Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, OPINI– Pada umumnya, manusia atau setiap diri terus bergerak menuju masa depannya. Titik capaian bermuara pada masa depan yang berbeda-beda. Ada yang cemerlang dan tidak sedikit pula yang suram. Ini seringkali dipengaruhi oleh spirit yang mengawalinya. Spirit sebenarnya, senantiasa diproyeksikan sebagai sesuatu yang bermuatan “positif”.
Ada banyak, basis argumentasi bahkan landasan teoritik yang memberikan ruang justifikasi dan konfirmatif bahwa, spirit awal itu penting. Allah berfirman—dalam yang dikenal hadis Qudsi— “Aku sesuai persangkaan hambaKU”. John C. Maxwell, “sikap awal kita menentukan lebih dari apapun”. Dari Maxwell ini, seakan menarik makna derivatif atau menginterpretasi ulang dari Rasulullah Muhammad Saw, “semua perbuatan tergantung dari niatnya”.
Dr. Ibrahim Elfiky (sang maestro motivator muslim dunia) menegaskan, “apa yang kita rasakan hari ini, adalah hasil dari apa yang kita pikirkan (hari) sebelumnya, dan apa yang akan kita rasakan pada masa yang akan datang adalah hasil dari apa yang kita pikirkan hari ini”. Pikiran, baik positif maupun negatif, dalam pandangan saya bagian daripada apa yang dimaknai sebagai “spirit”.
Bahkan jika saya melakukan reinterpretasi, perbedaan antara orang yang “sukses” dengan yang “tidak sukses” sangat kecil. Tetapi perbedaan yang sangat kecil ini bisa menimbulkan perbedaan yang sangat besar. Apa perbedaan (sangat) kecilnya? Dan apa perbedaan (sangat) besarnya? Perbedaan kecilnya adalah spirit dan perbedaan besarnya adalah apakah spiritnya positif atau negatif.
Spirit yang dimaksud dalam tulisan ini, bisa juga disebut dengan sikap, bahkan mungkin ini lebih lazim dipahami. Sikap sederhananya adalah kecenderungan hati. Sebagai kecenderungan hati, ini bisa berwujud pikiran dan/atau perasaan. Dan dari sini, bisa mempengaruhi atau ditindaklanjuti oleh perilaku (behavior), maka terimplementasilah dalam realitas empirik yang disebut “karakter”, atau “akhlak”.
Spirit positif itu penting. Menatap masa depan dengan spirit ini, bagaikan membangun atau menghamparkan “medan magnet”, sehingga setiap yang dilalui penuh dengan daya tarik yang dahsyat. Bukan hanya kita yang mendekati masa depan, tetapi sebaliknya masa depan itu juga terus mendekati kita.
Bukankah “masa depan” sesuatu yang statis dan bahkan mustahil bisa berjalan mundur, bagaimana caranya mendekati diri kita?. Jika masa depan sebagai ruang-waktu yang dipersepsikan secara material dan simbol serta makna denotatif, bisa benar “bantahannya”, tetapi sebagai sebuah “energi”, atau “spirit”, bantahannya keliru.
Hal di atas, bahwa bisa jadi “masa depan” yang akan mendekati kita, relevan—dengan apa yang Quraish Shihab tegaskan—firman Allah dalam hadis Qudsi “…siapa yang mendekat kepada Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Dan siapa yang mendekat sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepak”. Dan bagi saya, Allah pemilik segalanya, termasuk “masa depan”.
Spirit ini bisa diperoleh melalui internalisasi nilai dari ayat-ayat puasa dan Ramadan. Membaca Al-Qur’an termasuk ayat-ayat yang saya maksud ini, jangan hanya transfer of knowledge, yang lebih utama adalah transfer of value. Agar terjadi change of attitude,yang akan mempengaruhi spirit dalam menatap masa depan.
Melalui ibadah, amalan dan ayat-ayat puasa dan Ramadan yang menjadi landasan teologisnya bahkan mengandung energi psikologis-filosofis. Hal ini, idealnya dilakukan—jika meminjam tesis Pierre Bourdieu—internalisasi eksterior untuk selanjutnya dilakukan eksternalisasi interior (singkatnya, habitus).
Internalisasi eksterior, berarti menyerap segala realitas eksternal ke dalam jiwa. Ibadah, amalan, khususnya ayat-ayat puasa dan Ramadan yang dibaca dalam bulan Ramadan, diserap nilai-nilainya ke dalam jiwa. Mungkin ini juga bisa disebut sebagai upaya kuat untuk mendapatkan dimensi esoterik puasa dan Ramadan.
Setelah diserap, tersimpan dalam “big data” diri, oleh mesin algoritma yang built-in dalam diri melalui “chip” iman—saya yakin—akan melahirkan sikap (pikiran dan perasaan)/ kecenderungan hati yang positif, benar, baik dan indah. Akan memancarkan suara God spot.
Setelah, internalisasi eksterior dan diolah dalam big data “jiwa” maka selanjutnya eksternalisasi interior. Apa yang ada dalam diri, diimplementasikan agar memberikan implikasi positif. Tidak hanya bermuara pada kesalehan pribadi (ritual) tetapi berefek pada kesalehan sosial, mampu menjadi solusi atas setiap problematika, dan menjadi spirit positif menatap masa depan.
Selain itu, ternyata tidak kalah pentingnya, bahkan jika saya renungkan, harus ini yang terlebih dahulu dipahami adalah appreciative inquiry. Ketika saya mendalami ayat-ayat puasa dan Ramadan, QS. Al-Baqarah [2]: 183, 185, 186, 187 dan 189 saya menemukan kesimpulan: setiap ayat di awali dan diakhiri oleh seruan, kalimat dan harapan yang menjiwai prinsip atau paradigma appreciative inquiry.
Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom, baru menyadari dan merumuskan secara sistematis apa yang disebutnya “Appreciative Inquiry” (disingkat AI) atau “The Power of Appreciative Inquiry” pada tahun 2003, abad 21 ini. Sedangkan Allah melalui Rasulullah Muhammad Saw untuk menyampaikan ke umat Islam, dengan spirit penyampaian narasi yang mengikuti prinsip AI sejak 15 abad yang lalu.
Seringkali saya berpikir dan merenung, ternyata kita, umat Islam, terlalu banyak “lupa” dan “meninggalkan” suatu nilai yang sangat berharga dalam hidup. Atau kita mungkin kehilangan kesadaran.
Sebelum lanjut memberikan dan menguraikan indikator-indikator, antara yang dipandang mengikuti prinsip AI dan/atau (yang) tidak, alangkah baiknya jika memahami terlebih dahulu tentang AI (Appreciative Inquiry). Ini menjadi penting agar mendapatkan pemahaman awal.
David L. Cooperrider, Ph.D, menilai bahwa AI adalah teori perubahan yang dijelaskan oleh Diana & Amanda yang memiliki kesejajaran dengan ilmu alam, yang memperkenalkan kepada kita pada konsep energi fusi. Energi fusi—saya juga pernah uraikan sekilas dalam tulisan sebelumnya—dua atau lebih sumber energi dan energi yang digabungkan maka akan menghasilkan energi positif yang dahsyat.
Saya memahami dari Diana dan Amanda, AI adalah sebuah (paradigma) yang mengedepankan atau berorientasi untuk menemukan hal positif, potensi (kebenaran, kebaikan dan keindahan) dari setiap sesuatu, meskipun itu adalah hal yang dipandang biasa-biasa saja. Ini adalah antitesa dari prinsip dan/atau wacana defisit, yang selalu berorientasi—termasuk dalam pemecahan masalah—dari hal negatif, berdimensi “kekurangan”, “keburukan” dan/atau “kelemahan”.
AI bagi saya—meskipun sebagian orang—(bukan) hanya metode pengelolaan forum pembelajaran agar tercipta proses yang efektif dan efesien, melampaui dari itu, adalah sebagai paradigma penting dalam hidup.
Yang lebih mudah dipahami, bahwa dengan paradigma dan prinsip yang mengikuti AI akan senantiasa mendahulukan untuk “melihat” sisi positif daripada sisi negatif dari setiap sesuatu. Ini pula yang bisa menjadi alasan sehingga paradigma atau prinsip AI menolak pendekatan yang disebut “problem solving”.
Mengapa metode problem solving ditolak karena berdasarkan prinsip AI, dengan ini, kita akan mengawali untuk mencari kelemahan, sisi negatif sesuatu, maka dipastikan pada muaranya nanti akan menghasilkan problem baru. Dan pendalaman saya berikutnya ternyata AI relevan dengan mekanimse kerja pikiran, alam bawah sadar dan mekanisme on/off DNA. Jadi jika berorientasi negatif maka akan berujung negatif dan sebaliknya jika positif maka akan bermuara pada hal positif.
Jika pembaca membaca dengan baik karya Diana dan Amanda, maka akan ditemuka bahwa AI ini mengkritisi kelemahan ilmu psikologi yang selama ini lebih fokus pada penyakit dan patologi sosial. AI pula memperlakukan manusia sebagai manusia. Sampai pada persoalan kata-kata, AI memberikan perhatian serius, seperti antara pilihan “medicine” dan “healing”.
Medicine dan healing adalah dua istilah dalam dunia kedokteran dan ilmu pengobatan. “Medicine” yang diusung oleh Barat dipandang sebagai mengedepankan prinsip atau wacana “defisit”. Dan ”healing” yang diusung oleh Timur dipandang mengedepankan prinsip atau wacana positif/apresiatif sebagai bagian dari AI. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan fokus dalam hal penanganan.
Contoh sederhana dan mudah dimengerti, Indonesia untuk gedung yang menangani proses pengobatan diberi nama “Rumah Sakit”. Semakin banyak “Rumah Sakit”, ternyata faktanya semakin banyak orang sakit dan penyakitnya semakin canggih. Berdasarkan paradigma AI ada yang salah dari awal, semestinya namanya “Rumah Sehat” bukan “Rumah Sakit”. Indonesia masuk sebagai dunia Timur, mengikuti tidak mengikuti konsep “healing”. Inilah yang saya maksud di atas terlalu banyak “lupa”, “kehilangan” dan “kurang/tidak menyadari”.
Urgenkah pilihan kata-kata atau istilah? Budi Setiawan Muhammad dalam “Pengantar Buku Edisi Bahasa Indonesia Diana & Amanda” menegaskan “kata bukanlah sekedar penjelasan terhadap suatu realitas, tetapi pembentuk realitas itu sendir. Makna dibentuk dalam percakapan. Realitas diciptakan dalam komunikasi.”
Prof Zakiyuddin (Rektor IAIN Salatiga) & Azaki (Dosen) (2017), menegaskan “Asumsi dasarnya adalah AI berpijak pada hipotesis heliotropic yaitu organisasi berkembang sebagaimana tumbuhan yang tumbuh berkembang mengarah kepada sesuatu yang memberi mereka kehidupan dan energi”. Term “organisasi“ dari Zakiyuddin dan Azaki bisa diganti manusia, orang atau seseorang. Artinya dan yang ingin saya tegaskan bahwa hipotesis heliotropic yang menjadi pijakan AI, berlaku juga bagi manusia termasuk dalam menatap masa depannya.
Ayo kita kembali—satu ayat saja sebagai contoh—QS. Al-Baqarah [2]: 183, ayatnya diawali “wahai orang-orang yang beriman”, penegasannya “beriman”. Dan diakhiri “agar kamu bertakwa”. Dalam AI ada 4 D (Discovery, Dream, Design dan Destiny). Awal ayat kata “Beriman” ini mengikuti prinsip/wacana positif/apresiatif dalam AI dan masuk dalam dimensi Discovery. Sedangkan pada akhir ayat, “agar kamu bertakwa” ini juga mengikuti prinsip/wacana positif/apresiatif dalam AI dan masuk dalam dimensi Dream.
Zakiyuddin dan Azaki untuk konsep menambahkan lagi 1 D dari 4 D menjadi 5 D. 1 D lainnya dan itu ditempatkan pada bagian awal dari rumusan Diana dan Amanda adalah Defenition. Saya belum melakukan penelusurun keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an tetapi saya yakin jauh lebih banyak ayat yang mengikuti paradigma appreciative inquiry (AI) ini, apalagi (mungkin) menggunakan tafsir tematik, berdasarkan tema-tema tertentu.
Melekatkan, meletakkan dan/atau mengedepankan paradigma appreciative inquiry terhadap puasa dan bulan Ramadan maka akan diperoleh spirit positif yang sangat bermanfaat untuk menatap masa depan.
*Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.