Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, OPINI– Siapa pun dia, dalam hidupnya memiliki harapan untuk mengalami capaian dan kemajuan yang berarti, baik secara personal maupun secara kolektif dalam kehidupan bangsa dan negara. Capaian dan kemajuan yang di alami secara personal akan menjadi akumulasi capaian kolektif bangsa dan negara. Dan sebaliknya kemajuan bangsa dan negara akan menjadi pemantik secara psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik untuk pencapaian kemajuan personal warga/rakyatnya.
Indonesia di mata Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag (2012), memiliki kelebihan-kelebihan dan sangat potensial menjadi pusat peradaban baru Islam. Salah satu yang dimaksud adalah Indonesia dihuni oleh mayoritas umat Islam. Dan ini merupakan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Belajar pada sejarah Islam, pernah mengalami kejayaan yang luar biasa dan mampu meruntuhkan dua peradaban besar: imperium Romawi dan Persia.
Peradaban yang muncul dari pancaran Al-Qur’an—karena pada saat itu umat Islam sangat berpegang teguh padanya—adalah sangat modern. Bahkan sebagaimana dikutip oleh Udo Yamin Majdi (2011) kemodernan kaum muslim itu pun diakui oleh seorang orientalis Kristen alumni Universitas Harvard, Robert N. Bellah. “Tidak diragukan lagi”, tulis Bellah dalam bukunya, Beyond Belief.
Prof. Mujamil pun sesungguhnya menemukan fakta yang sebenarnya bahwa Indonesia belum mencapai harapan tersebut. Ketika saya mencermati analisa mendalam Hajriyanto Y. Thohari (2015), dalam menatap masa depan Indonesia dan menilainya masih jauh di sana—salah satu faktornya adalah karena kita masih fokus pada pembangunan fisik daripada jiwa.
Indonesia sebagai negara dengan kemajemukan adalah entitas utamanya, harus hadir bukan hanya memberikan ruang kebebasan, tetapi mampu menjadi pemantik, mendorong, melejitkan potensi-potensi yang ada termasuk entitas agama warganya masing-masing. Umat Islam pun harus merasakan hal tersebut, sehingga mampu senantiasa dengan pemahaman yang sangat baik dan mendalam untuk berpegang teguh pada dua pedoman utamanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Ini bagian daripada membangun jiwa.
Justru sebaliknya, kita lebih fokus membangun fisik atau infrastruktur. Dan mungkin saja kita telah terjebak dan terkungkung dalam sebuah dokriner yang tidak disadari. Hal ini sering saya kritisi, dan saya sarankan untuk tidak terjebak di dalamnya, yaitu “Mens sana in corpore sano” artinya “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”.
Lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya”, telah menegaskan untuk membangun jiwa terlebih dahulu, kemudian “badan”-nya. Apalagi jika kita merujuk pada strategi perjuangan Indonesia, lebih banyak ditopang oleh kekuatan yang dimaknai sebagai jiwa, bukan sesuatu yang dimaknai badan atau fisik. Karena untuk yang satu ini para kolonialis lebih hebat. Dan dalam pembukaan UUD 1945, kesadaran teologis dan psikologis itu dituangkan “Atas berkat dan rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur”.
Kembali pada motto di atas yang lebih mengutamakan fisik, setelah penelusuran referensi dan saya temukan dalam karya Fuad Hasan, ternyata merupakan produk filsuf materialisme dari kota Sparta yang identitas dan orientasi utamanya sangat menonjolkan kekuatan fisik atau militer.
Untuk kembali menguatkan sebagaimana yang menjadi harapan Prof. Mujamil. Bulan Ramadan yang dikenal sebagai bulan mulia, memiliki keistimewaan dan bulan yang menjadi waktu pertama kali diturunkannya Al-Qur’an, sebaiknya dijadikan momentum, entry point ataupun starting point untuk sebuah ikhtiar “Islamic Character Building”. Konsep ini saya pahami dari Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag.
Dr. Asep menerjemahkan pembangunan karakter islami yang dimaksud adalah “membangun Insan Kamil, Cendekia berakhlak Qurani”. Karakter adalah kecenderungan hati (sikap, attitude) dalam mereaksi sesuatu serta bentuk perilakunya (behavior).
Dr. Asep memberikan satu contoh menarik, “bagaimana kecenderungan hati Anda ketika menemukan handphone mahal milik orang lain yang tertinggal di ruang ATM. Apakah anda mengambilnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya lewat Satpam, atau Anda ambil saja untuk dimiliki sendiri?. Inilah karakter, dalam bahasa agama disebut akhlak.
Membaca karya Dr. Asep banyak hal yang bisa kita temukan untuk memahami bagaimana cara membangun karakter. Mungkin kita telah memahami bersama bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan karakter adalah: Pertama, corak nilai yang ditanamkan; Kedua, keteladanan sang idola. Untuk konteks Indonesia, ini yang harus diperhatikan dan ditingkatkan agar banyak yang bisa diteladanai.
Ketiga, pembiasaan, mungkin pembaca telah pernah membaca tulisan saya sebelumnya, bagaiman relasi puasa dan filosofi habits (kebiasaan); Keempat, ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Hukuman bisa memaksa seseorang menaati aturan, sedangkan ganjaran dapat memotivasi seseorang; Dan kelima, kebutuhan. Kebutuhan termasuk perasaan tertekan terkadang akan mengubah orientasi hidup seseorang.
Dari hal ini, maka Dr. Asep, menegaskan bahwa untuk mengubah—atau dalam hal ini membangun—karakter seseorang, sekelompok orang, masyarakat, bahkan bangsa, maka hal –hal yang harus dilakukan adalah: Dakwah, uswah, riyadhah, reward and punishment, tafakkur, tadabbur, zikir dan muhasabah.
Dakwah, adalah upaya untuk menanamkan nilai baru yang lebih dapat diyakini kebenarannya, terutama nilai-nilai din al-Islam yang jelas landasan ayat Al-Qur’an dan Sunnahnya. Bulan Ramadhan adalah bulan yang bisa dimaknai sebagai bulan yang penuh dengan dakwah. Hampir setiap malam antara waktu shalat Isya dan Tarwih, di masjid-masjid ada ceramah sebagai bentuk dakwah. Tulisan ini pun, dan termasuk tulisan dari awal, hari pertama Ramadan, saya niatkan sebagai sebuah dakwah dunia virtual.
Riyadlah, adalah latihan pembiasaan. Pembiasaan penting sebagaimana yang telah saya jelaskan terkait kedahsyatan filosofi habits. Dalam bulan Ramadan selain membiasakan melaksanakan ritual agar semakin meningkat. Termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti sabar, ikhlas, mengendalikan diri, peduli akan dibiasakan dan dilakukan secara massif.
Reward and punishment, terkait ini sebenarnya ada di dalam bulan Ramadan, bagi yang berpuasa dengan sebaik-baik puasa, tentunya akan dijanjikan sebuak “ketakwaan”. Dan bagi tidak berpuasa, maka tentunya berdosa, atau jika tidak berpuasa karena alasan tertentu maka wajib diganti.
Tafakur, sering berpikir secara mendalam menembus dimensi sumber segala sumber, yakni Allah SWT. Bulan Ramadan ini, apalagi jika sering bangun tengah malam, merupakan waktu terbaik melakukan tafakur dan itu akan meresap ke dalam jiwa.
Tadabbur, selain yang telah disebutkan di atas, ini pun menjadi sangat penting. Tadabbur berarti sering merenung. Merenungi perjalanan hidup, makna hidup, atau nasib setelah mati. Melakukan perenungan seperti ini, satu sisi meningkatkan semangat untuk melakukan kebaikan dan untuk senantiasa berjalan di platinum track, pada sisi lain ini akan memperkuat kemampuan pengendalian diri. Dan termasuk akan meningkatkan sikap dan perilaku yang bermuara pada karakter dan akhlak yang baik.
Zikir, mengucapkan kalimah-kalimah thayyibah serta menghadirkan Allah di dalam Qalbu. Ini berfungsi menyucikan hati. Hati memeliki peran penting, sehingga harus senantiasa disucikan dari belenggu hati, bisa membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya. Selain dengan zikir—berdasarkan apa yang saya pahami buku Quantum Learning Bobbi Deporter & Mike Hernacki—bisa meningkat dan mengaktivasi kedahsyatan fungsi otak. Otak adalah piranti penting meningkat ilmu pengetahuan dan skill melahirkan inovasi-inovasi mutakhir dalam hal teknologi sains.
Muhasabah, menghitung-hitung amal saleh dan perbuatan maksiat yang telah dikerjakan lantas ditindaklanjuti oleh tobat. Ini penting karena selain zikir, dengan bertobat itu bisa menyucikan hati, memperkuat pengendalian diri, mengaktivasi keikhlasan, meningkatkan ketakwaan dan akan fokus pada akhlak dan karakter baik.
Hal tersebut penting menjadi perhatian baik dalam dunia pendidikan keluarga, maupun pendidikan informal dan formal. Selain daripada itu yang harus diupayakan agar dalam pembangunan karakter islami, tanpa kecuali jika proses ini dilakukan dalam dunia pendidikan adalah jenis pendekatan yang digunakan. Tiga jenis pendekatan yang bisa dilakukan yaitu: rasional, filosofis, dan emosional.
Pendekatan rasional, pada umumnya untuk menjawab pertanyaan what. Pendekatan filosofis untuk menjawab pertanyaan why. Dan pendekatan emosional dengan melibatkan emosi (senang, gembira, tegang, benci dan suka) dipandang mampu mempengaruhi timbulnya motivasi, semangat, keberanian dan perasaan takut dan lain-lain terhadap ajaran agama.
Yang saya uraikan di atas hanya merupakan tahapan awal, pemahaman awal dan dasar untuk melakukan “Islamic character building”. Begitupun bahwa melakukan proses ini bukan hanya dalam bulan Ramadan, tetapi merupakan proses yang tidak mengenal waktu, harus terus dilakukan. Ramadan hanya sebagai momentum untuk memantik kesadaran dan memulai merintis harapan baru.
*Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023