Oleh : Muhammad Asratillah Senge
Jalan Menuju Tuhan
Walaupun Tuhan itu Esa, tapi itu tidak berarti simple untuk dihayati apalagi dipikirkan. Apalagi jika berbincang mengenai relasi antara Tuhan dengan Alam, relasi Tuhan dengan manusia dan relasi di antara ketiganya, dan salah satu ikhtiar untuk memikirkan itu semua adalah teologi. Dalam beberapa sistem teologi, termasuk dalam hal ini teologi Islam, ada semacam tesis di dalamnya ( dan bernuansa antroposentrik sebenarnya) bahwa satu-satunya entitas yang dapat menyadari dan membahas soal relasi Tuhan, alam dan manusia adalah manusia itu sendiri. Lalu apa yang menyebabkan bahwa yang dapat membahas ketiga bentuk relasi tersebut hanyalah manusia ?.
Dalam Risalah Muhammad Abduh menjelaskan, bahwa jalan untuk mengetahui Tuhan ada dua, jalan pertama adalah jalan melalui kehendak Tuhan itu sendiri, yang biasa kita sebut dengan istilah “wahyu”. Dalam pandangan teologi Abduh, wujud secara keseluruhan berada dalam situasi yang hirarkis (bertingkat). Tuhan berada di puncak hirarki sedangkan manusia berada di dasarnya, walaupun masih lebih tinggi ketimbang kehidupan a-biotik dan biotik lainnya. Berarti ada semacam gap ontologis antara Tuhan dan manusia, dan ini agak mirip dengan gap ontologis bahkan
lebih tepatnya disebut dengan dikotomi antara noumena dan fenomena nya Immanuel Kant. Karena adanya gap ontologis inilah yang membuat manusia berhajat kepada wahyu.
Jalan kedua untuk mengetahui Tuhan adalah melalui akal. Bahkan Abduh mengatakan bahwa akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan dari wujudnya. Jika kita meminjam sedikit inspirasi dari khazanah eksistensialisme, maka manusia bukanlah makhluk sekali cetak yang langsung jadi seperti adanya, yang selalu sama sejak dilahirkan hingga penghujung usianya. Manusia tidak hanya “ada” tetapi manusia lebih tepatnya selalu berada dalam peristiwa “mengada” atau peristiwa “kemenjadian” (becoming), manusia selalu berada dalam ke-historis-an nya. Tapi dasar dari segala kemejadian itu adalah akal, kenapa ? karena akal lah yang akan menjadi dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan perihal praksis dalam sejarah, bahkan akal adalah sumber kebahagiaan dan bukan hanya kebahagiaan orang per orang, tetapi kebahagiaan bangsa-bangsa kata Abduh.
Berbicara Pada Akal
Abduh termasuk salah seorang yang mempunyai pandangan sejarah yang progressif, bahwa akal tidaklah statis tetapi bertumbuh kembang, menjadi semakin dewasa seiring dengan laju roda sejarah. Akal yang dimaksud di sini bukan sekedar akal individu-individu manusia, tetapi akal secara kolektif, akal yang secara general (umum) dimiliki oleh umat manusia. Dan menurut Abduh, saat Islam datang melalui diri Muhammad SAW, manusia beserta daya akalnya telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Konon Qur’an tak hanya menyahut perasaan manusia, tetapi menyahut akal manusia, segala bentuk perintah dan larangan di dalam Qur’an pertama-tama ditujukan kepada akal manusia, bahkan Nabi dalam sabda-sabdanya pada dasarnya ditujukan untuk sahut menyahut dengan akal manusia dan menjadikannya sebagai pembeda antara yang benar dan salah.
Dalam Risalah Muhammad Abduh, secara gamblang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal serta agama yang didasarkan oleh akal. Pemikiran rasional dalam pendapatnya, adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan atas akal. Iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta kemahakuasaannya dan pada Rasul. Oleh karena itu, dalam Islam lah “agama dan akal pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan” kata Abduh. Di dalam persaudaraan tersebut agama menjadi semacam tulang belakang (backbone) dari agama, tegaknya agama bergantung pada tegaknya akal. Bahkan Abduh berani menggaransi bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu, mungkin saja dalam paruh sejarah tertentu agama mewartakan yang nampak tak masuk akal, tapi tidak mungkin agama membawa yang mustahil bagi akal.
Ada satu hal yang menarik dari pemikiran Abduh, yaitu sikap yang seharusnya diambil oleh seorang qari’ (pembaca) saat menemukan ayat ataupun kalimat Qur’an yang secara harfiah tak sejalan dengan aspirasi akal, atau seakan-akan nampak mustahil oleh akal. Karena bagi Abduh, akal tak wajib meyakini hal-hal yang tampak mustahil baginya, maka keharusan bagi akal untuk berasumsi bahwa ada pesan di balik makna harfiah ayat Qur’an tersebut, maka di sinilah peran tafsir dan takwil.
Dan akhirnya Abduh menentang dengan keras sikap taqlid. Beliau begitu tak bersepakat dengan suara-suara lantang beberapa ulama di masanya bahwa umat Islam belakangan wajib mengikuti hasil ijtihad ulama-ulama terdahulu. Menurut Abduh Islam datang dalam rangka untuk menghancurkan kuasa taqlid (dalam hal bahasa, organisasi sosial, hukum, keyakinan dll.) atas jiwa manusia, serta mencabut akarnya yang terlanjur tertanam dalam pikiran manusia. Karena untuk menjadi hamba yang otentik syaratnya adalah terbebas dari segala hal yang membelenggu akalnya.
Lalu Apa Selanjutnya ?
Di era postmodern saat ini, seruan pemikiran termasuk dalam hal ini teologi, yang begitu memperlihatkan kepercayaan besar pada akal, mungkin tampak kolot, dan itu bukan tanpa alasan. Dua perang dunia, lalu degradasi lingkungan hidup ditengarai berpangkal pada sikap yang memposisikan manusia dengan atribut ke-ber-akal-an-nya sebagai pusat segala-galanya (antroposentrisme).
Tapi itu tak berarti akal lalu dibuang di tong sampah sejarah. Mengapresasi apa yang pernah di anggap pinggiran oleh medernisme (semacam fantasi, imajinasi, kebertubuham, hasrat) tidak berarti harus melupakan peran akal. Apalagi di era politik demokrasi saat ini, begitu banyak kemungkinan-kemungkinan untuk menjadikan politik sebagai hutam rimba para penjarah, yang lihai mengatas namakan apa saja, mulai mengatas namakan etnik tertentu, organisasi tertentu bahkan mereka tak segan-segan mengatas namakan Tuhan. Dalam situasi tersebut akal-lah yang sementara dan segera bisa diandalkan untuk membedakan antara penjarah dan pahlawan, antara serigala dan domba alias antara yang haq dan yang bathil.