Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipMuhammadiyahOpini

Pasca-Dahlan, Marx, dan Derrida (Bagian 4)

×

Pasca-Dahlan, Marx, dan Derrida (Bagian 4)

Share this article

 

Oleh: Ermansyah R. Hindi

Anggota “Lingkar Studi Pasca-Filsafat”/Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto

KHITTAH.CO- Sebanyak yang kita lepaskan secara instan lebih bergema dibandingkan determinisme ekonomi, karena akumulasi kebutuhan dan kepuasan akan komoditas yang melimpah-ruah berarti kelenyapan fetisisme itu sendiri. Apa yang dapat kita pertaruhkan tentang pertukaran dan komoditas di balik relasi sosial antar benda, kecuali praktik sistem penanda perjuangan lintas-sosial.

Sebelum kita bermain lebih bebas dengan penanda yang masih distrukturkan kedalam pusat gravitasi dari sistem ekonomi politik, bergerak dari nilai tukar ke nilai guna, dari alat produksi ke cara produksi dan relasi produksi, kita pantas untuk meletakkan satu teori fetisisme komoditas sebagai bagian dari “kritik atas kritik” sekaligus praktik diskursus perjuangan Muhammadiyah.

Dalam Capital, Volume I, teori “fetisisme komoditas” sebagai suatu kesatuan tanda ekonomi tidak terhindarkan; ia tidak hanya sebagai pusat gravitasi dari sistem ekonomi politik, tetapi juga struktur tanda sosial berlangsung didalamnya rangkaian proses menuju sistem tanda yang menyelesaikan kontradiksi, sebagaimana kaum proletariat muncul sebagai akibat dari eksploitasi melalui relasi produksi dan cara produksi kapitalis. Dari analisis kaum Marxis sendiri mengatakan kaum proletariat sebagai “rakyatnya rakyat”, di saat kaum intelektual kritis telah menggambarkan bagaimana cara untuk mengorganisir kaum buruh dalam melancarkan praktik revolusioner, tetapi tidak lebih dari ilusi revolusi.

Kita melihat konsep teoritis tentang fetisisme komoditas sebagai sesuatu yang tidak mudah dipahami, seperti misteri yang masih terselubung antara dirinya dengan misteriusnya kaum buruh dan “tanda hasrat”. Ia bukan lagi relasi sosial antar benda, tetapi relasi tanda hasrat dan tubuh-tubuh yang tersebar secara plural melalui proses konsumsi atas produk-produk. Relasi materi antar sosial dan relasi tanda ekonomi tidak lagi penting untuk dikaitkan antara kerja secara individual atau melenyapkan subyektivitas kerja dengan antarsubyektif melalui kerja sosial antar tanda hasrat dan antar kolektivitas kerja kembali.

Ada sistem multisentris tanda yang beroperasi telah dilupakan dalam analisis Marx. Sistem multisentris tanda, yaitu terciptanya reproduksi hasrat dan sosial, reproduksi mimpi dan subyek yang terobyektifkan melintasi kebutuhan riil dan kebutuhan partikular individual dalam relasi kerja. Misalnya, sang kapitalis memiliki hasrat yang terinstitusikan melalui perusahaan dengan laba, modal, rente, dan bunga dituntut dalam era persaingan dari relasi ekonomi. Sedang, kaum pekerja juga berhasrat atau bermimpi untuk merahi kehidupan yang layak dengan menuntut upah kerja dinaikkan, tanpa tekanan surplus kerja, atau tanpa pusat gravitasi dari ekonomi politik yang dibangun melalui kekuatan modal kapitalis, titik dimana semuanya bekerja di bawah sistem tanda global.

Sejalan dengan ketidakhadiran pusat-subyek dan ketidakhadiran kerja, tatkala fetisisme menghilang dalam obyek, dimana tidak ada lagi obyek representasi, tetapi kekuatan ekstasi dari peniadaan atas peniadaan. Ia lebih kuat dari produksi, kebutuhan riil dan kebutuhan individual. Relasi produksi hasrat dan produksi sosial dalam konsumsi atas produk mengandung struktur ketidaksadaran sebelum reproduksi makna dibangun dalam relasi ekonomi (sejak kaum pekerja, kaum kapitalis hingga massa rakyat memungkinkan terpikat bukan dari nilai guna produk, tetapi nilai tanda atau nilai simbolik dari konsumsi massa, seperti feisyen, hiburan, kendaraan otomotif, perabot rumah tangga, atau makanan cepat saji, dsb). Konsumsi massa sebagai obyek nyata di sekitar kita pada taraf diferensi.

Muhammadiyah melampaui metafisika menuju “diferensi” atau penggandaan energi gairah dan sosial; ia melintasi Pengarang/Produser/Kapitalis yang berlindung dibelakang wujud teologis. Muhammadiyah menuju libido-sosial, yaitu menengahi cara produksi dan relasi produksi, dan melampaui pembebasan dari “pusat-ego-subyek’ berdasarkan materi.  Logika libido tidak melawan “logika Tauhid”.

Diferensi antara Tauhid dan Logos ditandai dengan pembebasan dari ilusi dan perbudakan terhadap pusat-subyek. Dalam kaitannya ini, Tauhid memiliki kemiripan dengan desenterisasi atas logos (pemutusan arus pusat-subyek).

Libido melawan subyek-pusat. Libido tidak lebih sebagai kata kerja, jaringan kreatif dan produktif dalam rangka mengembangkan model Dakwah Pencerahan Berbasis Komunitas. Libido adalah kelupaan ditandai titik akhir dari nalar sebagai subyek-pusat. Nalar berakhir dalam dirinya sendiri setelah sistem pemikiran sosio-agama ala Muhammadiyah mencapai puncaknya dalam “taraf diferensi” atau struktur tanda pembeda dari unsur lainnya. Itulah sebabnya, mengapa Muhammadiyah membebaskan tatanan sosial dari bentuk pemahaman (logos) yang terjatuh kedalam kesyirikan sangat berlawanan secara diametral dengan logika Tauhid.

Pemahaman tradisional dari logos inilah dibebaskan dari nilai yang terinfeksi oleh penyakit syirik (menyekutukan Tuhan) menjadi sumber penghancuran nilai dan kematian makna, dimana kerja aktual dan sosial sebagai jaringan pembebasannya. Produksi makna terbentuk, tatkala model reproduksi pemikiran menjadi bagian dari jalinan diferensi antara nalar dan kegilaan, kejahatan dan kebaikan, kegelapan dan cahaya tidak dapat tersosialkan, kecuali libido telah menelan “Ayah Logos” (Jacques Derrida, Writing and Difference,  London and New York, 2001, hlm. 12).

Baca :

https://khittah.co/pasca-dahlan-marx-dan-derrida-bagian-3/5182/

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply