Oleh: Daniel Mohammad Rosyid*
Beberapa waktu ini pemerintah mempublikasikan daftar pesantren yang terindikasi terpapar radikalisme dan ISIS. Jika bukan gegabah, langkah pemerintah ini tidak saya bodoh tapi juga sekaligus berbahaya. Asumsi aksi rezim ini adalah bahwa Pancasila masih hidup dan terancam oleh paham radikal Islam. Padahal sejak reformasi, kudeta konstitusi melalui serangkaian amandemen ugal-ugalan, penguburan Pancasila telah dilakukan oleh kelompok sekuler kiri radikal yang memperalat kelompok sekuler nasionalis sebagai useful idiots. Rangkaian aksi pembunuhan Pancasila ini sudah keras dikumandangkan, namun terus dihidupkan sebagai hantu.
Kumandang agenda Barat “war on terror” sejak peristiwa pemboman WTC 9/11 sudah berubah menjadi “war on muslim“. Lalu lahir semburan narasi islamophobia di mana-mana, termasuk di negeri yang mayoritas sukunya mengaku muslim. Negeri yang selama ini aman dan damai disertai kehidupan antar-agama yang pernah menjadi contoh bagi dunia, mulai retak terganggu dengan ketegangan antar pemeluk agama. Bahkan sebagian kelompok islam tertentu bertindak lebih jauh menjadi sedemikian tolerannya sehingga memusuhi sesama muslim yang berbeda. Ummat Islam terpecah belah, yang selama ini abangan makin ketakutan menampakkan diri sebagai muslim.
Pesantren dalam sejarah negeri ini adalah lembaga yang dengan sangat konsisten berjuang melawan penjajah. Penjajahan Belanda bagi pesantren jelas tergolong kedzaliman yang harus dilawan jika mereka diperangi. Sejak P. Diponegoro, lalu Imam Bonjol dan Teuku Tjik di Tiro adalah pemimpin pesantren yang melakukan perlawanan menghadapi Belanda selama kurun hampir 100 tahun. Perang yang dipimpin Diponegoro yang disebut sebagai Perang Jawa adalah perang yang membangkrutkan VoC. Serikat dagang Belanda itu akhirnya harus diambil alih kerajaan Belanda. Bahkan Belanda harus mengirim Snouck Hurgronje ke Mekkah dan Aceh untuk merumuskan strategi penaklukan Tengku Cik di Tiro dan Tjut Nyak Din untuk memenangkan Belanda dalam perang di Aceh. Setelah upaya mencampuri urusan pengelolaan pesantren melalui UU no 18/2019 tentang Pesantren, dan Perpres 82/2021 tentang Penyelenggaran Pendanaan pesantren, memetakan pesantren dalam perspektif radikalisme adalah sama dengan tindakan permusuhan penjajah atas pesantren di masa kolonial.
Rezim ini adalah rezim yang berusaha menghapus peran Islam dari evolusi Nusantara menjadi Indonesia. Ini dilakukan dengan merendahkan peran ulama dan pesantren dalam seluruh perjuangan kemerdekaan. Salah satu strateginya adalah dengan mengaitkan semua perjuangan muslim Indonesia dengan upaya makar NII yg pernah dituduhkan pada SM Kartosuwiryo. Narasi anti-Islam ini dijadikan kurikulum inti Akademi Militer yang secara perlahan dibersihkan dari elemen Hizbullah (Panglima Besar Jendral Soedirman) dan Sabilillah yang berbasis santri, lalu digelontorkan prinsip sekulerisme ala KNIL. Doktrin anti-Islam ini masih dipelihara di Lemhanas hingga hari ini.
Penguburan Pancasila di bawah kaki kaum sekuler kiri radikal dan nasionalis saat ini telah berhasil membajak agenda reformasi yaitu pemberantasan korupsi, demokratisasi dan desentralisasi. Setelah KPK dilemahkan, indeks korupsi bangsa ini kini lebih buruk daripada Timor Leste. Indeks demokrasi juga anjlog akibat kriminalisasi ulama dan aktifis. Kebebasan berbicara harus menghadapi para pendengung bayaran. Ubedillah Badrun diintimidasi karena mengajukan kasus dugaan suap dan pencucian uang keluarga istana ke KPK. Desentralisasi mengalami degradasi dengan banyak kewenangan daerah ditarik kembali ke pusat antara lain melalu UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kesenjangan spasial bahkan dijadikan alasan pemindahan Ibu Kota Negara.
Menyemburkan narasi islamophobia saat ini juga bodoh karena Canada dan bahkan AS justru mulai membuang wacana ini. Namun dendam kaum sekuler kiri radikal yang gagal mewujudkan impiannya rupanya masih menyala. Agenda Barat memerangi Islam, serta kebangkitan China komunis sebagai raksasa ekonomi dan militer ditunggangi untuk memusuhi Islam di negeri ini. Para nasionalis tidak menyadari bahwa mereka hanya dijadikan alat untuk melemahkan Islam, antara lain dengan memojokkan pesantren-pesantren sebagai sumber radikalisasi. Narasi radikal Islam oleh Barat telah membuka luka lama perjalanan republik ini yang sebenarnya sudah hampir sembuh. Namun luka lama yang terbuka itu justru dimanfaatkan oleh kaum sekuler radikal kiri ini. Rupanya hujan di hulu belum teduh, luka dahulu belum sembuh.
* Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya