Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Pancaran Empati Ramadan Membangun Kohesivitas dan Keadilan Sosial

×

Pancaran Empati Ramadan Membangun Kohesivitas dan Keadilan Sosial

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO – Saya selalu teringat dengan pandangan Ahmad Norma Permata dan saya pun ingin selalu mengatakannya “Agama sebagai sebuah nilai tidak pernah semata konseptual. Melainkan agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kondisi”. Sebenarnya ada banyak pandangan yang senada dengan ini, salah satunya kita bisa temukan dalam konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo.

Sama halnya ketika M. Quraish Shihab menegaskan satu harapan sebagaimana judul bukunya Membumikan Al-Qur’an. Kemudian Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., dengan judul bukunya Islam Fungsional. Selanjutnya yang terbaru produk resmi Muhammadiyah, Risalah Islam Berkemajuan. Sesungguhnya, semua itu menegaskan bahwa agama bukan hanya pedoman, jalan, dan petunjuk bagi manusia agar bisa masuk surga di akhirat kelak. Melainkan ada penegasan agar agama dan Islam itu sendiri bisa menjadi pedoman hidup dan solusi atas berbagai problematika di muka bumi ini. Selain itu, umatnya semakin produktif, konstruktif, kontributif, fungsional, dan segala aktivitas kehidupannya dalam bingkai rida Allah dan bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ramadan yang memiliki posisi sebagai bulan mulia di antara sebelas bulan lainnya, termasuk puasa wajib itu sendiri yang menjadi bagian di dalamnya, sejatinya tidak hanya membangun karakter “pengendalian diri” yang kokoh. Di dalamnya pun, terdapat algoritma yang hasilnya semestinya bermuara pada “empati”. Empati adalah salah satu mekanisme psikologis yang memiliki posisi penting, strategis, dan mulia bagi manusia yang dikategorikan sebagai “an-nas”, memiliki dimensi sosial dalam kehidupannya.

Empati posisinya satu tingkat minimal di atas simpati. Jika rasa simpati dalam melihat suatu kondisi, termasuk yang mengandung hal problematik, itu sebatas (seakan) membenarkan secara teoritik dan faktual semata, maka empati melampaui dari itu, akan melakukan langkah nyata untuk menemukan atau memberikan solusi atas situasi dan kondisi yang ada.

Ilustrasi sederhana perbedaan antara empati dan simpati. Jika kita menemukan seorang anak kecil yang menangis di pinggir jalan, kemudian kita mengetahui penyebab anak itu menangis karena mamanya ke pasar. Dan, kita pun mengatakan pantas anak itu menangis karena ditinggalkan oleh mamanya yang sedang ke pasar. Berarti ini hanya membenarkan secara teoritik dan faktual. Ini hanya sebatas simpati.

Jika kita melihat kondisi anak yang menangis itu, dan kita pun telah mengetahui penyebabnya. Ketika, kita tidak hanya membenarkan secara teoritik dan faktual terkait kondisi anak itu, melainkan kita pun mengambil atau melakukan langkah solutif agar anak itu bisa berhenti menangis, baik dengan cara membujuknya dengan memberikan sesuatu yang kemungkinan disukainya, atau menggendongnya untuk membawa ikut menyusul mamanya ke pasar, atau dengan cara lain yang pada intinya agar tidak menangis lagi, maka ini sudah melampaui dari sekadar simpati. Inilah yang disebut empati.

Puasa Ramadan yang di dalamnya kita (minimal) menahan untuk tidak makan dan minum, seharusnya memantik satu rasa dan ibrah tentang kondisi kehidupan, bahwa ada orang di luar bulan Ramadan atau selain dalam kondisi berpuasa pun merasakan lapar dan haus. Kondisi ini, mereka bukan berarti sedang beribadah, tetapi kondisi ekonomi yang membuatnya seperti itu. Zakat fitrah pun yang sesungguhnya bukan hanya untuk menyucikan harta dan jiwa, tetapi adalah tindak-lanjut dari rasa dan ibrah tersebut. Hal ini, bisa menggambarkan bahwa antara puasa wajib dan zakat fitrah yang diwajibkan pada bulan Ramadan, itu membangun mekanisme kepedulian dan empati. Bukan sekadar simpati.

Selain itu, semua ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadan sesungguhnya akan bermuara pada pembentukan karakter rabbani yang ketika kita sukses meraihnya karena mengikuti algoritma Ramadan secara benar dan baik, maka spektrumnya akan memiliki jangkauan yang lebih luas. Karakter pengendalian diri yang diraih sebagai puncak prestasi spiritual di bulan Ramadan, bukan hanya untuk pengendalian diri dalam ruang-ruang private, tetapi termasuk dan terutama di ruang-ruang publik. Begitu pun, ketika kita menduduki jabatan publik, pengendalian diri harus hadir mewarnai dalam amanah yang sedang diemban.

Karakter yang berwujud empati pun sebagai satu paket prestasi spiritual Ramadan yang diraih yang dalam al-Qur’an disebut “takwa”, sejatinya spektrum dan jangkauan cahaya dan pancarannya bukan hanya untuk menghadapi problematika kemanusiaan, berwujud bencana alam yang menimpah secara kolektif atau musibah personal seperti kebakaran rumah. Melainkan harus menembus ruang kehidupan yang lebih strategis dan terdapat garis relasi tentang kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari pandangan-pandangan di atas, saya sampai pada kesimpulan atau minimal sebagai harapan, agar Ramadan pun memancarkan cahaya empati, dan pancarannya ini pun mampu membangun kohesivitas dan keadilan sosial. Keduanya ini, kohesivitas dan keadilan sosial, adalah modal penting dalam kehiduapn berbangsa dan bernegara.

Saya pernah mengikuti pidato Yudi Latif via channel Youtube. Salah satu substansi pembahasan dalam pidatonya, yaitu penegasan bahwa sila ketiga “Persatuan Indonesia” dan sila kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” harus saling menguatkan. Ibarat dua sisi mata uang koin, yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Penjelasan lanjutannya kurang lebih seperti ini parafrasenya “Untuk mewujudkan persatuan Indonesia yang kokoh, harus mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun, akan sulit terwujud jika tidak diawali dengan persatuan Indonesia, baik mulai dari dalam pikiran sampai pada wujud nyata dalam tindakan”.

Sambil menulis tulisan ini, tepat dalam untaian alinea terakhir di atas, yang substansinya berbicara tentang modal penting dan strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, tiba-tiba “status” Facebook David Efendi (saya sering menyapanya Mas David via WhatsApp), seorang Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nongol (baca: muncul) di beranda Facebook saya. Mas David menulis “Mengapa negara diterpa tsunami skandal korupsi yang gila2an [baca:gila-gilaan] ini seperti biasa-biasa saja?”

Dalam konteks tulisan saya ini, saya bisa merespons atau memberikan gambaran sederhana atas kegundahan Mas David yang sesungguhnya menurut saya mengandung “gugatan”. Meskipun kegundahan Mas David tersebut bukan berarti tidak memahaminya, tetapi sesungguhnya minimal itu salah satu cara sederhana bentuk gugatan Mas David via media sosial.

Yang digugat Mas David itu terjadi karena “empati” mereka (terutama para pejabat atau elit negara) yang semestinya dalam dirinya telah lahir prestasi spiritual yang berada dalam satu paket “takwa”—karena sebagian besar dari mereka sering melaksanakan puasa dan ibadah lainnya pada bulan Ramadan—itu  tidak tampak atau tidak mengalami eksternalisasi interior, tidak terimplementasi (jika meminjam teori Habitus Pierre Bourdieu). Empati tidak terpancar dalam diri, akhirnya kohesivitas dan keadilan sosial pun sulit terwujud.

Saya yakin ada yang protes jika menggugat empati atau menyimpulkan Indonesia kurang berempati. Salah satu alasannya, bahwa semangat berdonasi masih sangat tinggi khususnya terhadap peristiwa tertentu terutama yang viral. Sama halnya ketika ada yang berempati terhadap peristiwa viral Bojes dan Lia, akhirnya donasi berdatangan dari berbagai pihak terutama dari para content creator (kreator konten) yang membantu kelancaran dan kesuksesan menyatunya dua insan dalam jalinan cinta yang diridai Allah. Bahkan, pesta pernikahannya pun sangat meriah.

Tentu saja, saya pun tidak membantah dan memberikan sanggahan balik jika contoh empati hanya sebatas yang seperti itu. Apa lagi, dalam dunia digital di mana fraktal atau viralisme sering kali memengaruhi sikap dan tindakan kita. Tindakan tersebut di atas, “bisa jadi” memang ada rasa empati secara teoritik, tetapi basisnya ada target tertentu bagi orang tertentu, khususnya bagi para content creator. Jadi tidak murni sebagai sebuah mekanisme psikologis yang terpancar dari spirit welas asih.

Makanya, dari awal—bisa di-scroll ke atas—saya pun menegaskan agar makna empati tersebut memiliki jangkauan spektrum yang lebih luas. Harus menembus ruang kehidupan yang lebih strategis dan terdapat garis relasi tentang kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pejabat-pejabat yang korup, menyalahgunakan jabatan, menindas rakyat dengan kebijakannya, itu adalah contoh nyata orang-orang—saya berani mengatakan demikian—yang bukan hanya dalam diri dan hidupnya telah terjadi  krisis nilai dan makna, tetapi juga telah terjadi krisis empati. Mereka tidak peduli. Mereka tidak merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain di balik sikap dan tindakannya yang korup, sewenang-wenang, dan menindas.

Empati, seperti yang saya pahami, menjadi syarat utama yang harus ada agar seseorang bisa dipandang memiliki kesadaran kritis, sebagai satu bentuk kesadaran tinggi, penting, dan strategis khususnya dalam kehidupan kolektif, berbangsa, dan bernegara. Empati sebagai mekanisme psikologis harus merasakan dan menemukan sekecil apa pun hal problematik atau potensi problematika. Selain itu, mampu menemukan embrio dari apa yang ada, terjadi, dan memicu atau menimbulkan permasalahan dalam kehidupan.

Dan tentu saja, agar tidak hanya berhenti sebagai rasa simpati, maka ada upaya serius untuk mengambil tindakan solutif. Empati pun dalam menemukan titik persoalan dan melakukan langkah solutif, sering kali tidak tunggal karena empati menjadikan seseorang mampu melihat secara struktural atau serangkaian situasi dan kondisi yang menjadi penyebab.

Ketika kemiskinan masih tinggi, tingkat literasi bangsa rendah, pengangguran banyak, politik uang pun terus berdansa di atas panggung demokrasi, dan para oligarki masih asyik mendikte elit negara dalam merumuskan kebijakan yang kurang pro terhadap rakyat, tetapi justru kepentingan oligarki, maka para pejabat, pemimpin negara yang memiliki empati dalam dirinya akan mampu merasakan semua itu sebagai sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian perasaannya ini, itu tidak serta merta melimpahkan atau memuarakan penyebabnya secara tunggal, apa lagi hanya menyalahkan rakyat itu sendiri.

Mereka para elit negara dan/atau pemimpin negara yang dalam dirinya telah terpancar empati yang kuat, dipastikan akan merasakan bahwa di balik kondisi buruk tersebut, ada dosa, kekeliruan, dan kesalahan dari hasil kepemimpinannya sendiri. Dan, tidak akan tinggal diam, melainkan segera melakukan langkah strategis meskipun harus berhadapan dengan para oligarki, demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atau orang banyak.

Ketika pancaran empati seperti itu spektrumnya, sebagaimana yang baru saja kita baca di atas, yang terpancar dari dalam diri para pejabat dan/atau pemimpin negara, maka bisa dipastikan kohesivitas akan terbangun dengan kokoh. Antitesa kohesivitas sosial pun bukan hanya dalam makna ketika terjadi peran suku dan agama, tetapi makna paling sederhana dalam tulisan ini, bisa dipastikan tidak akan ada demonstrasi anarkis, tetapi sebaliknya semua rakyat akan mencintai pejabat negaranya dan terutama pemimpin bangsa dan negaranya.

Dalam diri elit negara, pejabat, dan/atau pemimpin negara yang pancaran empatinya sedahsyat itu bukan hanya mampu membangun kohesivitas sosial yang kokoh, tetapi, saya yakin, kita pun yakin, akan terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jadi pancaran empati Ramadan, sejatinya harus sampai mendukung dan mengokohkan terwujudnya “Persatuan Indonesia” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Saya pun yakin, setelah kita semua sampai pada untaian terakhir ini akan memiliki harapan supaya pemimpin bangsa dan negara hari ini pun, memiliki empati yang besar terhadap rendahnya moralitas dan etika komunikasi pejabat publik atau para pembantu-pembantunya.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital dan Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply