Oleh: Dr. Nasaruddin Idris Jauhar, M.Ed
Alam raya yang luas ini, dengan seluruh dinamika di dalamnya, sesungguhnya adalah layar lebar kehidupan tempat ayat-ayat Allah ditayangkan. Di mana pun kita berada, di mana pun kita menuju, ayat-ayat Allah terpampang, menunggu untuk kita hayati.
Ayat-ayat Allah tidak selalu berkumandang dari dalam masjid dan musalah, tetapi bisa juga mengalun dari dalam bus antar kota. Nasihat-nasihat baik yang menggetarkan hati tidak hanya berasal dari ceramah dan khutbah para ustadz dan kiyai, tetapi bisa juga berasal dari ocehan dan nyanyian sumbang para pengamen jalanan.
Suatu hari, dalam bus yang membawa saya dari Surabaya berangkat mengajar ke Kediri, seorang pengamen dengan mengesankan tampil memerankan seorang mubalig. Ia membawakan dua lagu milik Roma Irama. Seperti kebanyakan pengamen, suaranya sumbang, walaupun tentu masih lebih merdu dari suara saya. Tetapi, istimewanya, setiap lagu ia uraikan hikmah dan nasihat yang terkandung di dalamnya, lengkap dengan hadis dan ayat sebagai dalilnya.
Lagu pertama tentang kesombongan. Saya tidak tahu judulnya. Yang saya ingat ada potongan lirik: “Itu kesombongan…. Itu keangkuhaan…” Di akhir lagu, sang pengamen bertausiah, “Terkadang, dengan nikmat Allah kita lupa diri dan sombong. Kita lupa kepada Allah. Padahal, semua yang kita miliki adalah pemberian dari Allah. Kita meremehkan orang lain dan memandangnya sebelah mata. Padahal, apa yang kita banggakan itu semuanya milik Allah. Bukan milik kita. Semoga kita dijauhkan dari sifat sombong dan angkuh.”
Lagu yang kedua tentang kemajuan peradaban manusia yang salah arah. Lagi-lagi, saya tidak tahu judulnya. Tetapi, di antara liriknya yang saya ingat berbunyi “Bahasa Inggris digalakkan, bahasa Arab katanya kampungan.” Potongan lirik lagu ini cukup menohok saya. Saya adalah guru bahasa Arab. Dan berada di bus itu dalam perjalanan luar kota untuk mengajar bahasa Arab.
Usai membawakan lagu tersebut, sang pengamen kembali menasihati seluruh penumpang bus dengan menguraikan hikmah di balik lagu tersebut. Bahwa kemajuan peradaban manusia mestinya tidak menjauhkan kita dari agama. Tidak lupa, ia menutup taushiahnya dengan dalil persuasif: “Sedekah itu menolak bala.”
Karena terkesima, saya mengapresiasi pengamen istimewa ini dengan menyiapkan uang lebih banyak dari biasanya. Saat uang itu saya masukkan ke plastik kopiko yang ia sodorkan, ia sejenak berhenti, lalu sederet doa meluncur begitu lancar dari mulutnya. Saya berkali-kali mengaminkannya dalam hati. Ada haru yang tiba-tiba saya rasakan. Uang yang tadi saya kira banyak, jadi terasa sedikit setelah mendengar doanya.
Si pengamen itu turun ketika bis masuk wilayah Jombang. Di sisa perjalanan, saya terus memikirkannya. Tak ada yang baru dari yang ia katakan. Tetapi, kenapa begitu menyentuh? Mungkin karena saya terbawa anggapan umum tentang pengamen yang biasanya hanya menyanyikan lagu-lagu murahan yang dibumbui ocehan-ocehan genit dan lucu. Maka, ketika pengamen yang satu ini membawa lagu yang sarat pesan dan kemudian menjelaskannya dengan bahasa tausiah, jadilah ia terasa beda dan kata-katanya menyentuh hati.
Bisa juga karena saya terbawa suasana. Tiap kali naik bus antar kota, biasanya saya akrab dengan suara-suara seperti teriakan kondektur, rayuan para penjual makanan, penumpang yang menelepon atau beradu cerita, anak kecil yang menangis tak nyaman, dan lain-lain. Tetapi, kali ini tiba-tiba ada pengamen yang dengan fasih menyitir dalil dan menyampaikan tausiah. Secara psikologis, tentu menarik perhatian. Mungkin tidak semua penumpang merasakan yang sama. Tetapi, saya yakin, pasti banyak yang terkesima oleh tausiahnya. Paling tidak, mereka bergumam dalam hati, “kok pinter ndalil yo pengamen iki.”
Sebenarnya, setiap kita adalah mubalig, penyampai kebaikan. Rasulullah menyatakan ini dengan bahasa yang motivatif, “Ballighuu ‘anni walau aayah.” Sampaikan kebaikan yang kuajarkan, walaupun satu hal ringan. Siapa pun kita pasti punya pengetahuan tentang kebaikan, sesederhana apa pun itu. Terhadap kebaikan itu, kita berkewajiban menyampaikannya kepada orang lain. Termasuk kewajiban seorang pengamen bis antar kota untuk menyampaikan kebaikan yang diketahuinya kepada para penumpang.
Jadi, ini sesungguhnya adalah bagian dari kewajiban dasar setiap orang. Jangan pernah menganggap bahwa bukanlah kapasitas seorang pengamen untuk memberi nasihat. Islam adalah “Tawaashau bilhaq“, saling menasihati tentang yang baik-baik dengan cara yang baik. Ini adalah kewajiban resiprokal, dimana setiap orang bisa tampil sebagai subjek. Ini bukan kewajiban satu arah, seperti dari ustadz kepada jamaahnya, tapi juga bisa sebaliknya.
Si pengamen spesial ini adalah contoh. Dalam menyampikan kebaikan, kita tidak perlu berpikir terlalu jauh tentang di mana kita berada dan siapa yang kita hadapi. Karena ini lebih merupakan soal kita ketimbang soal orang lain. Ini soal kita menunaikan kewajiban, kepada siapa pun itu kita lakukan. Si pengamen ini tentu tidak terlalu memikirkan kalau di antara penumpang bus bisa jadi ada ustadnya atau guru agamanya saat sekolah dulu. Yang penting baginya adalah menunaikan kewajiban, menyampaikan kebaikan. Karena mungkin ia sadar bahwa dirinya, sebagaimana kita semua, sesungguhnya adalah mubalig, penyampai ajaran kebaikan. Wallahu A’lam.
* Penulis dan Dosen Bahasa Arab di UIN Surabaya