Oleh: Agusliadi Massere*
Habits (kebiasaan) menurut Stephen R. Covey adalah titik temu antara pengetahuan, keterampilan dan keinginan. Namun apa yang dipahami Covey ini jangan dipahami secara tekstual. “Pengetahuan” di sini maksudnya apa yang harus dilakukan; “Keterampilan” bagaimana melakukannya; dan “keinginan” berarti mau melakukan.
Namun sebagaimana tulisan saya pada hari pertama ramadan tentang “Puasa Ramadan dan Filosofi Habits” tentunya tidak cukup sekedar titik temu dalam pandangan Covey. Setelah titk temu itu harus ada repetition (pengulangan). Dalam repetition mengandung sebuah mekanisme yang sesuai dengan sunnatullah atau law of attraction. Repetition makes perfect (pengulangan melahirkan kesempurnaan).
Dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey ada hal menarik dan luar biasa. Dan bahkan telah menginspirasi jutaan orang dalam hidupnya dan akhirnya mencapai perubahan dalam bentuk prestasi dan capaian-capaian spektakuler. Sehingga terdapat salah satu Endorsement dari Charles Garfield (Penulis Peak Perfomers) terhadap buku Covey, “Kita sekarang mempunyai cetak biru untuk membuka benak orang Amerika”.
Maksud Garfield dalam Covey tersebut, bahwa karya Covey suatu cetak biru yang sangat bermanfaat. Mengapa muncul kesimpulan tersebut karena baginya buku karya Covey tersebut telah mensintesiskan kebiasaan-kebiasaan dari orang-orang yang paling berprestasi dan menyajikannya dalam program yang bagus sekali dan mudah digunakan.
Lalu apa yang istimewa dari buku Covey, The 7 Habits of Highly Effective People. Selain buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam 72 bahasa. Buku ini mengajarkan tentang paradigma dan prinsip. Termasuk bagaimana kemenangan pribadi, kemenangan publik dan pembaruan. Awalnya Covey menyadari bahwa keberhasilan sangat dipengaruhi oleh apa yang disebutnya Etika Karakter (Character Ethic). Seperti integritas, kesetiaan, kerendahan hati dan keberanian.
Namun, setelah dipahami lebih dalam Covey menyadari bahwa idealnya yang lebih diutamakan daripada etika karakter adalah etika kepribadian. Jadi ada pergeseran dari Character Ethic ke Personality Ethic. Mengapa terjadi perubahan mendasar seperti itu karena ternyata Character Ethic hanya berorientasi pada lip service (kalau konteks politisi), strategi kekuasaan, keterampilan berkomunikasi dan sikap positif. Ada hal yang lebih dalam yang harus diutamakan yaitu Personality Ethic.
Antara character ethic dan personality ethic jika dikontekstualisasikan dalam dimensi puasa, sesungguhnya jauh sebelum Covey lahir—apalagi perumusan buku karyanya yang luar biasa ini—Al-Qur’an telah menegaskan basis teologis puasa yaitu QS. Al-Baqarah [2] : 183. Yang pada substansinya, saya (meskipun bukan mufassir) menangkap dua hal penting yaitu iman dan takwa.
Dari iman ke takwa, atau dari keimanan ke ketakwaan. Jadi pada dasarnya puasa sudah menyadari sejak awal apa yang di belakang hari menyentak kesadaran Covey. dan melakukan pergeseran prinsip yaitu dari personality ethic ke character ethic. Personality Ethic saya menilai sebagai determinan atau derivasi daripada iman, sedangkan character ethic adalah determinan dan derivasi dari takwa.
Iman dan/atau keimanan merupakan ajaran mendasar dan utama yang sesungguhnya diperuntutkan sebagai deklarasi pembebasan manusia dari berbagai intervensi eksternal. Dan untuk kepentingan—dalam bahasa saya—menghilangkan intervensi eksternal (apa pun modelnya) yang dipraktekkan oleh Covey terhadap anaknya, sampai anaknya mengalami perubahan yang luar biasa dan berhasil.
Jika merujuk pada bahasa Covey, saya memandang bahwa dengan iman maka kita akan memiliki kebebasan yang kokoh untuk merespon stimulus eksternal yang cenderung membelenggu. Puasa adalah bagian daripada charger ulang keimanan atau jika memperhatikan konsep Ary Ginandjar Agustian dalam sebuah diagramnya, Puasa ibarat minyak pelumas, atau kertas asah iman, agar iman semakin kokoh melindungi hati menjaga god spot (suara kebenaran)-nya.
Bukan hanya itu, sehingga saya berani menyimpulkan bahwa puasa melampaui daripada “The 7 Habits Stephen R. Covey”. Termasuk konsepsi Covey untuk mencapai kemenangan pribadi. Islam dan garis relevansinya dengan puasa menegaskan untuk melawan hawa nafsu. Bahkan dalam sejarah klasik Islam ditemukan sebuah spirit “melawan hawa nafsu lebih besar daripada perang badar”
Dan puasa pada esensinya adalah perang melawan hawa nafsu, meskipun terkesan menggunakan diksi yang sedikit “kasar” namun sesungguhnya itu relevan bahkan melampaui dari rumusan model proaktif Covey untuk mencapai kemenangan pribadi. Covey menegaskan sebagai bentuk proaktif—bukan reaktif—dalam mencapai kemanagan pribadi dengan melandaskan kebebasan memilih pada “kesadaran diri”, “imajinasi”, “suara hati” dan “kehendak bebas”
Orang yang proaktif, akan digerakkan oleh nilai-nilai yang sudah dipikirkan secara cermat, diseleksi dan dihayati. Bukan oleh keadaan, oleh kondisi, oleh lingkungan mereka. Ini pandangan Covey.
Puasa sesungguhnya melatih diri untuk bersikap proaktif, bahwa kita bertindak bukan berdasarkan apa yang sedang ada di depan kita meskipun itu menggiurkan atau menggoda, Kita mempetimbangkan berdasarkan nilai. Dan hal yang melampaui dari Covey—bukan sekadar nilai semata, kita berdasarkan prinsip keimanan yang sudah built-in dalam diri. Jadi tidak berdasarkan hasil seleksi sebagaimana pandangan Covey.
Kemudian untuk mencapai kemenangan publik dalam mekanisme interdependen (kesalingtergantungan), Covey menawarkan apa yang disebut dengan berpikir win-win (menang-menang). Namun jika memperhatikan perspektif Covey masih mendasarkan prinsip berpikir win-win-nya pada sesuatu yang masih berdimensi lahiriah (eksoterik).
Berbeda dengan Islam dan terimplentasi dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku melalui puasa, konsep pencapaian kemenangan publik, prinsip win-win-nya didasari atas rasa cinta. Jadi karena rasa cinta maka tidak mengenal term “karena” tetapi term “meskipun”. Cinta atau konsep welas asih ini juga melampaui prinsip evolusi Charles Darwin yang sarat dan mensyaratkan kompetisi.
Apa relasi puasa, cinta dan konsep kemenangan publik Covey? bahwa melalui puasa, kita akan mendapatkan satu makna esensial bagaimana merasakan penderitaan orang lain. Melalui puasa khususnya pada bulan Ramadan dianjurkan untuk senantiasa bersedekah bahkan wajib diikuti dengan apa yang disebut dengan zakat fitrah. Yang sesungguhnya itu menegaskan bahwa bukan hanya mengutamakan kepentingan pribadi, tetapi penting untuk memperhatikan kepentingan sosial atau publik.
Bahkan dalam surat Al-Ma’un, telah ditegaskan ukuran kesalehan pribadi terkonfirmasi pada kepedulian sosialnya. Jadi kemenangan publik dalam konsep Islam dan pembiasaan melalui bulan Ramadan, bukanlah menang/kalah tetapi menang/menang dengan basis nilai yang melampaui dari rumusan Covey.
Dan yang terakhir Covey menegaskan apa yang disebutnya pembaruan, dengan satu konsep kebiasaannya adalah “Asahlah gergaji”. Puasa sesungguhnya menyerupai dan melampaui dari sekeladar “Asahlah gergaji”.
Jadi apa yang saya jelaskan di atas, tidak secara rinci menjelaskan 7 kebiasaan, hanya menyampaikan kerangka dasarnya: tiga kebiasaan untuk kemenangan pribadi, 3 kebiasaan untuk kemangan publik dan satu kebiasaan untuk pembaruan dan konsep Covey.
Sadar akan keterbatasan ruang ini, sehingga ke dalaman konsepsi The 7 Habits Stephen R. Covey serta nilai dan makna puasa, saya tidak bisa menguraikannya sesuai harapan pembaca dalam tulisan ini. Meskipun demikian dalam ruang atau media lain, mungkin ini bisa didiskusikan lebih lanjut.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023