Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO,- Pada bulan Ramadan, ada banyak ibadah atau pun kegiatan yang bisa dipastikan berdimensi ibadah yang secara intens atau masif dilakukan oleh umat Islam. Salat, puasa, salat tarawih, mendengar ceramah, dan beberapa hal lainnya bisa dinilai—dan saya sepakat dengan pandangan tersebut—sebagai “peribadatan yang sistemik, yang sub-subnya saling mendukung”.
Apa yang dimaknai sebagai “peribadatan yang sistemik” pada bulan Ramadan tersebut, dinilai memiliki dua fungsi, sebagai penyucian dan penguatan diri. Setelah membaca, terinspirasi, tertarik dan merenungkan hal ini, saya pada akhirnya pun merasakan kebenarannya bahwa, benar semua ibadah yang kita lakukan pada bulan Ramadan, pada dasarnya berfungsi sebagai penyucian dan penguatan diri.
Semua ibadah yang dilaksanakan pada bulan Ramadan, jika niatnya tulus semata-mata karena Allah, syarat dan rukuannya dilaksanakan sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan, maka hal tersebut akan menyucikan diri. Sebelum menguraikan lebih jauh, maka terlebih dahulu yang harus kita pahami—atau minimal sebagai pemahaman yang menjadi bagian dalam tulisan ini—adalah suci dalam pandangan Islam, melampaui dari sekadar makna bersih dalam pengertian dan makna umum.
Bersih seringkali dimaknai hanya sekadar terbebasnya fisik manusia dari kotoran. Sedangkan suci melampaui dari sekadar defenisi atau makna bersih, yaitu keadaan bebas dari najis, hadas, dan termasuk bebas dari dosa. Makna suci lebih identik dengan dimensi diri yang bersifat non-fisik, khususnya hati dan/atau jiwa.
Ketika diri kita merenungkan, semua ibadah yang dilaksanakan pada bulan Ramadan—tanpa kecuali puasa yang bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga—pada dasarnya semuanya berorientasi pada kesucian hati, jiwa, pikiran, dan perasaan. Intinya, orientasi utamanya bukan pada fisik tetapi aspek non-fisik: psikis, mental atau rohaniah.
Sebagai contoh saja, berwudhu sebagai syarat utama sebelum melaksanakan salat, bukan hanya yang secara simbolik membersihkan dimensi fisik, tetapi secara maknawi dan psiko-teologis, itu bermuara pada pembangunan karakter manusia yang ingin selalu bersih dan suci. Ketika sudah terbangun karakter manusia yang ingin selalu suci dan bersih, maka selanjutnya, cepat atau lambat, bisa dipastikan manusia yang bersangkutan akan manusia yang bersih dan suci.
Ketika Allah menegaskan melalui firmanNya—sebagaimana dalam QS. Al-Ankabut [29]: 49—bahwa, salat mencegah perbuatan keji dan mungkar, dalam pandangan saya, itu relevan dengan upaya untuk menjaga kesucian diri. Puasa secara esensial, termasuk pula menjaga hati, jiwa, pikiran, dan perasaan dari sesuatu yang negatif. Dan hal ini berarti, sebagai upaya untuk menjaga kesucian diri. Begitu pun sedekah dan zakat dengan berbagai jenisnya, itu dipandang sebagai upaya menyucikan harta, dan dampaknya pun bermuara pada kesucian diri.
Ketika Ary Ginanjar Agustian, menyebut tujuh belenggu hati, di antaranya prasangka negatif, prinsip negatif, dan kepentingan individual, sesaat, pragmatis, dan duniawi semata, maka jika kita bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah—khususnya puasa pada bulan Ramadan selama 29/30 hari—maka hati akan mengalami penyucian. Jika hati suci, yang di dalamnya terdapat kecenderungan sebagai basis dari apa yang disebut sikap, maka perilaku pemilik hati yang bersangkutan akan senantiasa mencerminkan sesuatu yang positif, produktif, dan konstruktif.
Saya yakin, para sahabat pembaca jika ikut merenungkan, maka akan sampai pula pada kesimpulan bahwa, benar Ramadan—dengan ibadah-ibadah yang dilaksanakan di dalamnya—akan menjadi bulan penyucian diri. Pertanyaan selanjutnya, apakah Ramadan bisa pula menjadi bulan penguatan diri.
Berdasasrkan banyak referensi yang saya pahami, diiringi dengan perenungan yang mendalam, saya pun sepakat dan merasakan bahwa, benar Ramadan bisa pula dipandang sebagai bulan penguatan diri. Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya ingin bertanya kembali kepada para sahabat pembaca. Apakah kita sudah sepakat, dengan penjelasan yang sangat terbatas di atas bahwa, Ramadan adalah bulan penyucian diri?
Jika kita sudah sepakat, maka itu adalah satu modal yang sangat rasional—selain satu lagi modal lainnya, yang akan memperkuat sebagaimana yang saya istilahkan sendiri sebagai “rumus matematis psiko-teologis”—untuk mendapatkan hasil rumusan bahwa, benar Ramadan adalah bulan penguatan diri.
Modal lainnya dalam pandangan saya—meskipun terinspirasi pula dari Ary Ginanjar—adalah bahwa Ramadan dengan berbagai ibadah yang dilaksanakan di dalamnya, fokus utamanya sebagai bentuk ibadah dan persaksian terhadap Allah. Kita mengakui bahwa Allah itu ada. Dalam bahasa lain, bahwa ibadah yang kita lakukan tanpa kecuali puasa dan salat tarawih adalah bentuk kristalisasi atas keyakinan terhadap keesaan Allah.
Jadi, Ramadan selain sebagai upaya menyucikan diri juga sebagai bentuk menegakkan pandangan, keimanan dan keyakinan diri terhadap keesaan Allah. Jika merujuk pada makna “imtak digital” Ary Ginanjar yang terinspirasi dari “iptek digital”—di mana bilangan biner yang terdiri dari angka “1” dan “0”, maka bisa dipahami bahwa, benar ketika keduanya membentuk perpaduan dalam diri maka berpotensi menghasilkan apa yang dimaknai sebagai “penguatan diri”.
Apa yang saya istilahkan sebagai rumus “matematis psiko-teologis” adalah satu (1) dibagi nol (0) hasilnya tak terhingga, tak terdefenisi, tak terbatas. Satu adalah simbol keesaan Allah, yang bukan berarti ada dua atau kedua; ini adalah sebagai simbol semata dari rumus tersebut. Sedangkan nol (0) adalah simbol dari kesucian diri.
Rumus ini, sebenarnya Ary Ginanjar terinspirasi dari perkembangan teknologi digital, di mana yang menjadi faktor utama perkembangannya itu, adalah adanya apa yang disebut dengan bilangan biner, yaitu bilangan yang hanya terdiri dari angka satu (1) dan angka nol (0). Jadi, mustahil teknologi digital mengalami perkembangan pesat hari ini, seandainya tidak ada bilangan biner.
Ketika Ramadan, telah mampu menjadi momentum untuk menyucikan diri dan mengesahkan Allah, maka secara otomatis kekuatan diri akan bangkit. Namun, bukan hanya dasar ini sehingga, saya menyimpulkan bahwa Ramadan pun adalah bulan penguatan diri.
Ramadan, dengan berbagai ibadah yang dilaksanakan di dalamnya, sesungguhnya orientasi utamanya pada dimensi psikis, hati, jiwa, pikiran, perasaan, mental, rohaniah, atau apapun istilah yang digunakan dan melekat, serta menunjuk pada sesuatu selain yang bersifat fisik-biologis dan material. Sedangkan, jika memperhatikan secara hierarkis dimensi yang ada dalam diri setiap manusia, yang secara garis besar terdiri atas dua bagian: psikis, dan fisik, maka telah dipahami bersama, termasuk dibenarkan oleh para pakar psikologi bahwa, dimensi psikis jauh lebih kuat pengaruhnya daripada dimensi fisik. Selain itu dimensi psikis mampu memengaruhi dan menggerakkan sepenuhnya dimensi fisik.
Senada dengan hal di atas, untuk memperkuat urgensi dan signifikansi dimensi psikis, maka apa yang dikatakan Rasululllah bahwa perang melawan hawa nafsu lebih besar ketimbang perang badar yang telah dilewatinya, adalah merupakan bukti bahwa benar dimensi psikis posisi dan perannya jauh lebih kuat. Indikator dan ukuran utama kekuatan diri, pada dasarnya terdapat pada kekuatan jiwa, hati, pikiran, perasaan.
Membaca (minimal) buku Breaking The Habit of Being Yourself karya Dr. Joe Dispenza, Psikolog Iman, karya Prof. Dr. Nevzat Tarhan, buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu, buku The Secret karya Rhonda Byrne, dan membaca dua karya Ary Ginanjar Agustian, buku Emotional Spiritual Quotient, serta buku ESQ Power, maka kita akan semakin meyakinan kebenaran, apa yang telah saya uraikan di atas. Dan masih banyak lagi buku lainnya, yang bisa menjadi referensi.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023