Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Rekonstruksi Peradaban dalam Bingkai Moralitas, Intelektualitas, dan Spiritualitas

×

Rekonstruksi Peradaban dalam Bingkai Moralitas, Intelektualitas, dan Spiritualitas

Share this article
Ketua Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, Agusliadi

Oleh: Agusliadi

(Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bantaeng)

Berdasarkan fakta sejarah, pemuda selalu menjadi tulang punggung dan penarik gerbong atas setiap proses perubahan sosial yang terjadi di negeri ini. Coba kita buka lembaran sejarah, kebangkitan nasional, sumpah pemuda, perjuangan melawan penjajah, perlawanan terhadap komunis dan prakarsa pemuda dan tentunya termasuk mahasiswa di dalamnya menumbangkan rezim orde baru sebagai cikal bakal lahir reformasi.

Dari semua fakta sejarah tersebut, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa karakter dan identitas sejati pemuda adalah aktor perubahan, agent of change/ creator of change. Dan bahkan kiprah pemuda ini telah diakui secara akademik oleh Benedict Anderson dalam karya berjudul Java in a Time of Revolution (1972).

Namun setelah hampir 72 tahun merdeka, Indonesia masih mengalami kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi) dan peluruhan (distorsi) dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan jika timbangannya kita menggunakan semangat, pemikiran, dan cita – cita nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang diletakkan oleh para pendiri bangsa dalam hal ini pemuda yang hidup pada era revolusi dan awal kemerdekaan itu.

Dengan kata lain bahwa potret kekinian pengakuan akademis Benedict Anderson itu sayangnya mengalami kemunduran. Pemuda hari ini terkesan, telah kehilangan karakter dan identitas sejatinya sebagai agent of change atau creator of change, dengan istilah yang lebih banyak direkomendasikan.

Sebagaimana yang saya kutip dari buku Pimpinan Pusat Muhamadiyah yang berjudul Indonesia Berkemajuan, “Bahwa kehidupan kebangsaan kita masih diwarnai oleh krisi moral dan etika, disertai berbagai paradox dan pengingkaran atas nilai – nilai keutamaan yang selama ini diakui sebagai nilai luhur budaya bangsa.

Kenyataan ini ditunjukkan oleh perilaku elit dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistic, suka menerabas dan beragam tindakan menyimpan lainnya. Sementara itu proses pembodohan, kebohongan public, kecurangan, pengaburan nilai dan bentuk bentuk kezaliman lainnya (tazlim) semakin merajalela ditengah usaha usaha untuk mencerahkan (tanwir) kehidupan bangsa.

Melihat dari perspektif pemuda, fenomena paradoks diatas kita semakin menemukan tingkat paradoks yang ekstrim dalam jati diri sebagian besar pemuda karena tak sedikit ikut menjadi bagian dan bahkan menjadi aktor atau minimal mengkampanyekan, menyebarkan virus, yang ketika kita meminjam dan menderivasi istilah Erich Fromm, seorang pakar psikoanalisis dari Jeman, Pemuda mengalami yang disebut nekrofili. Hari ini pemuda lebih banyak yang mencintai sesuatu yang sesungguhnya tidak punya makna, sesuatu yang dangkal bahkan sesuatu menyimpang.

Menjadi sebuah hipotesa dan bahkan bagi sebagian telah menjadi tesis bahwa globalisasi – sebagai sebuah peradaban era kontemporer dan sekaligus sebagai konsekuensi logis dari revolusi informasi, komunikasi dan transportasi – adalah embrio kausalitas, penyebabnya.

Globalisasi tidak hanya melenyapkan batas territorial antara Negara yang satu dengan Negara yang lainnya, tetapi globalisasi juga telah menghilangkan batas –batas sosial (kehidupan anak – anak dan orang dewasa), batas psikologis (antara kebaikan dan keburukan), batas politik (penguasa dan teroris), batas teologis-spritualis (riya dan keikhlasan) batas ekonomi (pertumbuhan dan kehancuran ekonomi) dan tanpa kecuali batas sosio-intelektual (antara orang idealis dan pragmatis).

Dan yang lebih krusial kehidupan sekarang sebagai efek negative globalisasi layaknya organism hidup, panorama kebudayaan yang kita saksikan seakan – akan tubuh yang tanpa organ, atau setidak- tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organism. Sebagaimana Yasraf Amir Piliang dalam karyanya Dunia yang dilipat (1998), Inilah organism kebudayaan yang di dalamnya organ kepala menjadi dengkul sehingga kita lebih banyak bertindak daripada berpikir.

Organ mata telah menjadi otak, sehingga kini orang lebih banyak menonton daripada merenung, organ mulut telah mengambil alih hati lebih sering melepaskan hasrat daripada mengasah hati, organ perut telah menyatu dengan otak sehingga kepuasan biologis telah menumpulkan otak, organ telinga telah dijajah oleh mulut sehingga kini kita lebih banyak bicara daripada mendengarkan.

Globalisasi juga membawa dampak pada transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia, ibaratnya kisah Doraemon dengan pintu ajaibnya. Ini efek daripada karena ruang telah dikendalikan oleh kekuatan kecepatan elektromagnetik, berbeda dengan era praindustri yang dikendalikan dengan kekuatan kecapatan alamiah dan era industri yang dikendalikan dengan kekuatan kecepatan mekanik mesin.

Jika Michael Foucault telah membuat sebuah tesis bahwa Knowledge is Power, maka kini dan itu sudah menjadi keniscayaan bahwa Speed is Power. Dan tak sedikit yang terbawa arus dan mengalami ekstasi kecepatan. Paket C, Beli Ijazah, Raih Penghargaan dan Prestasi dengan pendekatan politis, Pelagiat, bahkan ada cepat bosan dan lebih parah jika cepat bosan pada pasangan hidupnya suami/istrinya akhirnya selingkuh.. Arus globalisasi ini tak sedikit kehidupan individu maupun kolektif termasuk organisasi yang tergerus, mengalami pergeseran identitas.

Berawal dari ini semua maka Pemuda Muhammadiyah Bantaeng pada momentum bersejarah ini, sebagai pintu legalitas dan terbukanya kran pahala kebaikan (jika kita amanah) kran dosa (jika tidak amanah) membuat sebuah komitmen dan visi sebagaimana tema yang kami angkat “Rekonstruksi Peradaban dalam Bingkai Moralitas, Intelektualitas dan Spritualitas Pemuda Bantaeng yang berkemajuan”.

Saya pribadi selaku ketua Pemuda Muhammadiyah memahami bahwa komitmen, visi dan tema ini memiliki akar ideologis dan teologis dari Muhammadiyah sebagai induknya. Teologi al-maun (Surah Al – Ma’un menuju sejarah diulang – ulang sampai tiga bulan) dan teologi Al-Ashr (Surah Al -Ashr diulang- ulang sampai 8 bulan) dan Al-Ashr inilah yang menjadi spirit Islam Berkemajuan yang menjadi identitas Muhammadiyah dan Kosmopolitanisme sebagai sebuah keniscayaan.

Terhadap peradaban ini tentunya kita perlu melakukan dekonstruksi, membongkar sesuatu yang sudah mapan dan untuk selanjutnya direkonstruksi tentunya dalam tiga bingkai; Moralitas, Intelektualitas dan Spritualitas. Ketiga bingkai penting sebagaimana jika ketika kita merujuk pada konsep profetik kuntowijoyo, yang merupakan derivasi dari Surah Ali – Imran ayat 110, didalamnya dijelaskan Amar Makruf (Humanisasi) dan Nahi munkar (Liberasi) dan Tu’minunabillah (Transendensi) dan jika dilihat dari perspektif kerja termasuk dalam berorganisasi saya sejajarkan dengan 3 AS, Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Kerja Ikhlas sebagai antitesa dari 3 TAS, Kapasitaas, Isi Tas dan Mobilitas.

***

Tulisan ini adalah Pidato Iftitah Ketua PDPM Bantaeng dalam pelantikan PDPM Kabupaten Bantaeng, 25 Maret 2017.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply