Oleh : Barnadi Zakaria
Sastra Nusantara termodifikasi ke dalam sastra Indonesia atau sastra Nasional setelah kemerdekaan politik dicatut pada tahun 1945. Historisasi karya sastra pun terlembaga. Perayaan kedaulatan berbangsa riuh dikumandangkan pada ranah sastra.
Alaf waktu bergerak cepat memasuki ambang pewaktuan sejagat. Sastra Indonesia berderap menanggalkan pendulum periodisasi angkatan dalam babak sastra. Mulai angkatan pujangga lama, angkatan sastra melayu lama, angkatan balai pustaka, angkatan pujangga baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan 1966-1970-an, angkatan 1980-1990-an, sampai angkatan reformasi. Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Sastrawan Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Beberapa penulis yang layak dimasukkan sebagai ikon pada dekade 2000-an diantaranya Ayu Utami (Larung, 2001), Seno Gumira Ajidarma (Atas Nama Malam), Dewi Lestari (Supernova, dengan tiga seri, terbit masing-masing tahun 2001, 2002, 2004), Habiburrahman El Shirazy (menerbitkan tujuh buah buku merentang tahun 2004-2007, namun yang fenomenal dikenal dari karyanya berjudul Ayat-ayat Cinta, 2004), Andrea Hirata, muncul dengan tetralogi laskar pelangi-nya yang fenomenal. Pada tahun 2010 menerbitkan dwilogi padang bulan-nya. Ahmad Fuadi dengan Negeri Menara 5, terbit tahun 2009, dan Tosa (Lukisan Jiwa berbentuk antologi puisi, 2009 dan Melan Colis terbit tahun 2009.
Pada aras lain, dunia sastra digemparkan oleh munculnya penulis muda yang memaparkan tema-tema sejarah dalam karyanya. Lewat novel Negara Kelima dan Rahasia Meede, Rahasia di balik harta karun VOC, Es Ito muncul di tengah dominasi tema-tema novel yang kerap berkutat pada tema cinta dan petualangan. Kelahiran Es Ito sebagai penulis muda mendobrak pakem tematik penciptaan karya saat ini. Nama lain yang kiranya penting juga disebut adalah Demian Dematra. Penulis muda berbakat ini telah menulis beberapa novel yang memiliki ciri biografis yang sangat kuat. Adapun tokoh-tokoh yang ditulis biografinya seperti Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif (Novel Anak Kampoeng, 2009) dan K.H Abdurrahman Wahid (Gusdur). Biografi disuguhkan dalam bentuk novel menjadi ciri khas terhadap sosok Demian Dematra.
Setidaknya ada tiga genre tema-tema karya sastra Indonesia dalam penghayatan pembaca yang diusung oleh penulis angkatan 2000-an. Pertama. Cinta dan petualangan. Diwakili oleh Dewi Lestari dengan Supernova-nya dan Habiburahman El Shirazy melalui Ayat-ayat Cinta-nya. Kedua, Pendidikan. Juru bicaranya diwakili oleh Andrea Hirata melalui tetralogi Laskar Pelangi-nya. Dan ketiga, Sejarah dan Biografi. Diawaki oleh Es Ito dan Demian Dematra. Belum lagi kita menyebutkan beberapa karya sastra yang muncul belakangan ini dengan menyadur tema sejarah sebagai setting penciptaannya.
Lalu dimanakah posisi pemuda?, entah sebagai masyarakat pengarang atau masyarakat pembaca?
Ada baiknya kita merilis terlebih dahulu keresahan yang disampaikan Budi Darma dalam makalahnya pada Kongres Bahasa Indonesia IX:
“Kini dunia sedang dilanda oleh semangat zaman baru, yaitu hasrat untuk menjadikan bangsa-bangsa di dunia ketiga menjadi warga dunia. Individu-individu pun ingin menjadi warga dunia yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan individu-individu lain dalam masyarakat dunia. Semangat zaman inilah yang kemudian memicu individu-individu ingin masuk ke tataran global, dan juga memicu bahasa nasional berbagai bangsa untuk menjadi warga bahasa dunia, termasuk Indonesia.”
Fakta kemanusiaan pun memungkas. Dentum diskursus sedang terdedahkan. Dunia bopeng oleh tanda-tanda kegalauan, kepanikan, kebisingan, keterpesonaan, kegagapan, dan kegamangan melalui mesin virtualisasi. Gegar budaya konsumerisme tak dapat lagi dibendung. Di setiap sudut ruang, kita digiring rayuan simbol, entah itu datang menjadi sapaan pemilik modal yang mengeksploitasi hasrat, ucapan genit para politisi, kaum agamawan yang menebar tanda-tanda surga hingga parodi wacana yang hingar-bingar, mereduksi dunia lewat kekuatan abstraknya, menyeret persepsi, tata-laku, serta hasrat orang ke ambang ambiguitas abstrak. Sejumlah dunia baru pun ditata sedemikian rupa dalam pendulum zaman yang tengah berselancar, tulis Fahsri mengintroduksi Pierre Bourdiau.
Dunia baru menjebak kita ke dalam sesat pandang menilai eksistensi diri berdasarkan atas dan kepada kepemilikan berbagai-bagai barang komoditas. Kita diseret berpetualang ke dalam arus prokreasi budaya, sebuah jalan capaian kepuasan dilevel materi. Moda hidup yang lepas makna. Meluber dalam kesegeraan, kesementaraan. Kontrol dan jejaring sosial lalu berubah, tercabik, menjadi sobekan-sobekan tanpa identitas yang utuh. Eksitensia terus tergerus dan kadang berakhir lumpuh. Berebut mimpi yang jauh sambil tanpa henti kehilangan setiap ihwal yang paling dekat dengan diri sendiri; esensia. Dunia pun tampaknya justru di luar kendali kita. Sebuah dunia yang lepas kendali (runaway word).
*Penulis adalah pengurus harian di PD Muhammadiyah Kab.Takalar