama. Tetapi pertanyaannya, jika demikian, apakah benar negara ini benar-benar dijalankan sesuai dengan kehendak Tuhan dan ajaran enam agama yang dianut warga Negara Indonesia dan diakui pemerintah?
Jika melihat fakta kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat dan beragama di Indonesia justru akan menimbulkan banyak keragu-raguan dan pertanyaan. Apakah saling membenci dan saling bermusuhan antar pribadi dan antar kelompok (apapun alasannya) adalah bukti Indonesia negara yang beragama? Apakah korupsi yang merajalela adalah bukti bahwa Indonesia negara yang beragama? Apakah meneror dan membunuh warga negara sendiri hanya karena beda pendapat dan pandangan ideologi adalah bukti bahwa bahwa Indonesia adalah negara beragama? Apakah membenarkan satu agama dan mengharamkan agama lain adalah bukti bahwa Indonesia adalah negara beragama? Apakah manipulasi kekuasaan oleh para pemimpin negara untuk menindas dan menjajah rakyatnya adalah bukti bahwa Indonesia negara beragama? Apakah hampir semua kekayaan alam digadaikan kepada pihak asing dan membiarkan rakyat miskin dan menderita adalah bukti bahwa Indonesia negara beragama? Dan pertanyaan terakhir, apakah semua kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah dan segenap warga Negara Indonesia di negara yang mengklaim diri sebagai negara Berketuhanan Yang Masa Esa ini adalah sesuai dengan kehendak Tuhan dan oleh karenanya negara ini masih kayak disebut sebagai negara yang beragama dan Berketuhanan Yang Masa Esa?
Pertanyaan serta pernyataan tersebut diatas tentu mengundang rasa berontak, marah, jnegkel, sinis, bahkan rasa malu yang cukup tinggi. Pertanyaan itu sesungguhnya adalah fakta politik yang sulit disembunyikan. Seharusnya kita sebagai bangsa yang menerima nilai Ke(Tuhan)an dalam bingkai berbangsa dan bernegara sejatinya harus eling (ingat), bahwa sudah sejauh inikah “peniadaan” Tuhan atas nama demokrasi dan politik ?. Vox populi vox dei sekedar peninabobokan rakyat atas nama Tuhan. Mungkin terlalu kritis kalau saya katakana Tuhan pun tergadai diruang yang gelap.
Sebagai bangsa yang mengakui keberagaman ras, suku, budaya, agama, sedapat mungkin ini dapat dijadikan sebagai kekuatan budaya politik tanpa harus menerima “liberalisasi politik” dari luar. Asumsinya adalah bahwa budaya atau kearifan local (local genius) yang di miliki oleh setiap suku di nusantara tentu mempunyai pesan-pesan moral yang “melangit”. Kekayan ini tentu tidak dimiliki oleh sku dan bangsa lain, bahkan ada satu bait lagu “tongkat pun ditanam itu bisa tumbuh” begitu subur dan makmurnya negeri ini. Ya, mungkin benar apa yang dikatakan Tanri Abeng, bahwa Negara ini terlanjur salah diurus.
Oleh karena itu, kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian adalah pesan Tuhan dari langit yang harus diterejmahkan oleh penguasa di negeri agar ia “membumi”. Dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa berharap Indonesia di bangun dari nilai Ke(adab)an Tuhan, sehingga nilai moral kembali diasah demi mewujudkan bangsa yang Warobbun Ghofur.