Oleh: Ermansyah R. Hindi (Anggota Kelompok Pasca-Kiri Baru/ Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto)
Setiap kecintaaan akan kehidupan, keindahan akan kematian dan kekaguman akan kelenyapan makna dalam kehidupan harus dibuat lebih menggoda atau menggairahkan. Ia memiliki cara untuk memasuki dan keluar dari pertentangan antara aspek yang satu dengan lainnya, menyatukan cinta sebagai akhir antisesis benci.
Kita melihat, bukan hanya suatu gejala yang terjadi pada agama tertentu saja, namun umumnya menggiring reaksi keras atas pandangan teologis dari setiap faham keagamaan secara dogmatis, seperti paha, pinggang, kulit mulus dan kehormatan lainnya sebagai bagian dari tubuh yang sensitif dan menggoda. Ia melebihi ritual ibadah dan otomatis; ia menumbuhkan satu pandangan mistis kita tentang tubuh, daging dan kehormatan lainnya yang terbeli demi pemenuhan hasrat untuk kuasa politik dengan berlindung di balik teks-teks agama.
Kekerasan simbolik secara umum dari agama muncul sebagai akibat ketidakmampuan merangsang untuk menggairahkan dirinya untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, kelaparan dan kemerosotan nilai dan eksistensi kemanusiaan lainnya. Tuhan tercekik dan akhirnya mati dalam jeratan kasih sayangnya. Karena itulah, sebagian pihak menilai malapetaka kemanusiaan telah menempatkan Tuhan sebagai terdakwa dan tatkala Tuhan menjadi Manusia, maka Tuhan mati setelah jatuh vonis bersalah di hadapan pengadilan kehidupan dan sejarah. Ia pun dilibatkan untuk ikut bertanggungjawab atas penderitaan, bahkan diperalat untuk tujuan-tujuan dianggapnya mulia.
Tuhan membunuh anaknya dengan tujuan agar dia bebas dari dirinya sendiri dan para penyembah Tuhan dari agama lain. Ini adalah makna pertama dari kematian Tuhan jauh sebelum lenyapnya realitas oleh hiperealitas. Tuhan berutang budi pada hiperealitas, karena ia telah mengingatkan kematian-Ny kepada manusia. Hiperealitas tidak mematikan Tuhan, melainkan seorang dan kelompok oranglah menjadikan hiperealitas sebagai orang tua-Tuhan bagi anaknya sekaligus peziarah bagi kematian-Nya. Anak tidak lagi membunuh Bapak Tuhan akibat kecintaan agung terhadap Ibu sebagai suatu tatanan simbolik yang tercabik-cabik oleh kejahatan terselubung dibalik kebutaan cinta.
Namun demikian, kematian Tuhan di tangan manusia bukanlah kejahatan. Dari titik tolak inilah, kesadaran teologis tidak lebih kedalaman yang kosong. Kekaguman akan kematian Tuhan berlangsung tidak dalam sekejap, karena manusia layaknya Tuhan yang dipuja-puja sepanjang hidup dalam padang pasir nyata, bernama hiperealitas atau virtualitas. Dalam ilusi transendental yang ditelan virtualitas, kematian Tuhan membuat semakin nyata.
Pembebasan hasrat seksual atau fantasi birahi untuk mencintai sejalan dengan pembebasan teologi dari takhyul dan dari kebenaran sains. Sementara itu, kisah akhir kecemburuan dari anak kepada Bapak Tuhan tidak bertitik tolak dari balas dendam simbolik dan nyata, tetapi penderitaan yang digandakan dan pengorbanan sosial yang diritualkan. Pada satu sisi, perkembangbiakan porno-teologi negatif berada dalam nilai simbolik: Anak-Pornografer bermain dalam permainan tanda hasrat-birahi melalui teks- kelaminnya sendiri setelah menentang “Kelaminsentris Ayah”.
Sisi lain, dalam diskursus filosofis-ateis, kematian Tuhan tanpa kuburan dan tanpa perkabungan akan ditunaikan melalui drama penderitaan manusia. Dari penderitaan nyata ke kenikmatan simbolik (Pornografer, Orang Tua-Anak, Filosof, Profesor, Pelajar). Setelah tatanan simbolik dan imajiner yang termaterialisasi terjatuh kedalam kehampaan, semuanya juga merupakan gestur, fantasi dan makna yang hampa. Kehampaan bukanlah “ketidakhadiran nilai”. Zaman kebebasan, anak-anak muda dengan kespontanannya memperlihatkan bokongnya ke orang tua atau gurunya menjadi nilai simbolik, tetapi memiliki perangkap dari “melanggar batas” atas nilai etis sekaligus menukar secara simbolik dari orang tua untuk dipatuhi segala perintahnya layaknya Tuhan.
Akhirnya, kematian Tuhan memiliki tujuan yang tidak diketahui oleh Tuhan itu sendiri. Dari sudut pandang pasca-Cogito, rentetan drama penderitaan seiring dengan drama kematian-pembunuhan Tuhan, dari wujud agung ke wujud libido, dari wujud aktual ke wujud virtual. Di bawah rezim diskursus, kematian Tuhan tidak melawan teologi-tele-media-transeksual, tetapi mencangkoki dan menopenginya. Kini, kematian Tuhan telah menempatkan anak sebagai anti-dosa, anti-kausalitas. Akibat kebebasannya sendiri, gagasan tentang penjara dan ilusi bagi manusia dinetralisasi dari segala kejahatan dan dosa menuju ritualisasi penobatan dirinya sebagai Tuhan yang baru.
Kematian Tuhan dihadapan manusia tidak mengalami ketidakhadiran diferensi antara esensi dan kenampakan, kedalaman hasrat dan kedalaman kesadaran (teologi). Zaman ini adalah zaman instan melalui produksi hasrat dan produksi khayalan yang memfatalkan kesadaran akan Tuhan. Kematian Tuhan begitu sangat mengagumkan ditandai dengan “pemudi” rela menerima penyaluran hasrat birahi dari “pemuda”. Kita melihat, bahwa jika seseorang menentang peraturan Tuhan melalui “kelamin” sebagai bagian dari tarian mistis nan telanjang.
Dalam diskursus anti-teologi (ateis baru), kesadaran diuapi dengan ketidaksadaran akan kematian Tuhan melalui pornografi yang tersibernetisasi; ia terbebas dari prinsip-prinsip agama itu sendiri. Tubuh menggoda, hasrat-birahi dan teologi kembali terjatuh kedalam “ketidakhadiran akan diferensi” dengan mengatakan, bahwa: “Jika ada Tuhan, jika Dia Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Tuhan masih mengizinkan tindakan teror, pembunuhan massal, pertumpahan darah, dan tindakan kejahatan lainnya di muka bumi?” Dalam kematian Tuhan, kita menemukan kegilaan dalam menjadikan Tuhannya bersetubuh tanpa porno(-grafer) teologi negatif. Porno(-grafi) teologi negatif mendahului kematian, yaitu kematian Tuhan jalan keluarnya antara erotis dan teroris. (*)
Baca Juga : Porno-Teologi Negatif, atau Ketika Tuhan Telah Mati (Bagian 1)