Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Hikmah RamadanLiterasiOpini

Perjalanan Spiritual di Era Digital: Bentangan Jarak Bantaeng-Batam

×

Perjalanan Spiritual di Era Digital: Bentangan Jarak Bantaeng-Batam

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO,- Kita dan saya pun demikian, memandang bahwa, pada umumnya yang dimaknai perjalanan spiritual identik dengan perjalanan ke tanah suci—seperti dalam rangka umroh. Pengalaman spiritual para sufi, itu pun bisa dimaknai sebagai hasil perjalanan spiritual.

Di daerah kami, terdapat doktrin keyakinan orang-orang tertentu, sebelum melakukan ibadah haji, mereka melakukan perjalanan ke sebuah gunung yang dikenal dengan Gunung Bawakaraeng, dan itu pun bagi mereka menilainya sebagai perjalanan spiritual. Atau dikenal dengan “tradisi berhaji di Gunung Bawakaraeng”.

Ketika sedang transit di Bandara Juanda Surabaya, dalam rentang waktu kurang lebih lima jam untuk menunggu pemberangkatan atau penerbangan berikutnya ke Kota Batam, Kepulauan Riau, saya pun terinspirasi dan segera menuliskannya di tengah ruang tunggu Gate-5-6 inspirasi tulisan dengan judul di atas. Era digital pun, yang mungkin dinilai penuh kebisingan, dan gempa informasi, kita atau minimal saya, tetap bisa melakukan perjalanan spiritual.

Bagi saya, perjalanan spiritual tidak harus identik dengan “kota suci”, “keheningan sebuah gua dengan sakralitasnya”, dan/atau “tempat keramat tertentu”. Dalam bentangan jarak Kabupaten Bantaeng, Kota Makassar, Kota Surabaya, dan Kota Batam pun, kita sebenarnya bisa melakukan perjalanan spiritual.

Saya teringat pandangan Ary Ginanjar Agustian, dan saya sepakat terhadapnya—meskipun saya harus mengilustrasikan ulang, yang penting substansinya tepat. Kini, kita pun bisa menemukan para sufi di perusahaan-perusahaan besar, tidak harus dicari dan hanya ditemukan di Masjid-masjid. Saya menyebut sufi di sini, karena sufi seringkali diidentikkan dengan spiritualitas, spiritualitas ihsan, cinta, dan agama cinta.

Apa yang baru saja, saya ungkapkan di atas adalah bagian yang yang bisa menjadi dasar atau landasan pemaknaan spiritualitas dalam konteks dan makna lain, yang tidak seperti pada lazimnnya. Kita pun patut menyadari bahwa diri ini, bukan hanya memiliki dimensi fisik-biologis, di dalamnya pun terdapat dimensi psikologis dan bahkan spiritualitas. Manusia tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, dan emosional, tetapi juga kecerdasan spiritual.

Atas dasar alasan dan argumentasi terakhir di atas, maka idealnya setiap dari kita tidak hanya melakukan perjalanan yang biasa-biasa saja, identik dengan sesuatu yang dimaknai material, ruang-waktu empirik, dan fisik-biologis. Kita semua seharusnya, di mana dan ke mana pun tanpa kecuali dalam era digital ini, seharusnya senantiasa melakukan perjalanan spiritual.

Dalam QS. Al-Hadid [57]: 4, Allah menegaskan firmanNya, “…dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. Makna konvensional perjalanan spiritual pun, seperti yang dilakukan dan dialami para sufi, atau para kekasih Allah yang tingkat keimanannya tak diragukan, pada hakikatnya adalah bermuara pada bagaimana dirinya merasakan “Bersama Allah”. Ini kurang lebih substansinya, yang hampir sama dengan makna dari firman Allah tersebut.

A. Helwa penulis buku Secret of Divine Love: Sebuah Perjalanan Spiritual yang Mendalam tentang Islam, menegaskan “Anda tidak perlu Menara seluler untuk mencapai Tuhan, Anda hanya perlu melihat ke dalam hati Anda”. Alasan Helwa mengatakan demikian, karena sesuai QS. Al-Hadid [57: 4 di atas, Allah senantiasa bersama diri kita.

Para sahabat pembaca, mungkin masih ingat dengan tulisan saya sebelumnya, di mana saya pun menegaskan bahwa sejak di Lauh Mahfudz, ruh kita—sebelum ditiupkan ke dalam janin,—telah mengucapkan “ikrar komitmen ilahiah” dengan Allah. Maka, sepanjang hidup dan kehidupan ini, kita seharusnya—sekali lagi saya tegaskan—jangan hanya melakukan perjalanan dalam makna yang biasa-biasa saja, tetapi seharusnya dalam makna perjalanan spiritualitas. Apatah lagi, ibarat transit yang saya dan/atau kami alami hari ini, dunia dan/atau bumi yang kita huni ini, dimaknai pula sebagai tempat “transit” untuk mengumpulkan bekal dalam melakukan perjalanan selanjutnya yang lebih abadi: akhirat.

Tulisan ini, mungkin terkesan subjektif, tetapi saya pun—dengan beberapa dalil yang ditorehkan di atas, di tengah ruang tunggu Gate 5-6 Bandara Juanda Surabaya, bisa menjadi basis dan landasan untuk membangun kebenaran atas apa yang menjadi keyakinan ini. Meskipun, saya pun sama sekali, tidak berani mengatakan bahwa diri ini melakukan perjalanan spirituali yang maqamnya sama dengan para sufi atau para “kekasih Allah”.

Perjalanan spiritual yang saya dan/atau kami jalani minimal bahwa, meskipun kami menunggu kurang lebih lima jam, dan termasuk tanpa ada niat untuk membatalkan puasa, kami masih tetap menikmatinya. Berupaya mengedepankan kesabaran, dan memetik hikmah di baliknya. Minimal dengan waktu transit—yang mungkin bagi sebagian penumpang menilainya cukup dan bahkan sangat melelahkan,—saya mendapatkan manfaat karena bisa menuntaskan tulisan untuk berbagi inspirasi dan manfaat pada hari kedua belas Ramadan 1444 H, tahun ini.

Selain itu, dengan perjalanan dari Kabupaten Bantaeng, sampai Kota Surabaya (saat jemari ini menari di atas tuts keyboard laptop), untuk selanjutnya ke Kota Batam, saya bisa membuktikan kebenaranya firman Allah dalam QS. An. Nahl [16]: 78, “…dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan pikiran, agar kamu bersyukur”. Artinya, dengan pendengaran, penglihatan yang Allah berikan kepada diri ini, saya bisa melihat dan mendengar banyak hal, dan itu memantik rasa syukur.

Saya pun dengan pikiran yang Allah berikan kepada diri ini, tanpa membaca banyak buku referensi di tengah ruang tunggu Gate 5-6 Bandara Juanda Surabaya, masih bisa memikirkan untaian narasi untuk memproduksi tulisan yang muara besarnya diharapkan bisa menjadi inspirasi atau memberikan banyak manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Inilah sebagai bukti nyata, pengalaman spiritual atas kebenaranya firman Allah QS. An. Nahl ayat 78 di atas.

Spiritualitas relevan dan memiliki korelasi positf dengan kesabaran, syukur, kemampuan memetik hikmah, akhlak, dan etika, Maka, ketika perjalanan diri kita di mana dan ke mana pun bisa dibingkai (minimal) dari nilai-nilai spiritualitas yang disebutkan ini, itu pun, tentunya tidak keliru jika disebut sebagai perjalanan spiritual

Saya yakin, ketika diri kita senantiasa memandang bahwa, setiap perjalanan yang kita lakukan adalah perjalanan spiritual, maka bukan hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri, tetapi termasuk akan memiliki potensi besar yang memberikan manfaat kepada orang lain. Minimal diri ini tidak menjadi sumber masalah bagi orang lain.

Sejatinya—berdasarkan apa yang telah saya uraikan di atas: potensi spiritualitas yang telah built-in dalam diri; dan komitmen ilahiah ruh kita kepada Allah sebelum ditiupkan ke dalam janin; apatah lagi keberadaan diri kita di muka bumi adalah sebagai wakil Allah—maka, keberadaan dan termasuk apa pun bentuk perjalanan kita di muka bumi ini adalah perjalanan spiritual. Ini tentunya sesuatu, yang idealnya tidak terbantahkan baik secara rasional maupun dalam pandangan filosofis dan teologis.

Memegang amanah dalam posis apa pun di muka bumi ini, baik sebagai karyawan, staf, maupun sebagai manager dan/atau pimpinan, ketika itu dibingkai dalam makna “perjalanan spiritual” maka, bisa dipastikan diri kita tidak akan pernah ingin melakukan kerusakan, kekacauan, pelanggaran yang menodai atau menciderai sumpah/janji jabatan.

Setiap diri yang memaknai dirinya sedang melakukan perjalanan spiritual, akan senantiasa menampilkan akhlak, bahkan apa yang dimaknai sebagai spiritualitas ihsan, yang mirip dengan upaya mengedepankan “prinsip malaikat” dalam menjalankan amanah, tugas, dan/atau peran yang dijalankan.

Terutama, dalam bulan Ramadan ini, di mana diri kita selaku muslim dewasa yang sedang menjalankan puasa, maka idealnya perjalanan spiritualis itu harus mampu memberikan spirit lebih ketimbang yang tidak sedang menjalankannya.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply