Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniSastra

Rindu Di Langit-Langit Cinta

×

Rindu Di Langit-Langit Cinta

Share this article

images
Oleh : Saifuddin al Mughniy*

Suatu senja aku membuang lelahku di sudut kota, jauh dari “urai” angin pegunungan bawakaraeng, sepi dari kicauan burung di puncak Latimojong, namun sembarawut sampah di kotaku, ruas-ruas jalan yang kulalui penuh “teriakan” bala pengemudi jalanan yang tak mengenal batas dan aturan. Para penghuni kota ini, begitu sibuk tanpa mengenal orang-orang di sekitarnya, mereka yang mapan berteduh di café-café, warkop dan tempat destinasi yang menyejukkan. Sementara pengayuh becak yang terus bergelayut dengan waktu, terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, bagiku, mereka itu adalah pemilik masa lalu yang terpental karena masa depan yang timpang….ya timpang begitu celotehku. Walau sedikit muak dengan “pandanganku” sendiri, rasa iba yang membuncah menjadi berontak…..menepis kegaulauanku dan rasa protesku yang berlebihan. Ya, narasi yang memenuhi rongga-rongga kehidupan hampir bernada “hasut”, fitnah, kebencian, dendam,…agama tak luput dari cercaan atau sebaliknya agama yang ter-cerca, ya, tanyaku, mungkin begitulah politik yang menyisakan “dendam” dan kekejaman.

Tak seberapa jauh, akupun merenung sambil menatap bayang-bayang awan yang melintasi kebiruan langit,..terbawa atau bergeser menepi hingga semakin jauh dari pandangan. Sore kala itu, yang sudah menjadi kebiasaan “manusia kota” bergegas menuju tepi pantai,…berfoto dan berbagi kegembiraan bersama keluarga, pedagang asongan berlalu tanpa tawa dan senyum,…gerutu bagiku, bahwa bukan mereka tanpa bahagia, namun ia telah “menghukum” dirinya dengan tak menerima takdir ataukah karena batas-batas kasih sayang dan cinta yang tak diterimanya,….sedih menyelimuti, menghardik rasaku atas kehidupan yang miris di kotaku.

Ya, sudahlah, aku pun tak larut dari “realm” yang aku lihat dan aku saksikan, mungkin karena perasaanku saja yang berlebihan tentang itu. Sekali lagi sudahlah…!!!

Pilihanku menepi bukan karena ingin sendiri, dalam perjalanan waktu tentu menyisakan “masa” dimana itu yang kemudian disebut sejarah. Kisah sedih beberapa panglima yang wafat di medan perang menoreh luka di “permaisuri”, betapa tidak sedikit para petarung yang gugur di gelanggang demi sebuah kehormatan, film kolosal “Ben-Hur” pertarungan atas nama kehormatan dan cinta,…

Tak terasa bagiku, angin sore telah menampar wajahku, terajuk kerinduan yang mendalam atas nama cinta, seperti balada dan surat-surat cinta Khalil Gibran, seperti senandung cinta Jalaluddin Rumi, seperti perkenalan Sartre dengan Simone De Beauvior (mahasiswa cantik nan cerdas berfilsafat), hikayat Tenggelamnya Kapal Vanderwick tetes kerinduan Zainuddin dengan Hayati, …sang Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Azzahra yang rela hidup miskin demi sebuah pengabdian dan kehormatan…

Ya, jedah kehidupan ini sesungguhnya telah menggulung “perisai” dan makna cinta yang sesungguhnya, bahkan di beberapa kata bijak ada ungkapan “memilih wanita karena cinta adalah keharusan” dan memilih cinta karena wanita adalah egosime, tapi bagiku pilihan diksi itu tidaklah cukup mewakili kita untuk mencintai bukan..?? sebab cinta adalah anugerah dari Tuhan yang dimiliki tanpa harus di bayar, karena memang cinta yang tak ter(beli) yang diberikan Tuhan untuk manusia agar ia mampu saling mencintai. Cinta, telah melukai pe(rasa)an disetiap orang bukan karena cinta itu jahat, tetapi kita yang seringkali “melukai” seseorang atas nama cinta.

Cinta yang dirindukan, cinta yang dibanggakan tidaklah hadir tanpa dengan doa,…ya, karena doa adalah syair terindah untuk sang pemilik cinta. Betapa indahnya “cinta” itu menghadirkan Tuhan di dalamnya. Dalam teori Spinoza, dikatakan Tuhan+Alam (kosmos) = manusia. Artinya, manusia sebagai khalifah telah bertindak atas nama Tuhan pada setiap dirinya, maka sejatinya men(cinta)I juga adalah bagian yang tak terpisah dari hakekat ke-Tuhan-an, …

Dan dilangit-langit cinta itu tergambar doa kita,
Di langit-langit cinta itu ada kerinduan,
Di langit-langit cinta itu ada rona kehidupan,
Di langit-langit cinta tergantung sejuta pesona,…ya pesona akan keabadian,
Hingga pada akhirnya, kita tak akan mungkin menyerah….
Sebab CINTA harus diraih,
Cinta harus dipeluk,…

TUHAN, ku-merindu di kematian cintaMU.

*Penulis di Teras Aufklarung

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL