Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Pasca-Dahlan, Marx, dan Derrida (Bagian 1)

×

Pasca-Dahlan, Marx, dan Derrida (Bagian 1)

Share this article

Oleh: Ermansyah R. Hindi

*) Anggota “Lingkar Studi Pasca-Filsafat”/Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto

Pertama-tama, di sini, kami tidak mengulas kisah sejarah tentang kelahiran Muhammadiyah dan sang pendiri K.H. Ahmad Dahlan. Meskipun sangat terbatas konsep teoritis dan fakta-fakta yang terjadi, kami akan mencoba mengungkap secara singkat dari sudut pandang lain. Apa yang dapat kita lakukan sekarang tidak bermaksud menyamakan tokoh-tokoh besar berpengaruh menerobos lubang peristiwa acak atau meniadakan satu sama lainnya. Dalam hal ini, kita melihat struktur dan relasi yang membentuknya.

Karena itulah, Muhammadiyah menamatnya episode demi episode sejarah panjang bukanlah organisasi berdasarkan sudut pandang teologis belaka yang berlindung di balik kemodernan, akhirnya terjatuh kedalam keambiguan atau kecacatan eksistensi. Muhammadiyah akan menghadapi guncangan ‘dari dalam’ akibat kekebalan tubuh sosialnya berfluktuasi, bukan hanya bersifat alamiah, tetapi juga bersifat mekanis, dibandingkan kecepatan penularan virus yang mematikan memasuki zaman “instan” atau “miniaturisasi”. Persyarikatan bukan melepaskan dirinya dari ancaman krisis dan kejatuhan tanda ekonomi, tetapi dari ‘ilusi kepuasan terhadap kemajuan’.

Dari sisi karakteristik, pada umumnya gagasan modern, prinsip perjuangan, dan sikap rasional terhadap peristiwa yang terjadi (termasuk relasi ekonomi) diarahkan kepada cita-cita menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT (Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah, Yogyakarta,  2010, hlm. 43). Menurut analisis teoritisnya, Marx mengatakan, bahwa “… menjadi tujuan pokok karya ini untuk mengungkapkan hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern (Capital, Volume 1, London, 1957, hlm. xix).

Persyarikatan sebagai artikulator tidak lagi tunduk pada parodi, makna, simbol, formal, dan bukan hirarki dari taraf bahasa, tetapi pada taraf diferensi yang dibangun dan bekerja secara kreatif dan produktif dengan titik relasi antara petanda transendental dan penanda kapitalis, artikulasi hasrat akan kebajikan dan artikulasi sosial dalam kesalehan. Sebagai sesuatu kekuatan yang melampaui produksi, konsumsi, dan distribusi, maka Muhammadiyah bergerak menuju titik akhir yang tidak pernah ia sendiri dapatkan, kecuali melalui tubuh yang terplural dan terpolisemi setelah prinsip universalitas kemanusiaan meradikalkan atau mencairkan dirinya kedalam logika Tauhid. Tubuh sosial seiring konsumsi massa, produksi, dan distribusi sosial dengan jaringan tanda lebih terbuka dan berbolak-balik menjadi kekuatan khas yang tidak terinstitusikan yang nampak “ada” terpancar dari energi Tauhid sebagai logika pembebasan dunia dari setiap penanda tiranik.

Sudah tentu, pergerakan Muhammadiyah mengkonstitusikan manusia yang melintasi relasi antara produksi dan konsumsi dipertontonkan secara menggelikan melalui komoditas atau tubuh (kosmetik, feisyen, hiburan) pada taraf makna ganda:  “Saya manusia ekonomi, maka saya ada” merayu manusia tauhid. Model manusia tauhid bukanlah “sisi cahaya kebenaran”  dilihat dari eksistensi dan esensi diyakini sebagian pihak, tetapi titik akhir dari kelembaman sosial akibat relasi dan struktur yang menghirarkinya membelenggu kita. Sebaliknya, logika Tauhid tidak untuk memurnikan, melainkan membebaskan kelembaman sosial dengan cara menspritualkan determinisme ekonomi menjadi praktik kesalehan yang tidak terbeli.

Dalam pandangan Muhammadiyah, kekuatan determinisme ekonomi sebagai sesuatu yang tidak mutlak bagi kehidupan dan kemasyarakatan tanpa dominasi kelas atau kelas tunggal. Asal-usul manusia dikeluarkan dari kungkungan kode-tanda ekonomi. Hukum ekonomi yang berlaku dalam masyarakat diakui selama tidak berwatak eksploitatif. Suatu harapan akan dibangun oleh masyarakat dengan rezim pertukaran menandai “relasi sosial” dan “artikulasi ekonomi”, jika tuntutan perjuangan menuju tatanan anti-tirani bukanlah slogan berapi-api.

Muhammadiyah sebagai gerakan sosio-keagamaan melihat dirinya dan dunia nyata lainnya tidak terlepas dari “diskursus tentang kesenangan” dan “praktik diskursus”. Diskursus tentang kesenangan dan artikulasi ekonomi bekerja dalam obyek-obyek sekitar kita nampak “nyata” dari ilusi dan mimpi yang diciptakan melalui iklan sebagai aparatur konsumerisme. Meskipun bukan akibat perjuangan sosio-keagamaan terinstitusikan, tetapi kegairahanlah melampaui batas-batas fisik persyarikatan (seperti fungsi sosial-ekonomi dari Amal Usaha Muhammadiyah) dalam arus perubahan terus menerus (Manhaj Gerakan Muhammadiyah, hlm. 44-45).

Sedangkan menurut pandangan Marx: “Ini berarti menerangkan hukum-hukum yang istimewa untuk menentukan asal-usul, keberadaan, perkembangan, dan kematian suatu organisme sosial tertentu dan pergantiannya oleh suatu organisasi sosial yang lebih tinggi” (Capital, Vol. 1, hlm. 102). Pluralitas perjuangan Muhammadiyah (pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, media informasi, dsb) menetralisir “perjuangan kelas”, akhirnya menjadi utopia sosialisme diubah kedalam “dakwah pencerahan berbasis komunitas”. Ia dikelilingi “realitas baru” (hipermarket, virtualitas, kecerdasan artifisial) dari hasil reproduksi ekonomi kapitalis (produksi hasrat dan produksi sosial).

Praktik revolusi sosial akan mengalami satu tayangan tunda setelah kelas proletariat (mirip kaum dhuafamustadh’afin) menikmati upah yang meningkat sampai mampu berbelanja barang mewah di kota, bukan pertentangan atas kelas borjuis. Marx mengatakan, “… kategori-kategori borjuis dipandang sebagai pemikiran yang valid oleh masyarakat dan inilah yang menjadikan kategori-kategori ekonomi borjuis terkesan sebagai sesuatu yang obyektif” (ibid., hlm. 169).

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply