Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Persaudaraan dalam Islam

×

Persaudaraan dalam Islam

Share this article

 

Oleh: Muhammad Chirzin*

Pluralitas merupakan conditio sine qua non dalam penciptaan makhluk. Pluralitas bangsa-bangsa, suku bangsa, agama, dan golongan merupakan kaidah yang abadi sebagai pendorong menciptakan prestasi dan penuntun perjalanan menggapai kemajuan dan ketinggian.

Manusia beriman mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah swt dan hubungan horizontal dengan sesama. Mukmin niscaya menjaga harmoni, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal dan hubungan horizontal.

Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia. Dalam kondisi tertentu, kesetiakawanan sosial itu harus dibuktikan dengan membela mereka yang tertindas.

Interaksi Muslim dengan sesama didasari keyakinan bahwa semua manusia adalah bersaudara. Ukhuwah mengandung unsur persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Pepatah mengatakan, “Burung sejenis akan hinggap di dahan yang sama.” Orang pecundang akan berkumpul dengan orang pecundang. Semakin banyak unsur persamaan, semakin kokoh persaudaraan.

Persamaan dalam cita menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman bersama jenisnya dan dorongan kebutuhan bersama juga menunjang persaudaraan itu. Islam menganjurkan untuk mencari titik temu, baik terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim.

Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab, marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita takkan saling mempertuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah, “Saksikanlah bahwa kami orang-orang yang tunduk bersujud pada kehendak Allah. (QS Ali Imran/3:64).

Islam mengenal beberapa dimensi ukhuwah: (1) persaudaraan sesama manusia – ukhuwah insaniyah/basyariyah; (2) persaudaraan nasab dan perkawinan – ukuwah nasabiyah shihriyah; (3) persaudaraan suku dan bangsa – ukhuwah sya’biyah wathaniyah; (4) persaudaraan sesama pemeluk agama – ukhuwah diniyah; (5) persaudaraan seiman-seagama –  ukhuwah imaniyah.

Persaudaraan sesama manusia disebutkan dalam Al-Quran,

Hai manusia, Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal, bukan supaya saling membenci, bermusuhan. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (QS Al-Hujurat/49:13).

Seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu, Nabi Adam dan Hawa.

Hai anak-anak Adam, jangan biarkan setan menggoda kamu, seperti perbuatannya mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian supaya mereka memperlihatkan aurat. Ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat dan kamu tak dapat melihat mereka. Kami jadikan setan-setan sekutu orang-orang tak beriman (QS Al-A’raf/7:27).

Manusia satu dalam ikatan keluarga dan persaudaraan universal yang mendorong masing-masing berpartisipasi pada agenda-agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada semua golongan manusia.

Persaudaraan dalam keturunan dan perkawinan disebutkan dalam Al-Quran,

Dialah yang menciptakan manusia dari air; lalu dijadikan-Nya ia berkerabat dan bersanak semenda; dan Tuhanmu Mahakuasa (QS Al-Furqan/25:54).

Allah menjadikan buat kamu pasangan dari kodratmu sendiri dan Ia menjadikan dari pasangan itu anak-anak, laki-laki dan perempuan serta cucu, dan Ia memberikan kepadamu rezeki yang baik. Adakah mereka masih percaya kepada yang batil dan tidak mensyukuri nikmat Allah? (QS An-Nahl/16:72).

Kehidupan keluarga adalah nikmat Allah swt. Keluarga yang tersusun dari pasangan suami isteri, anak-anak, dan cucu niscaya dikelola sebaik-baiknya.

Wahai orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, dijaga para malaikat yang keras dan tegas, tak pernah membangkang apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS At-Tahrim/66:6).

Orang-orang beriman niscaya memelihara perilaku diri-sendiri, keluarga, dan mereka yang dekat karena habungan darah maupun hubungan perkawinan. 

Persaudaraan kebangsaan difirman Allah swt,

Hai manusia, Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal, bukan supaya saling membenci, bermusuhan. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (QS Al-Hujurat/49:13).

Di hadapan Allah swt semua manusia satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. Muslim menjadi nasionalis dalam kerangka kemanusiaan universal. Ketika Muslim melaksanakan ajaran agamanya, pada waktu yang sama ia mendukung nilai-nilai baik bangsanya.

Persaudaraan sesama pemeluk agama dinarasikan dalam Al-Quran,

Katakanlah, “Hai orang-orang tak beriman, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang aku sembah. Aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untukmu, dan agamaku untukku (QS Al-Kafirun/109:1-6).

Iman adalah soal keyakinan pribadi. Beribadah harus dengan iman yang bersih dan tulus, tetapi sering tidak demikian, karena mencari keuntungan duniawi, ikatan-ikatan sosial, bawaan meniru-niru, dan bermalas-malas, serta tak mau melakukan penyelidikan mengenai perilaku dan kehendak hati yang sungguh-sungguh.

Pengakuan agama-agama lain merupakan pernyataan hak setiap agama untuk eksis di dalam suatu hubungan sosial yang toleran, saling menghargai, membantu, dan menghormati, dilandasi prinsip agree in disagreement, setuju dalam perbedaan; persaudaraan dalam perbedaan dan keragaman. Ukhuwah sesama pemeluk agama mendorong untuk ko-eksistensi dan kooperasi: bekerja sama dalam progam-program amaliyah yang lebih praksis, pada tingkat negara sampai pada tingkatan rakyat biasa.

Persaudaraan seiman-seagama disebutkan dalam Al-Quran,

Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih, dan bertakwalah kepada Allah supya kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat/49:10).

Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan historisitas perselisihan intern umat Mukmin dari masa ke masa. Mukmin bertanggung jawab menjaga dan mewujudkan persaudaraan seiman dan seagama tersebut. Teladan ukhuwah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw bersama kaum Muhajirin dan Anshar.

Orang-orang yang sebelum mereka bertempat tinggal di Madinah dan sudah beriman, dengan penuh kasih sayang menyambut orang yang datang hijrah ke tempat mereka, dan dalam hati mereka tak terdapat keinginan atas segala yang diberikan, dan mereka lebih mengutamakan Muhajirin daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kemiskinan, kesulitan. Siapa yang terpelihara dari kebakhilan dirinya, mereka itulah orang-orang yang berhasil (QS Al-Hasyr/59:9).

Pada suatu hari salah seorang dari kaum Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagi dualah tanah ini kepada kami dan kaum Muhajirin!” Nabi saw bersabda, “Tidak. Penuhi sajalah keperluan mereka dan bagilah kurmanya; tanah ini tetap kepunyaanmu.” Mereka berkata, “Kami rela atas keputusan ini.” Maka turunlah ayat tersebut yang menggambarkan kaum Anshar yang tak mementingkan diri sendiri.

Pada kesempatan lain seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, saya lapar.” Rasulullah saw meminta makanan dari istri-istrinya, akan tetapi tak ada makanan sama sekali. Beliau bersabda kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang bersedia memberi makan tamu pada malam ini?” Seorang Anshar menjawab, “Saya ya Rasulullah.” Ia pun pergi menemui istrinya dan berkata, “Suguhkan makanan pada tamu Rasulullah.” “Demi Allah, tak ada makanan kecuali sedikit untuk anak-anak.” Laki-laki itu berkata, “Tidurkan anak-anak, padamkan lampunya, dan hidangkan makanan yang ada. Biarkan kita menahan lapar pada malam ini.” Esok harinya Nabi saw bersabda, “Allah kagum dan gembira karena perbuatan kalian.” Lalu turunlah ayat itu.

Riwayat lain menyebutkan bahwa seorang sahabat diberi kepala kambing. Dalam hati ia berkata, “Mungkin orang lain lebih memerlukannya daripada aku.” Seketika itu juga ia kirimkan kepala kambing kepada kawannya, tetapi kawannya mengirimkan lagi kepada yang lain sehingga berpindah-pindah tangan sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada sahabat pertama. Maka turunlah ayat itu.

Rasulullah saw bersabda, bahwa Allah swt berfirman, “Cinta-Ku wajib untuk dua orang yang saling mencintai karena Aku; cinta-Ku wajib untuk dua orang yang saling bergaul karena Aku; cinta-Ku wajib bagi dua orang yang saling mengunjungi karena Aku.” (HQR Ahmad).

Orang-orang beriman niscaya saling mendoakan, sebagaimana kaum Muhajirin dan Anshar melakukan. “Tuhan, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang sudah beriman lebih dahulu dari kami… (QS Al-Hasyr/59:10).

Kerukunan merupakan suatu kebajikan sosial. Allah swt berfirman dalam Al-Quran,

Kebaikan itu bukan karena menghadapkan muka ke timur atau ke barat; tetapi kebaikan ialah karena beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, Kitab dan para nabi. Memberikan harta benda atas dasar cinta kepada-Nya, kepada para kerabat, anak yatim, fakir-miskin, orang dalam perjalanan, mereka yang meminta dan untuk menebus budak-budak; lalu mendirikan shalat dan membayar zakat; memenuhi janji bila membuat perjanjian. Mereka tabah dalam penderitaan, kesengsaraan dan dalam suasana kacau. Mereka itulah orang yang benar, dan mereka itulah yang bertakwa (QS Al-Baqarah/2:177).

Iman dan takwa niscaya mengejawantah dalam perbuatan, baik dalam dataran kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Keluarga adalah basis kebajikan, dan tiada imbalan untuk kebajikan kecuali surga. Rumah adalah surga jika menjadi pangkalan kebajikan, dan neraka apabila menjadi pangkalan kejahatan.

Keimanan kita harus benar dan ikhlas. Kita harus siap menerjemahkannya ke dalam amal terhadap sesama manusia. Kita harus menjadi warga yang baik dengan membantu segala kegiatan sosial, dan jiwa kita sendiri sebagai pribadi harus teguh dan tak tergoyahkan dalam menghadapi segala keadaan.

Iman bukan sekadar kata-kata. Kita harus menghayati kehadiran Allah swt dalam segala kebaikan yang datang dari hadirat-Nya. Kalau kita sudah dapat berbuat demikian, maka yang lain sudah tak berarti. Segala kehidupan masa kini yang singkat tak akan memperbudak, sebab kita melihat hari kemudian itu seperti hari ini.

Salah satu cara untuk meneguhkan kerukunan adalah menjalin silaturahim.

Hai umat manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan menciptakan darinya pasangannya; dan dari keduanya Ia memperkembangbiakkan sebanyak-banyaknya laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu selalu meminta dan jagalah hubungan keluarga. Sungguh, Allah selalu mengawasi kamu (QS An-Nisa`/4:1).

Silaturahim, menjalin dan memelihara hubungan keluarga, merupakan suatu tuntunan akhlakul karimah dalam Islam yang amat penting. Silaturahim merupakan sesuatu bentuk ketakwaan. Bangunan umat Islam tak akan berwujud tanpa silaturahim.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menghubungkan silaturahim.” (HR Bukhari).

Ibnu Umar sering kali berkata, “Siapa yang bertakwa kepada Tuhan dan memegang teguh tali silaturahim akan merasa hidup lapang, kekayaannya bertambah, dan keluarganya akan semakin mencintainya.”

* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sumber ilustrasi: islami.co

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply