KHITTAH.CO, Opini – Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 elah mengikrarkan Indonesia sebagai Negara Hukum. Ikrar ini mengikat seluruh warga negara. Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum adalah hukum yang memiliki kedudukan tertinggi dalam bernegara, setiap tindakan pemerintah/pejabat negara haruslah berdasarkan hukum, jika tindakan pemerintah/pejabat netgara keluar dari aras hukum maka sudah pastilah terjadi pelanggaran hukum. hal ini juga mengatur setiap tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh presiden. Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan menegaskan sistem presidensial di Indonesia sangat kokoh. Presiden juga berdasarkan UUD NRI 1945 dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat/diberhentikan oleh presiden.
UUD NRI 1945 memberikan hak konstitusional kepada presiden dalam pengangkatan menteri. Oleh karena pengangkatan menteri adalah hak konstitusional presiden maka harus diatur, pengaturan ini diatur dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara yang menegaskan bahwa Menteri adalah Pembantu Presiden yang memimpin kementerian. Pegangkatan dan pemberhentian menteri negara yang merupakan hak konstitusional presiden juga diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008.
Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 mengatur menteri dilarang merangkap jabatan. Pasal ini mengatur bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Jika ditelisik lebih dalam pasal ini bersifat Alternatif yaitu, jika telah ada salah satu unsur pada huruf a,b atau c dari larangan yang diatur maka unsurnya telah terpenuhi. Kemudian pada pasal 24 ayat (2) juga diatur bahwa menteri diberhentikan oleh presiden karena melanggar ketentuan rangkap jabatan, namun dalam pengangkatanWalikota Surabaya menjadi menteri sosial terjadi logika hukum yang tidak terstruktur karena, presiden sendiri yang mengangkat dan mengizinkan untuk rangkap jabatan.
Fokus pembahasan pada tulisan ini adalah pada poin pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk kasus walikota surabaya yang telah dilantik oleh Presiden menjadi Menteri Sosial pada 23 Desember 2020, saat pelantikannya Tri Rismaharini masih berstatus aktif sebagai walikota Surabaya. Untuk menjawab unsur pejabat negara lainnya, kemudian Apakah Walikota termasuk pejabat negara? maka dilakukan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan melihat UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dan UU No. 23 Tahun Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan pasal 122 huruf m UU No. 5 tahun 2014 Walikota termasuk sebagai pejabat negara, artinya telah memenuhi unsur dalam pasal 23 huruf a UU No. 39 Tahun 2008. Kemudian larangan rangkap jabatan juga diatur dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda bahwa Kepala daerah termasuk walikota dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sementara jabatan menteri sebagai pejabat negara. Kemudian bagi walikota Surabaya yang merangkap sebagai menteri sosial berdasarkan pasal 78 UU No. 23 Tahun 2014 harus diberhentikan dari jabatannya sebagai walikota Surabaya karena telah melanggar larangan sebagai kepala daerah (walikota).
Seharusnya setelah memilih menjadi menteri sosial,walikota Surabaya harus langsung diberhentikan dari jabatannya sebagai walikota, atau tidak mengambil jabatan menteri terlebih dahulu sampai selesai amanah memimpin Surabaya. Namun melihat penyampaian di media bahwa akan pulang pergi Surabaya, kemudia akan meresmikan jembatan dangedung olaharaga di Surabaya akan memperlihatkan wajah buruk dalam sistem ketatanegaraan kita.
Masyarakat bisa bertanya-tanya? Yang menjalankan roda pemerintahan di Surabaya ini adalah Walikota atau menteri sosial? Yang meresmikan jembatan dangedung olahraga ini adalah Walikota atau Menteri Sosial? Saya berbicara dengan walikota atau menteri sosial? Yang memrintahkan penyaluran bantuan sosial keseluruh Indonesia ini adalah walikota atau menteri sosial? Hal ini juga ditambah mengingat jabatan walikota mau pun menteri adalah jabatan yang mengurusi rakyat banyak, maka dibutuhkan fokus untuk mengurus rakyat. Namun jika secara bersamaan memegang tanggungjawab seagai walikota dan menteri sosial tentunya kerja dan fokus akan terbagi-bagi.
Tentulah keputusan presiden ini menjadi preseden buruk kedepan. Mana mungkin kita melihat aturan undang-undang dilanggar dan tidak dilaksanakan. jika Presiden selaku kepala Pemerintahan dan kepala negara yang mengambil keputusan dengan tidak melihat ketentuan Undang-Undang dalam pengankatan menterinya. Betapa tidak, melihat aturan yang secara jelas telah mengatur, namun dilanggar. Ini memberikan wajah buruk dalam tertib hukum, dan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Keputusan Presiden dan tindakan walikota Surabaya bukan hanya sebatas pengangkatan menteri, rangkap jabatan, dan masa jabatan walikota yang tinggal menunggu hari akan tetapi lebih dari itu, harus dipikirkan terlebih dahulu efek yang akan terjadi. Presiden dan walikota Surabaya seolah memperlihatkan kepada masyarakat untuk melanggar hukum. hal ini juga merobohkan sistem berpikir masyarakat tentang hukum dan mengonfirmasi bahwa aturan yang dibuat memang untuk dilangggar. Sebab, rangkap jabatan Tri Rismaharini sebagai walikota sekaligus Menteri Sosial telah melanggar dua undang-undang yakni Undang-Undang tentang Kementerian Negara dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Penulis adalah Ketua Umum Pikom Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin