Oleh : Dr. Yustin Paisal, MT
Pembicaraan tentang persoalan kaitan sains dan agama bukanlah merupakan hal yang baru, namun merupakan apresiasi manusia sejak awal keberadaannya di permukaan bumi ini, baik disadarinya atau tidak untuk mencermati fenomena alamiah dan diri kemanusiaannya, dalam rangka mempertahankan eksistensinya. Keberadaan sains dalam bentuk yang sederhana hingga dalam bentuk yang kompleks pada zaman ini, merupakan hasil evolusi peradaban dan pemikiran manusia yang pararel dalam cakupan materialisme dan spiritualisme manusia, yang mana saling mempengaruhi secara intens sepanjang evolusi peradaban manusia dan alam.
Pertarungan implisit dan eksplisit dalam bentuk pemikiran hingga berwujud pada aktualisasi tindakan-tindakan fisik maupun psikis, pada akhirnya memberi pelajaran yang berharga bagi manusia itu sendiri bahwa hidup ini adalah perjuangan untuk mempertahankan suatu nilai yang diyakininya. Bahwa, dengan kesadaran sebagai entitas hidup, manusia adalah makhluk merdeka yang memahami nilai kediriannya, menolak segala bentuk perbudakan terhadap perikehidupannya, sebab perbudakan adalah bertentangan dengan unsur kefitrahan manusia. Walaupun dalam kenyataan sejarah terdapat berbagai bentuk kejadian memilukan yang mengoyak arti kemanusian, pada hakikatnya itu bukanlah muncul dari wujud kemanusiaan sejati.
Penindasan secara individual hingga secara massal, lintas negara, yang pernah terjadi di berbagai belahan bumi dan entah apakah masih terjadi di era ini dan akan datang, membuktikan bahwa manusia memiliki potensi-potensi kejiwaan tertentu, apakah menuntunnya kearah kemanusiaan sejati ataukah justru menuntunnya ke naluri kebinatangan, kebiadaban, kehancuran, serta kebinasaan suatu peradaban hingga pembersihan etnis. Oleh karena itu, apa makna makhluk yang merdeka dalam arti sesungguhnya, ditengah kemajuan peradaban kemanusiaan dan sains pada abad ini? Setidaknya, Obama, mantan Presiden Amerika, telah mendefinisikan secara aksiologi, sewaktu berkunjung ke Masjid Istiqlal, mengatakan bahwa nama masjid Istiqlal ini lebih agung dari pada kemegahan bangunanannya di Jantung Kota Jakarta, Istiqlal mengandung arti pembebasan dari penjajahan, yakni kemerdekaan (Pidato kenegaraan disiarkan langsung oleh TV-One, November 2010). Kemerdekaan yang diinginkan oleh umat manusia secara universal adalah kemerdekaan dari perbudakan yang mana para kolonialis dan imperialis telah menodainya. Mereka telah memanfaatkan kemajuan sains untuk mendukung perbudakan manusia atas manusia yang terbungkus dengan atas nama suatu peradaban suatu bangsa tertentu.
Apa yang terjadi ketika Hitler berkuasa dengan peristiwa Holocous dan apa yang terjadi di awal abad ke-21 dengan peristiwa di Serbia berupa pembersihan etnis, adalah bentuk-bentuk pemerkosaan terhadap sains!. Padahal, para saintis yang berpandangan holistik-kemanusiaan berteriak keras menentang penyelewengan itu seperti teriakan Albert Einstein!. Bahwa dalam pertemuan di suatu Negara Eropa dia mengatakan bahwa kalian mengundang saya untuk memperingati kemajuan sains namun di sisi lain saya bersedih sebab kehancuran dunia sedikit lagi akanterjadi! (Murtadha Mutahhari, 2007). Apa yang terjadi setelah Einstein berbicara, beberapa tahun kemudian Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak digoncang oleh bom atom hasil penemuan ilmuwan cerdas tersebut yang telah diselewengkan oleh penguasa!Mayat bergeiimpangan! Apakah ini kemestian sejarah?Bagaimana peradaban Sains? Bagaimana peradaban Agama?.
Hal ini tidaklah begitu sulit untuk dipahami dan dijelaskan lebih lanjut bahwa keberadaan manusia yang mana telah berjumlah milyaran di abad ini, menunjukkan bahwa, manusia dengan segenap keanekaragaman dalam pandangan pengetahuan antara lain: sains, sosiologi, antropologi, ideologi, agama, serta falsafah hidup yang dilakoninya, baik yang dipahami ataupun tidak dipahami dengan benar menunjukkan suatu eksistensi kemanusiaan dengan segenap keanekaragaman cara pandang dan perikehidupannya dari setiap individu hingga manusia-manusia dalam satu negara atau satu benua telah memelihara suatu potensi kemanusiaan untuk tetap eksis di permukaan bumi sebagai hal yang fitrah pararel dengan evolusi manusia. Oleh karena itulah, suatu pemikiran yang relevan untuk diajukan kemudian adalah bahwa realitas sains dan agama secara interpersonal merupakan dua substansi kemanusiaan makhluk yang bernama manusia (Murtadha Mutahhari, 2007).
Dengan demikian, secara spesifik juga telah terjadi interaksi dan apresiasi agama dan sains yang eksis dalam perikehidupan umat manusia hingga abad ke 21 ini. Dibalik berbagai temuan dalam bidang sains sederhanapun, hingga meninggalkan bangunan prasejarah dan setelahnya, merupakan hasil aktualisasi pencerahan kemanusiaan dan sainstifik, baik secara tacit knowledge maupun explicit knowledge (Ron Sancez), pararel dengan peradaban pengetahuan metafisis kemanusiaan yang tetap eksis selama berabad-abad lamanya. Menurut Karl Popper, ilmu pengetahuan senantiasa mengalami falsifikasi pada metode dan atau obyek ilmu pengetahuan (Michael,et.al,2001; Surjani, W, 2010) untuk kemajuan peradaban kemanusiaan dalam arti luas.
Lisa Bortolitti memberikan suatu pandangan yang menarik tentang sains dan metafisik. Bahwa, ada suatu nilai yang berharga di mana ilmu-ilmu alam dan metafisika keduanya ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dari alam. Sangatlah menarik untuk merefleksikan sejarah tentang bagaimana hubungan antara ilmu pengetahuan dan metafisika, karena para pemikir sangat memberikan kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, diantaranya seperti Isaac Newton atau Albert Einstein, yang mana telah mengekspresikan suatu pandangan metafisik dan bekerja di bawah asumsi metafisik eksplisit (Lisa Bortolotti, 2008).
Sesuai pandangan Lisa Bortolitti, maka kemajuan peradaban kemanusiaan itu bukan hanya ditunjang oleh yang bersifat mekanikal saja namun juga ditopang oleh faktor yang lebih instrinsik dalam pemikiran manusia pada jamannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam pandangan personalistik, secara substantif kesatuan tubuh dan jiwa manusia mencakup seluruh hakikat hidup manusia yang mana manusia menjadi manusiawi karena dijiwai secara rohani (Thomas Aquinas, 1274). Beberapa pandangan yang menguatkan tentang hal ini antara lain dari Abraham Maslow bahwa manusia merupakan makhluk multidimensi yang hanya bisa dipahami dengan tepat dan benar melalui sains yang interpersonal, atau intersubyektif (Abraham Maslow,1966).
Walaupun Abraham Maslow hanya mendasari pada presfektif sains tentang manusia, namun secara implisit terkandung pandangan holistik-metafisik yang mana oleh Murtadha Mutahhari mengemukakan pandangannya bahwa manusia memiliki eksistensi metafisis berupa keyakinan keagamaan yang fitri pada setiap manusia baik manusia itu menolaknya atau menerimanya. Potensi Ini oleh Erich Fromm sebagai sesuatu yang substansial bahwa manusia tidak ada yang tidak membutuhkan agama (Murtadha Mutahhari, 2007).