Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiNasionalOpiniPolitik dan Hukum

Politik ; Dari Raja Hingga Dewata Interupsi

×

Politik ; Dari Raja Hingga Dewata Interupsi

Share this article

Oleh : Andi Hendra Dimansa*

Mengapa hikayat-hikayat di masa lalu acap kali memotret kehidupan istana ? hingga yang sampai kepada generasi milineal (kini) adalah kisah-kisah heroik para Raja, pangeran dan ksatria sedangkan si jelata hanya berdiri sebagai figura-figura .

Berbicara kehidupan politik di masa lalu dengan berbagai hiruk-pikuknya, sering kali yang terlihat dan tergambar lewat sosok sang Raja yang arif lagi budiman lengkap dengan watak bijaksana yang melekat atau dilekat-lekatkan. Penggambaran istana sebagai pusat kemegahan dengan berbagai kostum yang menguatkan karakternya seperti kostum keadilan, kebenaran dan keberanian yang memoles sifat Raja yang amat sempurna untuk takaran manusia biasa.

Kisah-kisah semacam itu yang amat sering didapati bahkan telah menjadi status quo dan legal milik sang penguasa semata yang diwariskan kepada generasi berikutnya, bukan hanya terwariskan lewat DNA (baca: darah biru) melainkan terwariskan lewat kesusastraan hikayat yang kelak menjadi rujukan pengetahuan. Lalu, si jelata hanya mewarisi garis penurut untuk yang mulia sang majikannya.

Di setiap kisah-kisah yang terpotret dari singgasana sang Raja yang tampak membingunkan dan bahkan berujung pada ambivalen (baca: mendua), yakni kisahnya yang bijaksana disatu sisi dan bengis dilain waktu. Kebijaksanaan sang Raja terkisahkan berbuah manis dengan kesejahtraan rakyatnya, namun kebengisannya menghabisi lawan-lawannya di medan pertempuran bukan hanya membuatnya dikenang sebagai hero dilain sisi.

Tetapi, bagi daerah taklukannya sering kali kehebatannya tak lain adalah cerita tetesan darah. Yah, begitulah roda kehidupan bagi sang pemenang terperedikatkan sebagai hero, walau sikap bengislah yang berada dibaliknya, namun yang terlukis dan yang abadi tak lain kebijaksanaannya.

Lalu, pertanyaannya apa yang lebih penting dari aktifitas politik diantara merebut singgasana dengan merebut pengetahuan ? untuk menjawab pertanyaan diatas terlebih dahulu harus dipahami bahwa manusia selain menyandang predikat zoon politicon juga berdiri sederet dengan homo simbolicum. Yang tentu manusia memiliki hasrat kuasa yang membuatnya berdiri dipersimpangan jalan antara merebut kuasa atau mempertahankan kuasa, sehingga bagi manusia yang telah melampiaskan hasrat kuasanya maka acap kali menghadirkan dirinya lewat simbol, seperti penguasa dengan simbol manusia bijaksana dan ksatria lewat simbol manusia pemberani yang kesemuanya itu terabadikan lewat simbol pengetahuan dalam bentuk hikayat dan syair-syair yang menggambarkan heroik dari sang pemenang sejarah (baca: Raja dan kroni-kroninya). Sehingga tidaklah mengherankan apabila hari ini, begitu banyak cerita-cerita tentang sang penguasa yang peduli dan membangun kehidupan yang lebih layak bagi rakyatnya.

Tidaklah mengherankan kalau aktifitas politik hari ini, acap kali menempelkan simbol heroik dalam memaknai dirinya pada laku-laku pengabdian yang telah dilaluinya. Walau angkat senjata telah diperhalus dengan sistem demokrasi, tetapi perilaku serupa telah disubtitusi dalam bentuknya yang sangat halus dengan mengganti angkat senjata lewat angkat baliho.

Dengan angkat senjata perilaku politik masa lalu zaman kerajaan tentunya memunculkan rasa terdesak berupa ancaman intimidasi dari pihak superior ke pihak inperior, yang membuat para penguasa mampu menundukkan dan membungkam lawan-lawannya. Sebaliknya dengan angkat baliho tentunya rakyat dipengaruhi secara halus dan nada profokatif, yang mampu menembus pengaruh yang lebih dalam hingga membuat rakyat rela melakukan aksi-aksi anarkis apabila jagoannya di PILKADA kalah. Ada rasa fanatik yang tumbuh amat dalam dari para pendukung politisi yang berlaga disetiap ajang demokrasi.

Mungkinkah demokrasi hari ini, telah lari menjauh dari hakikat sesungguhnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi dari rakyat “pendukung”, oleh rakyat “pendukung” dan untuk rakyat “pendukung”. Sehingga perjuangan politik lewat kontekstasi politik telah berubah menjadi perjuangan kelompok dan faksi-faksi hingga politik untuk semua bukanlah titik, melainkan politik untuk semua hanyalah jualan semata, sebab inti politik untuk semua taklain “semua pendukung”. Hingga sangatlah wajar apabila cita-cita kehidupan demokrasi yang mulia tercederai oleh perilaku kalangan-kalangan elit politik yang sibuk mengurus kelompok atas nama kepentingan semua rakyat.

Cita-cita tertinggi dari laku demokrasi yakni mendengarkan harapan rakyat, bukan harapan elit yang masih hendak bertahan dalam dinamika percaturan politik. Itulah mengapa dari dulu hingga kini yang sampai adalah cerita-cerita tentang Raja, namun amat jarang cerita-cerita rakyat yang terabadikan sebab mereka sibuk menjadi pelayan penguasa. Sehingga tidaklah mengherankan apabila ada yang menuturkan bahwa sejarah dan hikayat-hikayat tak lain adalah cerita-cerita orang gila/narsis. Sebab disanalah para pembaca menemuka sejarah/hikayat orang-orang yang amat menggilai singgahsana dan untuk merebutnya tak jarang memenggal nilai-nilai kemanusiaan.

Begitu banyak waktu yang diperlukan hanya sekedar mendengarkan harapan-harapan para politisi yang tersalurkan lewat surat kabar, majalah, pamflet, poster dan hingga berlabu di layar TV serta mendengarkan suara-suara harapan-harapan lewat stasiun radio serta berselancar di dunia maya lewat Facebook, Twetter, Website, Blog, Halaman, Page dan WA, hingga tiada hari terlewatkan hanya untuk sekedar mendengarkan harapan-harapan para politisi lalu kapankah ada waktu mendengarkan harapan-harapan rakyat ?.

Dengar…Dengar…Dengar !!!

Itu pulalah yang acap kali dunia para dewata gunda melihat penderitaan rakyat, hingga diutuslah team instruksi ke bumi untuk memperingatkan para penguasa baik lewat Batara Indra, namun yang terdengar begitu merdu ditelinga para penguasa sayup-sayup untaian kata Batara Kala, hingga dalam hitungan menit para serdadu saling menerjang. Lalu, sebagai manusia kekinian berujar “benarkah kehidupan politik adalah nyata, kalau para politisi lebih banyak mendengarkan kata-kata dari bisikan gaib dibandingkan mendengarkan kata-kata rakyat.”

*) Penulis adalah pengurus Profetik Institute dan Presiden Mahasiswa DEMA FPUinam.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply