Oleh : Dr. Yustin Paisal, MT
KHITTAH.co – Sebagai pembuka tulisan ini, ada baiknya saya mengemukakan pandangan William James seorang filosof visioner yang dapat membaca masa lalu dan memproyeksikan masa depan (Seymour, B.S.,1919 – ….dalam Joy A. Palmer, 2010), seorang filosof berkebangsaan Amerika, psikolog abad 20. William James berargumen bahwa dunia yang ditafsirkan secara keagamaan bukanlah dunia yang bercorak materialistis. Ia mempunyai ungkapan lain, suatu susunan alami yang berbeda dibeberapa tempat dari apa yang termasuk dalam dunia materialistik. Bahwa dalam dunia materialistik agama dapat memberi penjelasan universal tentang fenomena alam dan tujuan peradaban kemanusiaan.
Dari sini perlu pendalaman secara spesifik, yang merupakan usaha menemukan bagaimana kaitan sains dan agama, sebagai sesuatu yang telah menjadi realitas bagi kehidupan manusia. Menurut Pierre, dalam konsep konfirmasi (John F, Haught, 1955 dalam Zainal Abidin, 2005) tidak ada bidang atau tahap di mana sains dan wahyu (agama) saling menggusur atau menjadikannya menjadi sesuatu yang hampa ataupun sia-sia antara satu dan lainnya. Baik sains maupun wahyu, sama-sama tidak dapat berfungsi selain dari ikhtiar yang mempertemukan keduanya. Kearah itu terbukalah pemecahan secara paripurna terhadap pertentangan sains dan wahyu (Louis Leahy, 2006).
Pandangan yang lain lebih menitikberatkan pada konsep penyempurnaan, filosof berkebangsaan Iran, Murtadha Mutahhari berargumen secara panjang lebar bahwa sains memberi kita kekuatan dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan kehangatan. Sains menciptakan teknologi, dan keimanan menciptakan tujuan.Sains memberi kita momentum, dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti kemampuan, dan keimanan adalah kehendak baik.
Sains menunjukkan kepada kita apa yang ada di sana, sementara keimanan mengilhamkan kita tentang apa yang mesti kita kerjakan. Sains adalah revolusi eksplisit, dan keimanan adalah revolusi implisit. Sains menjadikan dunia tampak ramah bagi kita, sedangkan keimanan mengungkit ruh manusia. Sains memperluas manusia secara horizontal, dan keimanan meningkatkannya secara vertikal. Sains membentuk kembali alam, dan keimanan mencetak kemanusiaan sejati. Baik sains dan keimanan memberi kekuatan kepada kemanusiaan.
Yang diberikan oleh sains kepada manusia adalah kekuatan lepas, tetapi keimanan memberikan kekuatan yang kukuh. Baik keimanan maupun sains berarti keindahan. Sains adalah keindahan kebijaksanaan, dan keimanan adalah ruh. Sains dan keimanan memberi manusia kepastian atau penawar bagi kegelisahan, kesepian, ketidakberdayaan, absurditas. Sains menyelaraskan manusia dengan sang diri (Murtadha Mutahhari, 2007).
Uraian William James,Pierre,Louis Leahy,dan Murtadha Mutahhari di atas secara spesifik menjelaskan secara definitif disertai dengan perbandingan-perbandingan yang bermuara pada seperti apa struktur kaitan antara sains dan keimanan (dasar dalam keagamaan). Bahwa semua ini mengandung makna yang sangat mendalam, tentang bagaimana perkembangan sains dan agama sepanjang sejarah yang mempertemukan umat manusia antar lintas negara dan benua bahkan lintas peradaban umat beragama.
Bahwa pengetahuan yang diperoleh itu, jika berdasar pada konsep penyempurnaan pengetahuan sains dan keimanan, secara aksiologi, memberikan warna bagi perikehidupan manusia yang mendalaminya; mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan yang membedakannya dengan orang yang mengabaikannya; memudahkan dalam perikehidupannya sehari – hari bahkan memudahkannya untuk melakukan pemaknaan yang kaya terhadap sumber kehidupan ; dapat membuka pintu-pintu kesulitan hidup menuju kemudahan hidup. Jejak-jejak aktivitas berupa temuan menjadi sumber pencerahan bagi temuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan menjadi sumber rujukan bagi kemanusiaan baik pada jamannya maupun setelah kepergiannya.
Setidaknya, sejarah sebagai saksi atas apa yang menjadi pernyataan di atas. Bukankah sudah berapa banyak ilmuwan dan filsuf masa lalu, baik yang mendalami sains maupun yang mendalami agama, bahkan yang mendalami kedua-duanya, yang telah mengorbankan pikiran, waktu, dan tenaganya bahkan dirinya untuk kemanusiaan sejati ?Yang mana, secara instrinsik mencakup sains dalam arti luas dan keimanan dalam arti substantif metafisik, dalam harapan dan cita-cita mulia para ilmuwan tersebut.
Banyak diantara mereka juga merupakan tokoh penganut keimanan dalam keyakinan keagamaan disamping penguasaan sains antara lain: Ibnu Sina, Al Kindi, Al Farghani, Al-Khwarizmi, Al-Haitham, Al-razi, dan Al-Biruni.Mereka dikenal bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Eropa dan Amerika hingga abad ini sebagai filosof, ulama, dan saintifik.Pengetahuan yang mereka temukan banyak yang berkembang di Eropa sejak abad ke-9 masehi.
Oleh karena itu, tidak sedikit diantara mereka yang menjadikan pengetahuan sains dan keimanan sebagai hal yang menyatu dalam keyakinan keberagamaan mereka sehari-hari, baik yang mengaku pengikut umat kristiani, Islam, Hindu, Budha, maupun Kong-Hu-Cu. Bahwa mereka meyakini Tuhan sebagai pencipta Alam semesta telah memberikan fondasi berupa potensi kemanusiaan demi kemanusiaan dan alam semesta, bukan menjadikan manusia terpuruk dalam kehancuran namun pada hakekatnya demi kelangsungan hidup yang bersahaja dengan bagaimana memaknai potensi kemanusiaan yang telah diberikan oleh Maha Pencipta untuk kebajikan dan kearifan, baik untuk kemanusiaan maupun untuk alam semesta.