Oleh: Agusliadi Massere*
“Kalau istri tertinggal di rumah, tak masalah! Kalau ponsel yang tertinggal, separuh nyawa hilang”. Ini candaan yang saya temukan dalam buku Demokrasi Digital: Manusia, Teknologi, dan Kontestasi (2022: 45) karya M. Alfan Alfian. Dalam buku karyanya tersebut, M. Alfan pun menegaskan “Zaman algoritma ialah ketika kita ‘tak bisa hidup’ tanpa bersanding mesin pintar”.
Dalam buku Sihir Gawai: Renungan Filosofis-Sufistik Era Digital (2021:157) karya Prof. Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari Banjarmasin, menyampaikan terkait hasil riset di Amerika Serikat dan hasil studi di Inggris, yang memiliki relevansi dengan penegasan M. Alfan di atas. Ketika ditanya “Apa yang Anda kerjakan segera setelah bangun tidur?” Tiga perempat dari anak muda Amerika berusia 18-24 tahun mengatakan, mereka langsung membuka ponsel. Di Inggris, rata-rata orang membuka ponselnya 221 kali sehari. Saya yakin di Indonesia bisa lebih dari kondisi ini.
Di forum-forum perkaderan dan LDK pun,—jika membawakan materi tentang “Konsep Diri”—saya sering menyampaikan bahwa generasi Z hari ini, lebih sering dibuat galau hanya gara-gara tidak meng-charge ponselnya atau ketika lupa membawa charger ponselnya ketika berkunjung ke rumah keluarga dan di rumah tersebut tidak ada jenis charger yang sama atau cocok dengan ponsel miliknya.
Kedua hal di atas menggambarkan dan menegaskan, bahwa terkesan, kita memang “tak bisa hidup” tanpa bersanding mesin pintar dan termasuk ponsel pintar. Ketergantungan ini tentunya sebagai dampak perkembangan teknologi digital dan terutama apa yang dimaknai sebagai artificial intelligence (AI). Dan, ini adalah konsekuensi logis dari revolusi perkembangan teknologi, termasuk pula teknologi informasi dan komunikasi berbasis teknologi digital.
Artificial intelligence yang lebih lazim di telinga dengan sebutan—berdasarkan singkatannya—AI ternyata tidak hanya melahirkan kondisi ketergantungan, termasuk pula menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran tanpa kecuali bagi kalangan pendidik dan/atau guru. Saya pernah dan beberapa kali menerima curhatan dari beberapa orang pendidik atau “guru muda” terkait kekhawatirannya atas perkembangan dan kemampuan AI yang berpotensi menggantikan pula peran guru pada masa yang akan datang.
Kekhawatiran ini pun tentunya sangat mendasar dan memiliki alasan yang berbasis realitas empirik. Contoh sederhana, tenaga kerja tepatnya petugas pembayaran tol, mungkin 15 tahun yang lalu petugasnya masih berwujud manusia. Tetapi kini, minimal delapan tahun terakhir, 99% lebih telah tergantikan dengan perangkat digital, yang tentunya berbasis AI atau dikenal pula sebagai kecerdasan buatan. Kita cukup menempelkan kartu yang dilengkapi chip berbasis teknologi digital, maka transaksi pembayaran dalam beberapa detik telah berlangsung secara tepat tanpa kendala.
Kurang lebih sebulan terakhir, di tangan melalui ponsel pintar kita, masing-masing telah dilengkapi satu fitur cerdas yang bernama Meta AI. Ini pun berpotensi akan mereduksi atau mengurangi interaksi antara siswa dan guru di kelas. Jika sebelumnya, siswa (mungkin) masih sering bertanya kepada gurunya di dalam kelas. Keberadaan Meta AI, berpotensi, siswa tidak akan bertanya lagi kepada guru. Namun, mereka langsung saja mengetik pertanyaan melalui fitur cerdas tersebut.
Saya pribadi tidak pernah cemas dan khawatir bahwa AI akan menggantikan peran guru—berwujud manusia—sepenuhnya pada masa yang akan datang. Tetapi, saya tetap khawatir bahwa tujuan dan misi mulia dari pendidikan akan tergerus, termasuk nilai-nilai kemanusiaan. Eksistensi manusia berpotensi mengalami kepincangan ketika kita tidak memanfaatkan AI secara professional dan proporsional. Tetapi, saya juga tetap sepakat AI tetap dimanfaatkan, bukan sebaliknya, meninggalkannya.
Kekhawatiran tersebut termasuk dengan adanya kampanye, promosi, dan sosialisasi masif pemanfaatan AI di dunia pendidikan terutama bagi pendidik dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Kalau pemanfaatan AI itu hanya sekadar alat bantu dan proses penyelesaian tugas tersebut tidak menggerus potensi dahsyat manusia,—apalagi sebagai seorang pendidik atau guru—tentunya itu bukan masalah. Tetapi, kenyataan yang ditimbulkan memperkuat kekhawatiran tersebut.
Kini ada kampanye, promosi, dan sosialisasi, bahkan (mungkin) ada dalam bentuk bimtek bagaimana menyelesaikan makalah, skripsi, tesis, dan disertasi hanya dalam beberapa menit atau beberapa jam sudah bisa selesai. Bahkan, unsur penting yang harus dihindari dalam hal ini plagiarisme, dengan menggunakan teknologi AI dengan modal sedikit parafrase, itu pun sudah bisa dihindari untuk tidak terdeteksi atau teridentifikasi lagi.
Padahal, saya masih sangat memercayai dan faktanya bisa dibuktikan terkait salah satu sunnatullah atau hukum Allah yang diciptakan yaitu hukum habits (kebiasaan). Hukum habits ini menegaskan fungsionalisasinya baik di bumi maupun dalam diri manusia. Apa pun yang diulang-ulang itu meninggalkan atau menimbulkan jejak dan/atau dampak. Belum lagi, proses algoritmik yang juga terjadi dalam diri manusia.
Jadi, bagi manusia, AI bukan hanya sebagai peluang, alat bantu yang menjanjikan dan menjamin kemudahan, efektivitas, dan efesiensi kerja. AI pun berpotensi menimbulkan dampak negatif dan destruktif bagi manusia, jika digunakan tidak secara profesional dan proporsional dengan mengedepankan kesadaran etik, nalar organik personalitas diri, dan kemanusiaan. Status yang berisi tulisan pencerahan di akun resmi Facebook [Dr.] Desvian Bandarsyah, seorang Wakil Rektor II Univeritas Prof. Dr. Hamka, menyebutnya—sebagai gambaran dari dampak negatif dan destruktif AI—“kemajuan yang mengacaukan”.
AI sesungguhnya—terutama jika memperhatikan model dan kecenderungan pemanfaatan teknologi dan/atau ponsel pintar hari ini oleh para penggunanya, termasuk perilaku mereka setelah itu dalam realitas kehidupan—telah menggerus dimensi kemanusiaannya. Melumpuhkan eksistensi manusia.
Saya menyebut melumpuhkan eksistensi manusia karena saya memaknai eksistensi bukan hanya sekadar dalam makna di mana manusia eksis atau berada dalam dinamika atau realitas sosialnya untuk melakukan interaksi dan transaksi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya yang bersifat fisik, biologis, dan material. Makna eksistensi manusia melampaui dari itu semua.
Terkait eksistensi manusia, ada yang saya baca dan pahami sejak kurang lebih 17 tahun yang lalu. Pada saat itu, saya membaca dan memahami apa yang dimaksud “Manusia dalam Piranti Lahiriah (Segitiga kolektifa)” dan “Eksistensi manusia” dari alur materi perkaderan Latihan Kader 1 (LK 1) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Untuk diketahui, saya bukan kader HMI, hanya saja, saya bergaul dan akrab dengan beberapa senior HMI.
Yang menarik dan ini harus dipahami bahwa manusia itu secara eksistensial, ada tiga dimensi yang menjadi satu kesatuan, yaitu akal, rasa, dan jasad. Ketiganya menentukan seperti apa ide, sikap, dan kreativitas manusia. Bahkan, ketiganya inilah yang bisa menjadi piranti untuk menentukan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek.
Kesadaran akan “Segitiga kolektifa” dan “eksistensi manusia” ini, itu pun memantik kesadaran bahwa antara logika, etika, dan estetika itu tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya. Ini pun sangat relevan—jika jika kita memahami esensi ajaran Islam—antara ilmu, iman, dan amal. Termasuk memiliki relevansi atas kesadaran pentingnya dan semestinya dinilai sebagai satu kesatuan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan spiritual.
AI jika kita mendalami substansinya dan mau mengakui secara jujur, hanya mampu menjadi alat bantu manusia pada dua dimensi saja, yaitu dimensi akal, kemampuan berpikir dan logikanya, serta sedikit membantu pada dimensi jasad. Jadi hanya bisa memperkuat dimensi logika dan estetika.
Saya memandang dan meyakini AI kesulitan sebagai alat bantu dalam menopang dimensi manusia dalam hal “rasa” dan “etika”. AI bisa saja menjadi alat bantu untuk menentukan benar-salah sesuatu, tetapi akan kesulitan menentukan “baik-buruk” sesuatu yang relevansinya bagian terdalam dimensi kemanusiaan. Kecuali jika baik-buruk yang dimaksud hanya bersifat instrumental dan mekanika.
AI tidak bisa menuntun manusia bagaimana untuk bisa meningkatkan keimanan, akhlak, dan amal. AI hanya bisa memberikan seputar informasi tentang keimanan, akhlak, dan amal. Padahal dengan AI yang luar biasa telah menyita waktu manusia untuk khusyuk khususnya dalam ibadah malam, menjadi keintiman dengan perangkat mesin di hadapan mesin pintar.
Atau, tidak perlu kita memberikan contoh yang sangat mendalam seperti uraian di atas. Cukup pada satu dimensi saja, yaitu akal. Terhadap akal pun, AI berpotensi pula menimbulkan dampak negatif dan destruktif. Kebiasaan kita untuk menggunakan AI maka otak dan akal kita mengalami kelumpuhan khususnya dalam kemampuan analisis.
Berdasarkan salah satu sunnatulah (baca: hukum habits), jika otak jarang digunakan maka akan semakin tumpul pula. Bahkan, jika kita memahami lebih jauh terkait ilmu Neurosains,–di satu di antaranya yang akan kita pahami dan sadari adalah “kunci menjadi cerdas”. Kunci menjadi cerdas adalah bagaimana caranya agar semakin banyak cabang cell otak kita yang bersambungan. Artinya semakin banyak yang bersambungan terkoneksi antara satu dan yang lainnya, maka semakin cerdaslah kita. Ternyata caranya agar semakin banyak yang terkoneksi itu sangat sederhana, yaitu dengan banyak atau sering berpikir dan/atau menganalisis.
Jika hanya menggunakan AI, dipastikan kinerja otak kita menurun dan berpotensi akal dan/atau nalar kita pun mengalami ketimpangan. Saya sering berpesan kepada pelajar, jika bapak/ibu gurunya memberikan tugas seperti membuat makalah, jangan langsung mengandalkan sepenuhnya Google. Biasakanlah mencari secara manual dengan membaca kata demi kata dari beberapa buku-buku yang relevan sebagai referensi. Ini bertujuan untuk mengasah otak dan menjernihkan akal.
Termasuk pula, jika kita memahami dengan baik apa yang dimaksud dengan proses algoritmik dan seperti apa bentuknya dalam diri manusia. Maka, kita bisa mendapatkan pemahaman dan kesadaran untuk semestinya memaksimalkan pula fungsionalisasi potensi organik personalitas diri kita. Jangan direduksi anugerah Allah tersebut dengan beralih dengan serba mengandalkan mesin pintar atau AI.
Proses algoritmik dalam diri manusia akan bekerja dengan baik jika big data dalam diri pun maksimal dan beragam dari berbagai referensi yang didapatkan dari berbagai cara seperti belajar, membaca, beribadah, dan interaksi sosial. AI tidak cukup untuk memaksimalkan dan menyempurnakan big data dalam diri manusia. Maka jika tidak maksimal dan sempurna, maka tindakan dan keputusan yang diambil pun setelah terjadi proses algoritmik dalam diri, itu tidak bisa maksimal dan sesuai harapan dalam perspektif yang memanusiakan.
Ada banyak persoalan yang bisa terungkap ketika menarik relasi dan relevansi antara eksistensi manusia dan AI. Apatah lagi dengan lemahanya pemahaman dan kesadaran manusia hari ini, yang telah secara membabi-buta menggunakan AI tidak lagi secara profesional dan proporsional dengan mengedepankan kesadaran etik, nalar organik personalitas diri, dan kemanusiaan.
Singkatnya bisa meminjam dari pandangan Dr. Desvian terkait AI yang disebutnya “Kemajuan yang mengacaukan” itu adalah “[sesuatu yang] di dalamnya berlangsung segala anomaly dan paradoks kehidupan yang hadir bersama dengan kemajuan dan kemudahan, tetapi di dalamnya juga menganga segala ancaman kerusakan dan bencana”.
Di sinilah urgensi dan signifikansi pendidikan untuk menjaga eksistensi manusia dalam menghadapi artificial intelligence (AI). Terkait hal ini, saya ingin mengajak para sahabat pembaca untuk fokus pada bagian “Menimbang huruf b” dan “Pasal 1 ayat (1)” dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagian “Menimbang huruf b” berbunyi “bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahkan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang”.
Pasal 1 ayat (1) menegaskan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Sumber gambar: Grid.id
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhamadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.