Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Quo Vadis Kepemimpinan IMM: Membangun Gerakan Inklusif

×

Quo Vadis Kepemimpinan IMM: Membangun Gerakan Inklusif

Share this article

Oleh: Nabil Rayhan (Aktivis IMM)

KHITTAH.CO — Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang berkiprah di ranah perguruan tinggi. Sebagai wadah intelektual kader, IMM tidak hanya berfungsi sebagai ruang pembinaan, tetapi juga sebagai laboratorium kepemimpinan. Pertanyaan quo vadis, ke mana arah kepemimpinan IMM ke depan, patut digaungkan sebagai refleksi kolektif.

Momentum Musyawarah Cabang ke-34 IMM Kota Makassar menjadi ruang penting untuk menilai kembali arah gerakan. Forum ini bukan sekadar ajang seremonial, melainkan wadah evaluasi kepemimpinan satu periode dan penyatuan gagasan bagi perjalanan IMM di masa mendatang.

Kepemimpinan Inklusif sebagai Jawaban

Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, gagasan kepemimpinan inklusif menjadi refleksi relevan bagi IMM. Dunia hari ini menuntut kepemimpinan yang terbuka, kolaboratif, dan mampu merangkul keberagaman. IMM sebagai gerakan kaderisasi intelektual dan kepemimpinan mahasiswa Islam dituntut untuk bertransformasi, tanpa kehilangan jati diri.

Kepemimpinan inklusif bukan berarti melebur identitas, melainkan memperkuatnya sembari membuka ruang bagi perbedaan pandangan, latar belakang, dan potensi kader. Keragaman disiplin ilmu, gaya berpikir, serta gagasan yang lahir dari kader IMM semestinya dipandang sebagai sumber daya manusia yang berharga, bukan ancaman. Sebab kepemimpinan yang eksklusif hanya akan melahirkan stagnasi, sementara inklusivitas menumbuhkan kreativitas, inovasi, dan solidaritas gerakan.

Tiga Dimensi Kepemimpinan Inklusif

Kepemimpinan inklusif dalam tubuh IMM dapat diwujudkan melalui tiga dimensi utama:

Pertama, Inklusif dalam Gagasan. Memberikan ruang dialog kritis, menghargai perbedaan pendapat, serta menjadikan intelektualitas sebagai poros penggerak.

Kedua, Inklusif dalam Gerakan. Tidak terjebak pada rutinitas seremonial, tetapi hadir dalam isu-isu sosial, kebangsaan, dan kemanusiaan dengan menjalin kolaborasi lintas sektor.

Terakhir, Inklusif dalam Kaderisasi. Membuka akses pembinaan yang adil dan merata sehingga setiap kader memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan memimpin.

Jalan Kedua yang Harus Dipilih

Pertanyaan quo vadis seharusnya menggugah kita: apakah IMM akan bertahan dengan pola lama yang elitis dan tertutup, atau berani melangkah ke arah kepemimpinan inklusif, transformatif, dan membumi?

IMM harus berani memilih jalan kedua. Kepemimpinan inklusif bukan sekadar strategi organisasi, melainkan keharusan moral untuk menjaga semangat Islam berkemajuan yang diwariskan Muhammadiyah.

Dengan kepemimpinan inklusif, IMM tidak hanya mencetak pemimpin, tetapi juga melahirkan pelayan umat dan bangsa.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply