Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO,- Idealnya, kita tidak membatasi kesadaran bahwa aktivitas “berbagi” pada bulan Ramadan hanya sebatas yang bersifat material, yang secara pragmatik langsung memberikan kegunaan bagi fisik-biologis. Dalam diri terdapat dimensi lain, yang pada bulan Ramadan seharusnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar dan serius ketimbang “fisik-biologis”—saya menyebutnya saja dimensi psikologis, intelektual, emosional, dan spiritualitas.
Ketika sebelas bulan di luar Ramadan, kita memiliki kecenderungan dan perhatian besar terhadap kebutuhan fisik-biologis, bulan Ramadan seharusnya menjadi ruang jeda untuk mengendalikan diri terhadap kebutuhan tersebut, yang bahkan tidak sedikit orang serakah. Dimensi psikis, mental, dan ruhaniah yang juga ada dalam diri, jangan dibiarkan krisis dan menjerit atas sikap pengabaian kita selama ini.
Berangkat dari kesadaran tersebut, maka Ramadan pun seharusnya menjadi “Bulan berbagi setetes inspirasi”. Makna sederhana dari “inspirasi” dalam tulisan ini, adalah pengetahuan atau ilmu yang bisa menjadi pemantik lahirnya pengetahuan/ilmu baru, pemahaman, dan/atau kesadaran untuk melakukan sesuatu yang positif, produktif, konstruktif, dan kontributif. Pada ruang lain, bisa saja, sesuatu yang dimaknai sebagai hal inspiratif, juga berupa perilaku.
Setetes inspirasi bisa mengalir melalui dua instrumen: lisan dan tulisan. Konsisten dengan pernyataan di atas, pada ruang dan instrumen lain, inspirasi bisa pula mengalir melalui perilaku. Ceramah Ramadan yang dilakukan oleh para mubalig di mimbar-mimbar masjid, bisa pula dimaknai dalam konteks “berbagi” setetes inspirasi—dalam pandangan saya—selama orientasi “besaran-bayaran” tidak mendominasi diri dan kesediaannya untuk hadir/datang.
Ketika saya “merasa” belum sanggup menjadi mubalig—dengan sejumlah alasan—untuk tampil sebagai inspirator di mimbar-mimbar masjid, maka saya membulatkan tekad—dibarengi dengan semangat belajar—“berbagi” setetes inspirasi melalui tulisan. Dua tahun yang lalu secara berturut-turut, pada bulan Ramadan, saya menulis setiap hari tanpa alpa, kemudian diterbitkan di media online milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Total tulisan yang terbit pada saat itu, sebanyak enam puluh esai.
Bulan Ramadan tahun ini, saya pun kembali meniatkan dan mengupayakan agar bisa kembali mengisi Ramadan ini, dengan menulis setiap hari. Harapannya, minimal bisa berbagi setetes inspirasi yang mampu menjadi pemantik pengetahuan baru, pemahaman, dan/atau kesadaran untuk melakukan sesuatu yang positif, produktif, konstruktif, dan kontributif.
Ada sejumlah pandangan, nilai, dan spirit yang menyemangati dan menjadi modal sehingga, saya ingin terus bertahan dalam aktivitas menulis sebagai ruang dan instrumen mengalirkan “setetes inspirasi”. Apatah lagi, ini sesuai dengan motto hidup saya, “terus berdo’a dan belajar untuk memantaskan diri agar kelak bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, meskipun hanya setetes inspirasi”.
Saya pernah mendapatkan petuah yang merupakan bagian dari ajaran agama Islam. Petuah itu kurang lebih seperti ini, “Lakukanlah kebaikan meskipun kecil atau sederhana, yang penting dibarengi dengan komitmen untuk melakukannya secara terus-menerus, maka itu pun akan dinilai baik di hadapan Allah”. Kebenaran petuah ini, bisa pula beroperasi dalam sunnatullah yang bernama “kebiasaan” (habits).
Saya yang merasa belum mampu berbuat banyak dan besar untuk “berbagi” kebaikan terutama dalam bentuk material, maka saya mengambil dan memilih jalan kebaikan lain/alternatif, yaitu berbagi ilmu dan setetes inspirasi. Semoga Allah pun meridoi dan mencatatNya sebagai satu bentuk kebaikan. Berbagi ilmu, selain di mimbar masjid dan selain melalui tulisan, melalui ratusan forum pun telah menjadi jejak sejarah dan semoga pula menjadi jejak kebaikan yang diridoi Allah.
Selain itu, dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah Muhammad Saw., pernah bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari). Meskipun, tulisan-tulisan saya tidak banyak yang mengupas tentang sabda Rasulullah, namun minimal mengambil spiritnya, “Sampaikan kebenaran atau kebaikan meskipun hanyas setetes inspirasi. Alirkan inspirasi meskipun hanya melalui satu twitan narasi”.
Selain dari sabda Rasulullah tersebut di atas, saya pun banyak disemangati oleh Yudi Latif dari pandangannya yang saya temukan dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Ada sejumlah pemantik kesadaran di dalamnya.
Yudi Latif menguraikan, “Muhammad, Isa Al-Masih, dan Siddhartha Gautama telah tiada ratusan [bahkan ribuan] tahun lamanya, namun perangai (akhlak) mereka terus diteladani hingga kini, tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian? Karena suri teladan mereka terus dikisahkan”. Ini mengandung hal yang dimaknai bisa menjadi insprasi dan tentunya instrumennya—salah satunya—adalah tulisan.
Tidak cukup ruang untuk mengutip semua pandangan Yudi yang memiliki relevansi dengan spirit dan harapan substansial dari tulisan ini, maka saya mengutip satu lagi saja. “Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia. Kisah Rosie the Riveter [sebagah salah satu contoh], yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah-biru, menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation Movement”. Bagi saya, ini pun menegaskan urgensi tulisan sebagai instrumen mengalirkan hal inspiratif.
Selain beberapa pandangan dan nilai yang telah dijelaskan di atas, saya pun disemangati atas keprihatinan terhadap kondisi kehidupan di mana hoax, fake news, dan hate speech telah mendominasi ruang media sosial, bahkan nalar atau opini publik banyak dipengaruhinya. Post truth, matinya kepakaran, hilangnya titik referensi, dominasi percakapan terhadap narasi-narasi kecil dan bahkan dangkal, dan fraktal atau viralisme yang cenderung menjadi kiblat sesuatu yang dipandang benar, adalah fenemona yang seharusnya kita mengambil peran dan sekaligus memberikan langkah solutif terhadapnya.
Kondisi atau fenomena di atas, yang menggambarkan paradoks atas kemodernan kehidupan hari ini, membutuhkan inspirasi yang bukan hanya menggugat realitas tetapi menggugah hati dan jiwa untuk mengambil langkah, memainkan peran, dan mengoptimalkan langkah solutif. Menulis adalah salah satunya.
Menulis, terkadang masih terkesan sebagai jalan sunyi, atau mungkin ada yang menilainya bukan “lahan-basah”. Justru itu, aktivitas menulis harus berangkat dari spirit “berbagi”, menjadi kristalisasi dari spirit “tangan di atas” sebagaimana ajaran agama, yang selama ini dimaknai sempit, hanya sebatas hal material.
“Berbagi” hal yang bersifat material, saya yakin punya banyak keterbatasan selain indikator kemampuan. Hanya mampu menjangkau beberapa orang. Melalui tulisan, banyak hal yang bisa dijangkau, daya jelajahnya sangat luas dan jauh. Mungkin di antara sahabat pembaca, masih ada yang mengingat tulisan saya yang pernah terbit, judulnya “Menulis Memperluas Radius Kehidupan”. Melalui menulis, saya merasakan dan menerima banyak manfaat. Saya bisa dan sering berkomunikasi dengan beberapa rektor, profesor, pemikir, dan ilmuwan, yang padahal jarak gelar akademik saya jauh ke bawah dari mereka semua.
Melalui tulisan ini, ada satu hal lagi yang ingin saya bagikan sebagai sesuatu yang bisa dipandang pula sebagai “setetes inspirasi”, selain sifatnya menjadi amunisi untuk bertahan dalam menulis. Selain beberapa nilai, spirit, dan modal yang dimiliki untuk bertahan dalam aktivitas menulis dan sebagaimana telah lazim dipahami adalah selain mengedepan spirit “berbagi” sebagai refleksi dari konsepsi “tangan di atas”, maka kita pun harus memahami pemanfaatan dimensi psikologis dan neurosains dalam periklanan.
Artinya atau parafrasenya kurang lebih seperti ini, para perusahaan besar rela mengeluarkan ratusan juta bahkan miliaran untuk membiayai iklannya, bahkan tidak sedikit perusahaan mengontrak artis tertentu untuk dipajang fotonya bersama produknya. Padahal, realitasnya di antara kita, saya, dan termasuk para sahabat pembaca, yang (mungkin) menjadi sasaran iklannya, tidak pernah secara serius, tinggal menatap apalagi membaca iklan-iklan yang ada di jalanan. Apakah perusahaan itu merasa rugi?
Jawabannya, mereka para pemilik perusahaan tidak pernah merasa rugi, karena dirinya memahami ilmu neorusains dan termasuk memahami bagaimana mekanisme kerja alam bawah sadar. Ini pun, termasuk yang saya terapkan dalam aktivitas menulis. Setiap tulisan saya yang terbit, saya langsung bagikan ke puluhan bahkan hampir ratusan—masing-masing—ke group Facebook dan WhatsApp. Berapa banyak yang membaca tulisannya, tentunya saya tidak bisa mengalkulasinya.
Yang memberikan apresiasi langsung pun, tidak sampai sepuluh persen dari setiap tulisan yang saya bagikan. Dengan pemahaman dan kesadaran atas teori yang digunakan oleh para pengiklan, maka saya pun tidak pernah merasakan “rugi” (jika kita mau menghitung untung-ruginya) karena saya yakin, di alam bawah sadar mereka semua dan para sahabat pembaca, saya juga mendapatkan sesuatu yang dimaknai “apresiasi” meskipun hanya seuntai “kata” dan itu mengalir secara abstrak melalui frekuensi tertentu yang menembus diri ini.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023