Oleh: Agusliadi Massere
Saya menemukan masih ada di antara umat Islam (terutama yang disebut Islam KTP) yang tidak puasa, atau bahkan menilai puasa itu adalah beban. Ada pula yang belum merasakan dampak nyata dari puasa. Selain dari itu, ada yang belum menemukan integrasi antara kandungan Al-Qur’an dengan yang ada dalam diri maupun di alam semesta. Ada dikotomisasi dengan garis diametral yang sangat berjauhan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan (ilmu alam dan sosial).
Padahal jika ini semua, mampu ditemukan jawaban dan integrasinya—meskipun bukan karena alasan teologis dan dorongan transendensi (ilahiah), tetapi lebih karena pertimbangan pragmatis—maka pasti mereka akan menilai (minimal) bahwa puasa baik dan sangat bermanfaat. Termasuk mereka akan mengambil manfaat dari kandungan Al-Qur’an.
Sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dari titah dan ciptaan Allah. Hanya saja kita selaku manusia belum menemukan dan menyadari manfaatnya. Oleh karena itu—meskipun tidak untuk semuanya—saya akan memberikan bukti titik temu kebenaran ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat qauliyah adalah ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan ayat kauniyah adalah ayat yang terdapat di alam semesta.
Dari dua klasifikasi ayat di atas, apa yang terkandung dalam diri manusia, saya kategorisasikan sebagai bagian daripada ayat kauniyah. Sebenarnya ada juga yang membuat tiga klasifikasi, satu tambahannya yaitu ayat insaniyah (terdapat dalam diri). Untuk konteks tulisan ini, cukup dua klasifikasi besar tersebut.
Apakah puasa itu beban, sia-sia tidak memberikan dampak langsung dan nyata? Termasuk “Barang siapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan obat pengekang baginya” (HR. Bukhari No. 5065 dan Muslim no. 1400), betulkah hadits ini dan seperti apa dampaknya bagi si “jomblo”?
Setelah saya mampu menemukan jawaban atas pertanyaan dan keraguan di atas, maka dalam keyakinan semakin kokoh bahwa—salah satunya—ada titik temu kebenaran ayat qauliyah dan kauniyah. Dengan menemukan titik temu, maka manfaat puasa semakin dirasakan dan perintah Al-Qur’an semakin diyakini. Begitupun akan semakin memperkokoh bahwa adanya satu paket penciptaan dan integrasi antara apa yang ada dalam Al-Qur’an dengan di alam semesta.
Secara sederhana, titik temu kebenaran kedua ayat tersebut terdapat dalam dimensi “niat”. Telah ditegaskan dalam ajaran agama Islam, segala sesuatu tergantung daripada niat. Dalam pandangan syar’i menurut Dr. Asep niat itu menentukan nilai. Dalam dimensi lain niat itu adalah energi.
Sebagai contoh dalam ibadah puasa, niat bukan hanya menyentuh dimensi teologis dan aspek qauliyah yang akan menentukan perbuatan kita mendapatkan pahala. Tetapi ternyata niat mampu mempengaruhi reaksi kimiawi dalam tubuh. Niat mampu meng-off-kan sekresi otak—istilah Dr. Asep—untuk tidak makan, minum dan termasuk berhubungan suami istri.
Ketika sedang tidak (berniat) puasa, pola makan kita minimal 3 kali sehari-semalam. Sarapan pagi dan pada siang hari otomatis sangat merasakan lapar, terutama bagi pengidap penyakit maag. Dan sangat jauh berbeda ketika sedang berpuasa, lapar tidak terasa karena menurut Dr. Asep tidak ada rangsangan untuk makan yang masuk di otak, maka hati tidak stress. Karena tidak stress, asam lambung pun normal sehingga tidak mengakibatkan sakit maag. Bahkan bagi saya pribadi jika sedang berpuasa merasakan tambahan energi kerja yang lebih kuat.
Tadi pagi, istri saya berkata dengan dialek khasnya “bisanya itu kak, tidak dirasa lapar, jika sedang berpuasa”. Dalam hati saya berkata “Insya Allah, sebentar saya berikan jawabannya dalam bentuk tulisan”.
Fakta lain dari kebenaran ayat, aktivitas tidak makan yang diawali dengan niat berpuasa itu menimbulkan reaksi kimiawi yang berbeda dalam tubuh. Jika sedang tidak berpuasa, maka lapar mengakibatkan tubuh terasa dingin. Tetapi lapar dalam keadaan berpuasa, justru membuat tubuh menjadi panas. Lapar biasa, menyebabkan susah tidur. Sedangkan lapar karena puasa mengakibatkan enak tidur.
Sembilan jam setelah sahur, kira-kira pukul 13.00, biasanya perut merasa lapar dan badan lemas karena kadar gula darah menurun. Namun bagi orang yang berpuasa tidak perlu khawatir suhu tubuh yang panas sebagai reaksi kimiawi yang ditimbulkan oleh niat puasa akan memecah cadangan gula yang ada pada lever dan usus. Dan gula itu lantas diserap lagi oleh tubuh sehingga tubuh pun kembali segar bugar.
Pada saat waktu berbuka puasa, sekresi otak yang awalnya di-off-kan kembali di-on-kan sehingga tubuh pun mendapatkan ransangan untuk makan dan minum. Ketika rangsangan makan minum menguat, jangan ditahan-tahan karena bisa stress, asam lambung bisa melimpah sehingga bisa sakit maag.
Dari on-nya kembali sekresi otak ini untuk memberikan rangsangan makan, maka di sinilah ditemukan lagi satu bentuk fakta kebenaran sebagaimana Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin (Dr. Asep, 2014), mengatakan jika ingin mendapat cinta dan ridha dari Allah SWT, maka kita harus menyegerakan berbuka puasa sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Begitu pun untuk berbuka dengan kurma (sebagaimana dicontohkan Rasulullah) atau untuk konteks Indonesia bisa dengan makanan-minuman yang manis itu sangat sesuai dengan dimensi ayat kauniyah yang ada dalam tubuh orang yang berpuasa.
Dalam konteks di luar puasa pun, saya telah menemukan banyak fakta atau fenomena kehidupan yang menjadi titik temu antara kebenaran ayat qauliyah dan ayat kauniyah.
***
Agusliadi Massere adalah Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang, dan Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.