Oleh: Agusliadi Massere*
Saya sangat menyadari bahwa percikan inspirasi atas judul di atas, lahir sebagai proses algoritmik dari data-data hasil bacaan yang telah tersimpan dalam memori ingatan. Bacaan dari buku hasil karya Yudi Latif dan Ahmad Norma Permata yang paling memengaruhi proses algoritmik dan percikan inspirasi tersebut dalam diri.
Dalam salah satu karya terbaik Yudi, buku Wawasan Pancasila: Edisi Komprehensif (2020), kita bisa mendapatkan satu kesimpulan bahwa “Nilai-nilai Pancasila sulit tumbuh subur dalam lahan keadaban tandus, tatkala kebanyakan warga lebih terobsesi “cinta kekuasaan” (the love of power) ketimbang “kekuatan cinta” (the power of love). Saya pun meyakini bahwa nilai lain pun mengalami hal yang sama, dalam keadaban tandus tersebut: “obsesi cinta kekuasaan”.
Norma Permata dalam bukunya Institusionalisasi vs Rasionalisasi: Dialektika Agama dan Peradaban (2020), memberikan satu pencerahan dahsyat bagi pembacanya, “Agama dalam sejarah manusia merupakan mekanisme institusionalisasi atau jalan untuk membangun kehidupan manusia….Agama sebagai sebuah nilai tidak pernah semata konseptual. Melainkan agama selalu merupakan upaya mengubah kondisi”.
Di balik harapan-harapan tentang kondisi kehidupan ideal yang menjadi impian saya dan kita, selaku bagian dari anak bangsa, dan minimal dua percikan perspektif dari pemikir dan ilmuwan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia,—yang saya sebutkan di atas—dan otoritas keilmuannya tidak diragukan: Yudi dan Ahmad Norma, sehingga terjadi proses algoritma dalam diri ini, mengelola semuanya sebagai satu kesatuan big data. Saya memang meyakini bahwa, apa yang disebut proses algoritma, bukan hanya berlaku bagi teknologi-sains, tetapi termasuk dalam diri manusia, tanpa kecuali dalam diri saya dan para sahabat pembaca.
Saya sebagai anak bangsa sangat merasakan bahwa, the love of power (cinta kekuasaan) benar-benar telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Indikatornya sangat sederhana, di mana tingkat korupsi masih sangat tinggi, dan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” masih sering dan terus menjadi teriakan histeris. Saya yakin para sahabat pembaca pun sepakat dengan apa yang saya rasakan.
Termasuk pula, jika kita menghubungkan dengan pesta demokrasi—apalagi bulan Ramadan tahun ini adalah bulan Ramadan terakhir menuju Hari Pemungutan dan Penghitungan Suara untuk Pemilu 2024 (pada tanggal 14 Februari 2024)—masih seringkali dihantui dengan kekhawatiran adanya praktik “politik uang”, yang tentunya ini adalah salah satu turunan dari “cinta kekuasaan”, yang seringkali sarat dengan pengabaian etika, norma, dan moralitas. Bisakah bulan Ramadan ini menjadi momentum strategis-teologis, sekaligus upaya transformasi nilai?
Ingatan dan perjalanan sejarah kehidupan, seakan menegaskan bahwa DNA manusia itu adalah “cinta kekuasaan” (the love of power). Mulai dari keraguan Malaikat atas rencana penciptaan manusia oleh Allah, diusirnya Adam dan Hawa dari surga, Pembunuhan Habil oleh Qabil (dua putra Adam-Hawa), sampai terus berlangsungnya perang demi perang hingga memasuki kehidupan kontemporer hari ini.
Entah, apakah Thomas Hobbes terinspirasi dari ingatan dan perjalanan sejarah kehidupan yang saya sebutkan di atas. Hobbes pun menyimpulkan bahwa, “Dua hal yang paling purba, paling naluriah, paling manusiawi, dan sekaligus paling fundamental yang telah selalu bermukim dalam diri kita semua manusia, yaitu: 1) hasrat (desire), dan 2) kuasa (power)”.
Peradaban hari ini pun, melalui atau diperkuat oleh pandangan dunia dan ideologi tertentu, semakin menciptakan sejenis mesin, yang disebut mesin hasrat, sehingga the love of power semakin menyebar masif dan membesar dalam berbagai sendi kehidupan. Dan ini pun mengalami sejenis mekanisme memetika sehingga anak kecil dan remaja pun tanpa kecuali, menjadi sasaran tumbuh suburnya bibit the love of power itu—hal ini ditandai maraknya tawuran dan lain-lain yang sejenis.
Meskipun realitas seperti itu, sejarah memperkuat, dan bahkan menyiapkan preseden historis sebagai sebuah ruang konfirmasinya, tetapi jika kita memahami dan meyakini ajaran agama Islam, maka bisa dipastikan kita tetap optimis bahwa, masih ada ruang dan mekanisme untuk melakukan transformasi dari the love of power menjadi the power of love. Meskipun, mengaku beragama dan beriman, tidak serta-merta memberikan kemudahan untuk melakukan transformasi tersebut, tanpa ada pemahaman, kesadaran dan upaya yang beroperasi di dalamnya.
Ramadan, jika kita memperhatikan berbagai ajaran, nilai, tujuan, harapan, ibadah atau ritual, dan janji Allah sebagai pemilik Kerajaan Alam Semesta yang tersirat sampai yang tersurat atau terungkap di dalamnya, kita masih bisa optimis untuk mereduksi obsesi besar sebagian manusia atas sikap dan perilakunya terhadap “cinta kekuasaan” atau mungkin lebih tepat “hasrat kekuasaan”. Ramadan dengan berbagai determinasinya, dan berbagai hal baik, positif, produktif, konstuktif, kontributif, dan mulia yang terkandung di dalamnya, saya dan kita semua masih pantas untuk optimis.
Namun, tentunya optimisme yang disebutkan di atas dengan syarat, kita mampu melakukan sejenis proses habitus ala Pierre Bourdieu. Berbagai hal yang terkandung di dalamnya, kita operasionalisasikan dalam mekanisme internalisasi eksterior, artinya kita selami, serap, dan dalami sampai mampu menjadi darah-daging kita. Selanjutnya, setelah proses internalisasi eksterior dilakukan, kita melakukan proses eksternalisasi interior, atau proses pengimplementasian sesuai apa yang telah menjadi darah-daging untuk menjadi napas dan warna kehidupan.
Ramadan, jika memperhatikan ibadah, nilai, tujuan, dan harapan yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya merupakan langkah pasti untuk mengendalikan hasrat “cinta kekuasaan”. Ramadan, dengan ibadah puasanya, bukan hanya untuk menahan hasrat terhadap kebutuhan fisik-biologis, tetapi di dalamnya ada upaya, dan pembiasaan—yang berpotensi menjadi karakter—mengendalikan nafsu atau hasrat tanpa kecuali terhadap kekuasaan.
Pada sisi atau dimensi lain, bulan Ramadan pun dengan berbagai hal yang terkandung di dalamnya, adalah memontum yang menyediakan ruang untuk memupuk “kekuatan cinta” tanpa kecuali terhadap sesama dan/atau orang lain. Ibadah shalat tanpa kecuali shalat tarawih yang semakin intens dilakukan pada bulan Ramadan, bukan hanya untuk sebuah harapan konversi menjadi “surga”—yang di dalamnya terdapat bidadari cantik dan sungai-sungai mengalir di bawahnya—tetapi mampu pula membentuk karakter yang positif, produktif, konstruktif dan kontributif.
Saya pun tidak sepakat jika disimpulkan—apalagi jika yang menyimpulkan mengaku beragama Islam—bahwa, “cinta kekuasaan” adalah DNA manusia, sebagaimana telah tergambarkan di atas. Telah diketahui bersama bahwa, manusia selain sebagai makhluk individual juga adalah makhluk sosial. Termasuk pula, selain sebagai makhluk yang memiliki dimensi intelektual, juga memiliki dimensi emosional dan spiritualitas.
Sebagai makhluk spiritual, manusia senantiasa ada kecenderungan untuk meraih Allah. Dalam meraih Allah—sebagaimana pandangan Seyyed Hossen Nasr—bukan hanya membutuhkan pengetahuan, tetapi termasuk pula “cinta”, selain keindahan yang disebut Nasr. Jika kita memahami pandangan “Neo Sufisme Muhammadiyah”,—berbeda dengan Sufisme lainnya—maka setelah sampai atau meraih Allah, kita ingin kembali ke bumi untuk membuktikan bahwa “Kekuatan cinta bersifat transformatif”.
Cinta kekuasaan yang telah mengalami transformasi menjadi “kekuatan cinta”, selanjutnya pun akan mengalami berbagai bentuk transformasi lain. Sebagaimana yang baru saja disebutkan di atas bahwa ,“kekuatan cinta bersifat transformatif”. Nasr menegaskan “Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta. Langit bergerak karena kekuatan cinta”. Saya pun menyakini, Indonesia akan semakin maju, persatuan Indonesia semakin kuat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin nyata, ketika kekuatan cinta terus memancar dan menerangi negeri Indonesia yang tercinta.
Jika kita memahami secara filosofis bacaan “basmalah”—meskipun ini mungkin berbau tasawuf atau sejenis pandangan sufi—bahwa, sesungguhnya basmalah, bismillahirrahmanirrahim telah menegaskan bahwa di antara sekian banyak nama-nama Allah atau sebagaimana disebut sebagai asmaul-husna, ibarat tombak, ujungnya adalah “Kasih-Sayang”. Meskipun Allah Maha Perkasa, merajai langit dan bumi serta segala isinya, dan Maha Kuat, tetapi sungguh Allah tidak mengedepankan “Cinta Kekuasaan” (the love of power), justru Allah mengedepankan “Kekuatan Cinta” (The power of love)-Nya.
Ketika “Kekuatan Cinta” yang terpancar menyinari negeri ini dari diri setiap anak bangsa, terutama yang berstatus sebagai elit bangsa, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi korupsi, politik uang, intoleransi, diskiriminasi, kriminalisasi, intervensi, dan berbagai bentuk kekerasan tanpa kecuali terhadap ibu dan anak. Marilah kita meraih “kekuatan cinta” tersebut dengan menyerap segala kebaikan dalam momentum Ramadan tahun ini.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabuapten Bantaeng Periode 2018-2023