Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiMuhammadiyahOpini

Optimis Hadapi Covid-19: Menebar Nilai Utama

×

Optimis Hadapi Covid-19: Menebar Nilai Utama

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

109 tahun yang lalu, tepatnya 18 November 1912 Muhammadiyah lahir di tengah kondisi kehidupan yang masih sangat terbelakang. Kelahiran Muhammadiyah dengan spirit yang melatarinya mengandung harapan besar yang diyakini sebagai percikan teologis dari Allah sebagaimana QS. Ali-Imran [3]: 104.

Kini Muhammadiyah telah melintasi perjalanan abad keduanya, dan tentunya siapa pun yang mengenal Muhammadiyah apalagi yang lahir dari rahim ideologisnya, patutlah bersyukur atas kiprah dan gerakan dakwah, tajdid, dan pencerahan yang selama ini telah dilakukannya untuk menyinari negeri. Kesyukuran itu memiliki daya pemantik yang besar, bagaikan “bola salju” yang terus bergelinding dan semakin besar dampak positifnya. Hal ini relevan dengan penegasan Allah dalam QS. Ibrahim [14]: 7.

Muhammadiyah melampaui dari sekadar wadah berkumpul, kelahirannya merefleksikan dan sekaligus aktualisasi historisitas dari normativitas QS. Ali-Imran [3]: ayat 104 dan 110. Di dalamnya ada spirit, praksis, harapan, bahkan di dalamnya mengandung cara pandang yang mengedepankan apresiatif, salah satunya nilai optimisme. Sikap optimisnya pun diletakkan sejak awal, sebelum segalanya dimulai, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,…”.

Sebelum John. C Maxwell berpesan tentang pentingnya “sikap awal”, Rhenald Kasali berpesan tentang pentingnya “to see” (melihat sesuatu yang ingin dicapai di alam mental, sebelum memulai…), dan Ary Ginanjar Agustian berpesan terkait pentingnya “memulai sesuatu dari tujuan akhir” (sebagai refleksi dan pemaknaan progresif dari kalimat syahadat), ternyata KH. Ahmad Dahlan sejak tahun 1912 telah mengamalkannya atau mengaplikasikan di tengah kondisi kehidupan yang serba sangat terbatas.

Apakah ketiganya terinspirasi dari KH. Dahlan? Jika pun jawabannya “tidak”, mungkin saja terjadi sejenis apa yang disebut dengan determinasi meme dalam memetika. Penularan “gen budaya” dalam hal ini, ide, gagasan atau pun cara pandang.

Apa yang dijadikan sebagai prinsip dan modal utama dalam era disrupsi oleh Rhenald (2019), bahwa tidak cukup hanya dengan motivasi tetapi dibutuhkan kemampuan membaca “where we are” dan “where we are going to”. KH. Dahlan sejak 1912 telah mampu membaca keduanya, bahkan bukan hanya sekadar membaca, tetapi termasuk mampu menjawabnya.

Ketika jeli melihat perjalanan sejarah Muhammadiyah, dan mampu merasakan spiritnya, maka apa yang menjadi tema miladnya kali ini “Optimis Hadapi Covid-19: Menebar Nilai Utama”, sesungguhnya bukanlah hal baru, meskipun dalam konteks dan pendekatan yang berbeda. Sejak awal kelahirannya frasa, spirit, dan bahkan sebagai paradigma “optimis hadapi” senantiasa dikedepankan terhadap berbagai tantangan yang ada.

Muhammadiyah pun, bisa dipastikan mengenal term “jihad”, namun dalam perjalanannya yang kita bisa temukan jejaknya dalam lembaran sejarah, tidak identik dengan makna “kekerasan”, “konflik”, “permusuhan”, apatah lagi “radikalisme” dan “terorisme”. Jika kita menyelami atau menelusuri belantara makna dan narasi “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua” yang telah menjadi putusan resmi dalam Tanfidz Muktamar Muhammadiyah ke-46, “Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasi jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat”.

Ada sejenis pergeseran makna “jihad” yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Ditegaskan bahwa “Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama”, (Berita Resmi Muhammadiyah, 2010).

Terkait sikap yang mengedepankan perspektif  “perjuangan menghadapi sesuatu” dan/atau “optimis menghadapi”, kita bisa menemukan banyak hal yang merupakan preseden historisnya. Muhammadiyah pada saat itu, masa awal berdirinya, ada banyak hal yang merupakan sikap dan tindakannya yang merepresentasikan apa yang dimaknai sikap “menghadapi” (bukan “melawan”).

Muhammadiyah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, pada saati itu membangun sejenis rumah sakit, di mana kebiasaan pada waktu lebih banyak memanfaatkan dukun dan pengobatan tradisional lainnya. Membangun sekolah yang memadukan ilmu agama dan pengetahuan umum, merubah arah kiblat dengan menggunakan teknologi dan pendekatan pengetahuan sains.

Semua yang dilakukan oleh KH. Dahlan adalah sesuatu yang pada saat itu dinilai tabu, produk kafir, haram, dan lain-lain, bahkan dirinya dikecam dan lebih sadis lagi suraunya dibakar. Hal ini karena sikap yang dikedepankan KH. Dahlan adalah sikap “menghadapi” bukan “melawan”. Terhadap kolonial, atau penjajah, kerap kali justru mengambil hal positif darinya yang bisa bermanfaat untuk kemajuan bangsa, meskipun dinilai dengan aneka kecaman dan tuduhan, ketimbang menghindari, membenci dan mengecam produk dan pemikirannya dari mereka yang sedang menjajah bangsanya.

Jadi sesungguhnya, sejak awal sampai detik ini, prinsip, etos, paradigma dan perspektif “menghadapi” (bukan melawan) senantiasa dikedepankan oleh Muhammadiyah. Dan sikap “menghadapi”-nya ini dibarengi dengan sikap optimis. Jadi ketika tema kali ini, menegaskan kembali frasa “Optimis menghadapi” yang dalam konteks yang beriringi dan menjadi spektrum Milad ke-109 Muhammadiyah kali ini, yaitu Covid-19, maka ini adalah bukan sesuatu yang baru melainkan sebagai DNA gerakannya. Termasuk pula hal ini adalah implementasi dan percikan dari gerakan pencerahan (tanwir) selain gerakan dakwah dan tajdid Muhammadiyah.

Di tengah pandemi Covid-19 Muhammadiyah pun masih mengedepankan sikap “optimis menghadapi”. Bukan justru sebaliknya. Muhammadiyah tidak menilai Covid-19 sebagai hasil konspirasi, sehingga tidak perlu dipercaya karena ini hanya senjata biologis. Muhammadiyah tidak mengedepankan narasi “tidak perlu takut kepada Covid-19, cukup takut kepada Allah saja”. Apatah lagi Muhammadiyah sama sekali tidak memprovokasi bahwa “Covid-19” itu tidak ada.

Muhamadiyah mengedepan sikap keteladanan, positif dan kontributif terhadap pandemi Covid-19. Muhammadiyah mengedepankan pendekatan akal sehat, rasionalitas, dan sejalan dengan pandangan dan sikap lembanga yang otoritatif. Namun bukan berarti, bahwa Muhammadiyah diragukan nilai ketauhidannya, karena terkesan lebih takut kepada Covid-19 daripada Allah. Muhammadiyah mengedepankan sikap terbaik, simpati dan empati termasuk kepada korban dan pejuang (dalam hal ini tenaga kesehatan).

Mengapa Muhammadiyah mengedepankan sikap optimis menghadapi Covid-19? Jika kita membaca Fikih Kebencanaan, produk resmi Muhammadiyah, dari Syamsu Anwar (2015) kita bisa memahami secara substantif bahwa Muhammadiyah dalam pemahaman kebencanaannya  “…dibangun dari sebuah kesadaran tauhid, yakni memahami seluruh peristiwa selalu terkait dengan ke-Esa-an Allah”.

Bangunan kesadaran Muhammadiyah ini, bukan hanya melihat bencana berdasarkan orientasi-orientasi teologis dan kesan-kesan psikologis sesuai uraian Gery Stern, “…bagaimana Islam memandang bencana…” sebagaimana telah dikutip oleh Syamsul Anwar. Muhammadiyah lebih daripada itu, sampai memandang dan merespon bencana secara teologis, psikologis, preventif-antisipatif, dan kuratif (search, rescue and recovery).

Dan sesuai dengan Fikih Kebencanaan yang telah dirumuskan secara kelembagaan melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah berupaya, “…memahami bencana dalam konteks values, principle, dan norms, artinya bencana dengan perspektif yang sangat kompleks, melibatkan spektrum luas dari ajaran Islam”.

Selain daripada itu, secara umum yang mendasari sikap Muhammadiyah adalah sebagaimana pandangan Falahuddin dan termasuk yang dikutipnya dari Hasil Munas Tarjih, Agustus 2002 di Jakarta:

“Muhammadiyah selalu mempertautkan antara teks-teks normatif dalam al-Qur’an dan Hadis dengan ilmu pengetahuan modern. Sebagai ormas yang mengusung jargon tajdid, cara pandang Muhammadiyah dalam melihat realitas sosial, termasuk Covid-19, selalu menggunakan pendekatan integratif: bayani, burhani dan irfani. Muhammadiyah menolak pandangan atomistik dan parsial, apalagi irrasional yang berpandangan bahwa bencana terjadi karena hal-hal yang berbau mistik yang tidak ada hubungannya dengan bencana”.

Muhammadiyah dalam menjalankan aktivisme, gerakan dakwah, spirit pembaruannya termasuk dalam merespon dinamika realitas sosial secara umum dan bencana secara khusus—relevan dengan pandangan Amin Abdullah dan yang seringkali disampaikannya baik dalam tulisan-tulisan maupun di forum-forum—mengedepan paradigma dialog dan integrasi. Khususnya di Indonesia, respon terhadap pandemi Covid-19 termasuk penanggulangannya, di dalamnya ada relasi antara agama dan ilmu.

Sebagaimana dikutip Amin Abdullah dari Ian G. Barbour, hubungan agama dan ilmu, “…dapat diklasifikasikan menjadi empat corak, yaitu, Konflik, Independen, Dialog dan Integrasi”. Amin Abdullah menegaskan “Baik yang menggunakan paradigma Konflik dan/atau Independen maupun paradigma Dialog dan Integrasi akan besar berpengaruh pada pembentukan budaya berpikir sosial-keagamaan baik di ruang privat maupun publik”. Sebagaimana telah dijelaskan, di antara 4 hubungan antara agama dan ilmu, Muhammadiyah dengan paradigma “Islam Berkemajuan”-nya senantiasa mengedepankan, dua dari yang terakhir: Dialog dan Integrasi.

Amin Abdullah menegaskan, “Linearitas ilmu dan pendekatan monodisiplin dalam rumpun ilmu-ilmu agama akan mengakibatkan pemahaman dan penafsiran agama kehilangan kontak dengan realitas dan relevansi dengan kehidupan sekitar”, berdasarkan pandangan ke-Islam-an Muhammadiyah: Islam Berkemajuan, merespon pandemi Covid-19, bukan hanya mengedepankan aspek normatif agama semata, linearitas dan monodisiplin, tetapi terbuka dengan pandangan ilmu pengetahuan yang otoritatif. Menggunakan pendekatan multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin.

Sikap optimis Muhammadiyah menghadapi Covid-19, membuat dirinya mampu berkontribusi dan menjadi teladan di tengah-tengah narasi yang sesungguhnya bisa dipandang justru membuat masyarakat bingung, dan penularan Covid-19 semakin parah.

Sikap optimis Muhammadiyah terhadap Covid-19 sehingga mampu melakukan transformasi gerakan sebagai prakondisi memasuki peradaban digital. Muhammadiyah konsisten dengan sikap dan cara pandangnya, sehingga beberapa agenda besar Muhammadiyah seperti tanwir, dan Muktamar ke-48 mendatang itu akan dilakukan secara online, atau minimal perpaduan online dan offline.

Sikap optimis Muhammadiyah, justru melahirkan berbagai terobosan dan cara pandang baru bahwa bisa jadi ke depan sebagai bentuk menjemput peradaban digital, tidak perlu lagi lebih berorientasi membangun gedung fisik yang mewah sebagai sarana dan prasarana pendidikan. Masa yang akan datang Muhammadiyah pun akan berupaya membangun infrastruktur, sarana, dan prasana perangkat teknologi untuk menunjang pembelajaran secara online.

Tanpa menafikan berbagai penderitaan yang dirasakan secara personal oleh para korban, secara kolektif oleh para tim medis, dan tanpa kecuali segala daya yang dilakukan oleh negara dan berbagai elemen bangsa yang, sesungguhnya bagi Muhammadiyah Covid-19 pun mengandung berkah, hikmah, ibrah, dan peluang di dalamnya. Minimal Muhammadiyah segera dan harus menggerakkan segala sumber daya yang ada untuk melakukan transformasi memasuki peradaban digital.

Sikap “optimis menghadapi” jika saya hubungkan dengan teori neurosains atau pendekatan pembelajaran otak triune itu lebih menggunakan pemanfaatan otak “mamalia” dan terutama otak “neo cortex”. Dalam menghadapi setiap bencana atau tantangan, tanpa kecuali pandemi Covid-19 ini, Muhammadiyah sama sekali tidak menggunakan otak “reptil”. Yang hanya dua pilihannya “lari” atau “melawan”.

Nilai utama yang ditebarkan oleh Muhammadiyah adalah spirit “Islam Berkemajuan” bersifat terbuka, tengahan, dan mampu mengintegrasikan dan mendialogkan berbagai nilai, pandangan bahkan spirit peradaban.

Tulisan ini adalah refleksi sederhana dari tema Milad ke-109 Muhammadiyah, sekaligus semoga menjadi “kado” kebaikan yang merefleksikan pula gerakan pencerahan Muhammadiyah.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply