Oleh : Rahmawati Idrus
Merdeka adalah simbol bebas dari tekanan, ketertindasan, diskriminasi, serta ketidakbebasan dalam mengekspresikan diri, mengenyam pendidikan juga kesejahteraan masyarakat merata adil dan makmur. Ungkapan penulis merupakan representasi mewakili dari semua masyarakat Indonesia. Namun, setidaknya melalui moment kemerdekaan ini (Agustus), biarkanlah menjadi ajang refleksi kita sudah sejauh mana memerdekakan diri dari berbagai dinamika hidup yang tak hentinya-hentinya menadi PR kita semua, bahkan berlaku untuk semua rakyat Indonesia. Apakah kita benar-benar telah merdeka atau tidak ?.
71 Tahun merdeka, sebuah usia yang cukup tua dalam skala umur manusia. Dalam versi ulama ada empat kata yang senafas dengan makna kemerdekaan. Pertama, bebas dari tekanan atau penindasan dari pihak lain atau Itqun Minannar, kata ini diambil dari hadist Nabi yang sering dikaitkan dengan keutamaan bulan Ramadhan: “… awalahu rahmah, wausatahu maghfiroh, wa akhirihu itqun minannar,” yang artinya … puasa Ramadhan itu awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah pembebesan dari api neraka. Konteks dari dari kata tersebut adalah bahwa kemerdekaan itu bisa tercipta manakala bisa terbebas dari penindasan, ancaman, intimidasi dari pihak-pihak lain, dan kesemua itu telah bebas dari semua itu maka itulah makna dari “merdeka”.
Kedua, kemerdekaan berarti menghilangkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat, menciptakan tatanan masyarakat yang sederajat. Memuliakan antara satu sama lain, kesetaraan, tidaka da kelas dalam masyarakat, masing-masing memiliki hak sebagai bangsa tanpa memerdekakan kultur dan kelasnya. Makna ini diambil dari kata fathriru Roqabag, kata ini cukup banyak dalam Al-Qur’an. Misalnya dalam satu ayat Annisa ayat 92 ada 3 kata yaitu, tahrir dan khutiyyah dalam bahasa artinya merdeka.
Ketiga, merdeka manakala bisa mencapai dan tampil secara bersama-sama antara satu invidu dengan individu lain, atau antar kelompok satu dengan lainnya. Dalam Qs. Al-Balad 12-13, terdapat kata fakku Roqabah, yang artinya melepaskan budak dari perbudakan. Sehingga pada poin ketiga ini kolompok satu tidak bisa disembunyikan hanya gara-gara dianggap kelas dua, atau karena strata sosial yang tidak sejajar. Dalam praktik hokum maka semsestinya masing-masing komponen bangsa tidak pandang bulu. Jika hukum masih bersembunyi di belakang layar, sedangkan yang tampil adalah “uang”, itu berarti belum “merdeka”. Sebab hokum tidak pandang bulu, di mata hokum semuanya sama atau equality before the law.
Keempat, merdeka dari intervensi atau tekanan dari pengaruh “duniawi”, masih dipengaruhi oleh macam-macam rayuan dan godaan lainnya. Hal ini sebagaimana dalam kata Istiqlal artinya mandiri. Tidak mau campurtangani oleh pihak lain. Negara merdeka itu berarti Negara mandiri, me-menej diri sendiri, bukan Negara boneka, bukan Negara yang diatur oleh Negara lain. Jika masih diatur berarti belum merdeka.
Dari refleksi di atas menurt ulama, bahwa merdeka tidak lepas dari pegangan kita semua yaitu Al-Qur’an dan hadist. Sejatinya memang, sebagai Negara penganut agama bahkan salah satu syarat identitas diri merupakan simbol bahwa agama di Indonesia pada khususnya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sehingga mengawali tulisan ini, penulis mencoba merefleksi bulan agustus ini yang dianggap sebagai bulan kemerdekaan melalui pendekatan agama. sebab penulis menganggap bahwa memilih agama adalah bagian dari memerdekakan diri.
Bulan Agustus merupakan sebuah renaissance bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga patutlah jika sebelum mamasuki bulan agustus, berbagai macam pernak-pernik telah ramai dijual memadati badan jalan. Hal ini tentunya sebagai bukti bahwa ada rasa kebanggan untuk menyambut hari kebesaran bangsa ini. Sebuah harapan dari waktu kewaktu akan terus ada dari generasi bangsa baik muda atau pun tua. Negara aman, keadilan ditegakkan, kesejahteraan masyarakat terpenuhi, kemakmuran tidak hanya berlaku untuk segelongan kelompok, jauh dari kolusi, korupsi dan nepotisme ,meratanya pembangunan, kebutuhan pendidikan sebagai sarana pencerdasan anak bansa terpenuhi serta pelayanan kesehatan yang baik. Namun, sejauh ini penulis pun belum pernah merasakan full apa yang menjadi cita-cita masyarakat. Berarti, merefleksikan bulan agustus sama dengan merefleksikan bulan kemrdekaan belum terpenuhi. Kira-kira seperti itu.
Pada pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa seseungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Oleh sebab, keinginan utnuk merdekanya suatu bangsa tidak dapat ditunda-tunda, terlebih lagi oleh Negara yang ingin memperoleh kemerdekaan tidak hanya hasil dari keputusan sebelah pihak semata. Indonesia yang kita banggakan ini tentunya dalam meperoleh kemerdekaannya bukanlah pemberian dari penjanjah kepada bangsa yang dianggap terjajah ataupun sebagai hasil suatu proses damai belaka. Sebaliknya kemerdekaan Negara Indonesia diraih melalui sebuah perjuangan panjang dan berat yang mencapai puncak saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan sesudah proklamasi itu pun bangsa ini harus mengadakan perjuangan fisik kurang lebih 5 tahun lagi dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamsikan itu.
Hemat penulis, kemerdekaan Indonesia adalah sebuah revolusi, karena kemerdekaan merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah bangsa indonsia, karena menyangkut masa depan Indonesia saat ini. Revolusi kemerdekaan dapat dijadikan contoh dari sebuah kisah nyata yang mengambarkan tekad dan semangat untuk meraih impian walau sesulit apapun. Sztompka (2004 : 357) sendiri dalam memandang mengenai revolusi adalah memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial yang menggambarkan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang tejadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Sehingga dengan kata lain dalam konteks teologi adalah fitrih. Sebagaiamana yang dijelaskan keempat makna di atas dari kemerdekaan yaitu; Itqun Minannar, fathriru Roqabag, fakku Roqabah, Istiqlal. Semoga!
* Penulis adalah ketua umum PW Ikatan Pelajar Muhammadiyah Sulsel