Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniTokoh

Pembacaan Kreatif atas Teks Agama ; Mohammed Arkoun

×

Pembacaan Kreatif atas Teks Agama ; Mohammed Arkoun

Share this article

Oleh : Muh. Asratillah Senge

KHITTAH.co – Salah satu cendekiawan muslim kontemporer yang mencoba mengkonstruk pembacaan yang kreatif terhadap teks Al-Qur’an adalah Muhammed Arkoun. Proyek pemikirannnya dikenal dengan Kritik Nalar Islami. Yang dimkasud oleh Arkoun dengan Kritik Nalar Islami adalah kritik terhadap modus penalaran terhadap Islam pada kurun waktu tertentu serta kritik terhadap pengkultusan terhadap modus penalaran Islam tertentu.

Apa tujuan dari proyek Arkoun ini ? Tujuannya adalah untuk menghadirkan pembacaan yang beragam terhadap teks – teks kegamaan dalam Islam dan di saat bersamaan menghindari potensi atau pretensi untuk menemukan cara pembacaan yang paling benar terhadap Islam.

Muhammed Arkoun membagi dua macam modus pembacaan terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam khususnya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kelompok yang pertama disebut dengan dengan pandangan klasik (ortodoks) dimana menurut pandangan ini pada saat generasi tertentu melakukan pembacaan terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi – antara generasi tersebut dengan teks-teks kegamaan memiliki gap ruang dan waktu – yang terjadi adalah transfer makna, makna awal dari teks akan terpahami secara jelas dan lugas oleh generasi mendatang.

Kelompok yang kedua adalah pandangan kesarjanaan kritis Islam, dimana dalam pembacaan terhadap teks keagamaan, yang terjadi bukanlah sekedar transfer makna, tetapi juga transformasi makna, dengan kata lain ada distoris-distorsi, pelampauan-pelampauan, pengayaan-pengayaan dari makna awal teks. Arkoun berada pada pihak kelompok kedua.

Dalam la pensee arabe Arkoun menyebutkan pandangannya mengenai tekstualitas Al-Qur’an yang perlu diketahui dalam proses pembacaan ; “Qur’an adalah korpus terbatas dan terbuka dari ujaran dalam bahasa Arab dan hanya dapat kita dekati melalui teks yang telah dibekukan secara grafis setelah abad IV/X. Keseluruhan teks yang dibekukan demikian berfungsi secara bersamaan sebagai karya Tulis dan wicara liturgis”

Dalam perkataan Muhammed Arkoun di atas ada dua terma yang menurut saya menarik untuk diulas, yaitu terma “korpus terbatas” dan “korpus tertutup”. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an sebagai “korpus terbatas”? , yaitu bahwa Al-Qur’an dari segi isi dan pesan secara tekstual telah selesai, atau dengan kata lain Al-Qur’an dalam rupanya sekarang yaitu dalam bentuk kodifikasi mushaf Utsmani berisi seperangkata ujaran yang telah selesai. Tapi di sisi lain Al-Qur’an juga sebagai korpus terbuka yaitu terbuka terhadap konteks yang terus berubah.

Dua sisi ini adalah dua wajah paradoks nan komplementaris saat kita menghadai teks Al-Qur’an. Kita mengenal Tuhan dalam Islam, konsep kenabian , kemudian konsep malaikat, jin serta sejarah-sejarah mengenai para nabi dan masyarakat-masayarakat terdahulu melalui teks Al-Qur’an yang telah dikodifikasi (ad-tadwin) pada masa kekhalifaan Ustman Bin Affan, yang kemudian setelah Al-Qur’an dicetak massal 7 varian bacaan yang di setujui, lalu saat ini yang akrab dengan kita yaitu qira’ah Asim. Sehingga mau tidak mau Mushaf Al-Qur’an sekarang ini telah mendahului kelahiran kita, telah menjadi tradisi (turats) yang akan meyertai kita sekarang dan boleh jadi hingga kita menyapa kematian. Jika kita meminjam terminologi heideggerian , dalam konteks keberagamaan , kita lahir dalam kondisi terlempar ke situasi jejaring teks dan simbol keagamaan yang tidak bisa kita pilih sebelumnya dan sifatnya memaksa. Disnilah letak signifikasi Al-Qur’an sebagai korpus tertutup.

Walaupun sejak kita lahir, dimana korpus yang tertutup tersebut jauh-jauh hari telah menanti kita, itu tidak meniscayakan bahwa kita akan “menyerah begitu saja” dan “tidak mau melampaui” Al-Qur’an sebagai “korpus tertutup”. Kenapa kita harus melampaui Al-Qur’an sebagai korpus tertutup?, hal ini karena Al-Qur’an tidaklah lahir dalam kondisi vakum sosiohistoris, Al-Qur’an datang karena manusia dan untuk menyahuti persoalan manusia, yang kebetulan setting sosiohistorisnya adalah Jazirah Arab 14 abad yang lalu. Sehingga jika kita tidak berani “melampaui” teks lahiriah Al-Qur’an dan tidak berani berhenti menjadikannnya obat mujarab bagi semua persoalan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah kita akan memperlakukan manusia sekarang sama dengan orang-orang Arab yang hidup 14 abad yang lalu.

Dialektika antara teks Al-Qur’an dengan sejarah bisa kita lihat dari adanya Asbab An-Nuzul atau sebab-sebab yang mendahului turunya ayat, dan sebab-sebab ini adalah sesuatu yang terjadi dalam koordinat ruang dan waktu tertentu, belum lagi adanya fakta gradualisme dalam penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW yang membuktikan perjalanan peristiwa masyarakat Arab disekitar arab dengan berbagai dinamika sosial yang menyertainya menjadi sebab bagi turunya ayat secara gradual.

Pelampauan ini bukan hanya untuk teks Al-Qur’an, tetapi kita juga harus melampaui kalau perlu mendekostruksi beberapa penafsiran, interpretasi-interpretasi yang mengorbit disekitar Mushaf Al-Qur’an, dimana interpretasi-interpretasi tersebut berdiri di atas citra sakral dari ke-literalan teks Al-Qur’an. Sehingga beralihlah AlQur’an sebagai wacana kenabian (prophetic discourse ) menjadi wacana pengajaran (professoral discourse).

Lalu apa kegunaan proses “pelampauan” Al-Qur’an sebagai korpus tertutup ini ? yaitu untuk mengefektifkan Al-Qur’an sebagai korpus terbuka. Yaitu dimana pemaknaan terhadap Al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengalir terus menerus, mengalami pengayaan makna (meaning enrichment) dan mempunyai daya sahut bagi problem-problem kemanusiaan kontemporer.

Seperti para pemikir bebas Islam yang lainnya, Mohammed Arkoun juga mengajukan Hermeneutika sebagai alat untuk membaca Al-Qur’an. Apa tujuan dari membaca (qira’ah) ? yaitu untuk mengerti. Kita membaca Teks Al-Qur’an agar kita mengerti tentang komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks yang bersangkutan. Dengan kata lain agar kita bisa menemukan makna lewat teks tersebut. Bagaimana kita menemukannya ? yaitu dengan mengoptimalisasikan segala hal yang bisa digunakan untuk memproduksi makna, yaitu tanda, simbol serta studi-studi sejarah dan sosial yang bersangkut paut dengan teks Al-Qur’an.

Dorongan untuk mengerti yang menggerakkan kita dalam membaca teks tertentu, oleh Arkoun dikaitkan dengan beberapa postulat mengenai manusia yaitu (1) Manusia adalah persoalan konkret bagi dirinya sendiri (2) Pengetahuan yang memadai akan hal-hal nyata (dunia,hidup, makna dsb) adalah tanggung jawb kita sebagai manusia (3) Pengetahuan ini harus dilihat sebagai usaha untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan (4) Pengetahuan ini merupakan jalan keluar yang diulangi secara terus-menerus (sehingga merupakan resiko permanen) keluar dari ketertutupan yang cenderung bagi semua tradisi kultual setelah elaborasi mendalam. (5) Jalan keluar bisa disejajarkan dengan perjalanan rohani dalam tradisi mistik.

Dalam konsepsi Hermeneutiknya, Arkoun mengatakan ada tiga moment yang perlu didekati saat kita melakukan pembacaan terhadap teks Al-Qur’an. Moment yang pertama adalah “saat linguistik” yaitu moment dimana kita menemukan struktur kebahasaan yang lebih dalam daripada struktur kebahasaan yang Nampak di permukaan.

Moment yang kedua adalah “saat Antropologis” yaitu moment dimana kita menemukan tekstur mistik pada teks Al-Qur’an dan yang terakhir adalah “Saat Historis” yaitu moment dimana kita menegaskan jangkauan dan batas-batas dari tafsir-tafsir leksikografik dan imajinatif yang selama ini dieksplorasi oleh kaum muslimin.

Ada tiga kesimpulan yang dikemukakan Arkoun saat membaca Teks atau tradisi Islam yaitu : (1) Kebanaran potensial sebuah pernyataan hanya bisa terlihat di masa depan, dengan kata lain kebenaran bukanlah berarti selalu menengok kebelakang dan kita menemukan kebenaran di belakang, tetapi kita menengok kepada teks keagamaan sebagai produk sejarah masa lalu demi menerima inspirasi-inspirasi atau kebenaran-kebenaran potensial untuk mengantisipasi persoalan-persoalan kontemporer bahkan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang potensial muncul di masa depan.

(2) Kebenaran Al-Qur’an sifatnya berlapis-lapis, kita tidak bisa begitu saja menemukan makna sebenarnya dan tunggal saat kita menghadapi Al-Qur’an, tetapi kita harus berhadapan terlebih dahulu dengan pendapat-pendapat, asumsi-asumsi atau interpretasi-interpretasi terhadap Al-AQur’an yang mau tidak mau kita gunakan batu loncatan untuk memeras makna dari teks tersebut.(3) Karena terdapat Tradisi Islam yang sifatnya historis maka sudah menjadi keniscayaan kita melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap tradisi tersebut agar kompatibel dengan setting sosiohistoris saat ini.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply