Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Rezeki Sudah Tertakar dan Tidak Tertukar

×

Rezeki Sudah Tertakar dan Tidak Tertukar

Share this article

Oleh: Budi Winarto*

KITTAH. CO – Hidup itu sebenarnya adalah sebuah perjalanan dari satu siklus ke siklus lainnya dan dari alam yang satu ke alam lainnya secara teratur. Seperti halnya alam semesta, ia harus selalu menjalani takdirnya. Jika siklus yang dijalani masing-masing perannya terganggu sedikit saja, maka akan menyebabkan masalah atau bahkan bisa menghadirkan bencana. Siklus yang berulang itu menandakan karena adanya keseimbangan.

Keseimbangan dari pengulangan siklus terjadi karena adanya batasan yang membuat ia harus kembali secara teratur. Tatkala pagi tiba, matahari bersinar di ufuk timur, kemudian bergerak menuju ke barat. Sampai sore yang menjadi pembatas, matahari pun hilang perlahan dan  rembulan akan datang menjemput malam, pun sebaliknya.

Makhluk hidup juga tidak jauh dari siklus itu. Ia dilahirkan dan suatu saat akan mengalami kematian. Yang ada akan digantikan yang baru dan yang baru akan digantikan yang lebih baru lagi. Demikianlah kejadian yang akan terus berulang itu.

Tidak semua makhluk hidup harus menghadapi siklusnya dengan biasa-biasa saja. Ada makhluk hidup yang disebut manusia harus menjalankan siklus yang berbeda dengan makhluk lainnya. Kalau makhluk hidup biasa, ia berawal dari tidak ada menjadi ada, kemudian kembali menjadi tiada.

Sedangkan makhluk hidup yang disebut manusia itu dari tidak ada menjadi ada (di alam kandungan dan terlahir di dunia), kemudian tidak ada (kembali ke alam akhirat) untuk keberadaannya. Artinya ketiadaan (manusia) adalah keberadaannya di alam lain karena mereka harus mempertangungjawabkan segala amal perbuatan saat di dunia. Mereka akan hidup dengan amalnya masing-masing dan dengan segala batas baik dan buruknya. Saat mereka hidup di dunia tidak menghiraukan batasan dari apa yang mereka kerjakan, maka celakalah mereka.

Pada  saat mereka masih diberikan kesempatan menghirup udara, lalai akan perintah dan larangan agama, ketika nyawa meninggalkannya, celakalah mereka. Ketika sehat mereka semena-mena dengan jasmaninya, datang masa sakitnya, mereka akan menyesal.

Pada masa muda, mereka berfoya-foya, menghamburkan waktu untuk bersenang-senang dan pada masa tuanya, hilanglah kebahagiaan. Ketika mereka lapang, lupa akan amal dan menggali pengalaman, dan ketika waktu sempitnya datang, mereka hanya memiliki angan-angan.

Pada saat mereka mengejar kemewahan dunia, berbagai cara mereka kerjakan, tak peduli halal dan haram untuk mendapatkan uang, padahal kehalalan itu akan menyelamatkannya dan sebaliknya dari yang haram itu, membuat mereka merana di dunia, terutama di akhirat kelak. Itulah beberapa contoh batasan yang harus kita kenal.

Begitu pun kemewahan, sumber secara fisik kemewahan itu adalah harta terutama berbentuk uang. Dengan uang kita bisa membeli apa saja. Meskipun uang bukanlah makhluk, namun ia memiliki kekuatan yang signifikan. Uang bukanlah segalanya, tetapi dengan uang manusia bisa melakukan segalanya.

Uang bisa menggerakkan apa saja yang diinginkan baik itu jabatan, kekuasaan, kemewahan, kecantikan, ketampanan, bahkan ketakwaan. Kalau mereka memilki uang, maka semua mudah dikendalikan. Tinggal mau pilih cara yang bagaimana, untuk kebaikan atau malah keburukan.

Uang memang bisa untuk segalanya, tetapi uang bukanlah segala-galanya. Misalnya, satu hal yang tidak bisa dibeli dengan uang yaitu kesehatan. Uang tidak akan bisa membeli kesehatan seseorang, maka di hadapan kata sehat, uang tidak akan pernah ada artinya. Seberapa besar uang yang harus dikeluarkan untuk kesembuhan, pasti orang akan melakukan, kecuali kata menyerah.

Begitu dahsyatnya Allah memberikan batasannya pada benda ini. Hal ini semata-mata sebagai wujud kekuasaan-Nya agar kita sebagai hamba tidak memberikan perhatian yang terlalu berlebihan. Allah hanya membutuhkan perhatian kita terhadap amal saleh yang kita lakukan.

Uang memiliki pengaruh yang sangat kuat, tetapi sebagai manusia harus mempertanggungjawabkannya di yaumil hisab nanti. Manusia akan ditanya ibadah dan ketaatan mereka, perilaku dan akhlaknya, serta tanggung jawabnya. Pada saat manusia harus mempertanggungjawabkan hartanya, mereka akan di tanya dua perkara, bagaimana mereka mendapatkan uang tersebut dan ke mana uang itu dibelanjakan.

Uang itu adalah salah satu bentuk rezeki yang harus kita cari. Rezeki itu tertakar dan tidak akan pernah tertukar. Meski kita kerja siang malam, tanpa memedulikan perintah dan larangan, kalau rezeki kita satu gelas, tidak akan menjadi dua atau tiga gelas.

Begitu pun pada saat kita bekerja keras dan banting tulang, datang waktu salat, kemudian kita berhenti sejenak untuk menunaikan ibadah salat sebagai kewajiban, rezeki kita juga sama dengan yang sudah ditakar. Cuma bedanya ada nilai keberkahan di dalamnya. Dan, nilai berkah itulah yang akan bekerja untuk mencukupi segalak ebutuhan karena ada rasa syukur di dalamnya.

Rezeki semut tidak akan tertukar dengan rezeki gajah. Masing-masing sudah ada takarannya, untuk siapa ia tercurah. Andai kata rezeki semut dan gajah itu tertukar pastilah membawa susah. Begitulah logika siklus rezeki pada hidup kita. Kita tidak boleh ragu atas sesuatu yang sudah ditetapkan.

Firman Allah mengingatkan, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz), (QS. Hud: 6)

Hidup ini sejatinya adalah penghambaan, maka kemudikanlah jasmani dan ruhani kita untuk menuju keridaan-Nya agar mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan di dunia lebih-lebih di akhirat.

Wallahu a’lam bishawab

 

*Penulis yang dilahirkan di Kabupaten Malang dan sekarang tinggal di Kabupaten Mojokerto-Jawa Timur.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply