Oleh: Syahrul Al Faraby (Aktivis JIMM Takalar)
KHITTAH.CO – Saya bangun sekitar pukul tujuh pagi tadi dengan perasaan yang cerah dan penuh semangat hidup. Apakah doa-doa bermetamorfosis jadi ‘sebuah jawaban’ dari Tuhan atau Tuhan memang sedang menebar kasih-Nya yang paling mulia pada Ramadhan pagi ini (dan begitu terlambat saya sadari). Saya tak tahu. Namun pagi ini, dua narasi yang datang ketika pagi beranjak bergegas bisa jadi sebuah berkah yang melimpah.
Pertama, saya mendapat kiriman Email esai singkat dari Reza A.A Wattimena, setelah sebelumnya hampir menghilang selama Covid19. Hari ini dia datang dengan judul ‘Makna Kehidupan’. Memang Wattimena adalah penulis yang sangat produktif menulis esai filsafat. Namun, bagi saya, esainya bukan mengajak kita berpikir lebih dalam. Tulisan Wattimena mirip narasi filosofis yang menyembuhkan. “Kehidupan itu bukan bersenang-senang terus menerus. Kehidupan itu juga bukan mabuk terus menerus. Kehidupan itu bukanlah kenikmatan tanpa batas. Kehidupan adalah tarian antara nestapa dan bahagia yang datang bergantian. Rayakanlah itu semua”, katanya dalam sunyi subuh tadi.
Wattimena adalah penulis produktif yang sebagian besar bertema Filsafat. Beliau mengambil gelar Doktornya dalam bidang Filsafat di Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ. München, Jerman. Saya tak punya bukunya, tapi hampir rutin Membaca tulisan – tulisannya berupa esai singkat dan sederhana dalam Rumah Filsafat.
Pagi ini, tulisan beliau masuk lagi (dan ini yang cukup membuat saya merasa mendapat berkah), setelah semalam tadi suntuk dan memilih mengerjakan tulisan tentang ‘Implikasi Filosofis Cyberspace’ yang kebetulan hendak mengulas terkait hilangnya ‘makna’ selama menjalani protokol kesehatan untuk dirumah saja. Dan Wattimena bisa dibilang melengkapi kepingan keresahan itu dengan mengirim tulisan perihal ‘Makna Kehidupan’. Semoga saya bisa merampungkan tulisan saya hari ini.
Hal kedua yang membuat saya kembali optimis selama masa physical distancing ini adalah munculnya tulisan – tulisan berupa pemikiran dari para dokter dan petugas – petugas kesehatan di Indonesia. Anda yang ingin membaca kasus COVID-19 dari sudut pandang berbeda bisa mengakses fans page Genesis Project yang dibagikan Dina Y Sulaiman tadi pagi. Halaman facebook itu berisi beberapa tulisan (disiplin pemikiran) dari beberapa orang dokter atau tenaga kesehatan terkait pandemi ini.
Melihat melalui kacamata dari seorang dokter atau petugas kesehatan menurut saya jauh lebih objektif dibandingkan melihat dari kacamata pemerintah (politisi atau birokrat). Pandangan seorang dokter dan petugas kesehatan beberapa langkah lebih jauh kedepan dibandingkan pemerintah. Mereka punya modal reference yang kuat dan pengalaman yang sangat cukup ketika bicara ‘mikroba’ misalnya. Mereka lebih tahu prioritas ataupun langkah – langkah teknis penanganan kesehatan dibandingkan yang lain. Sependek pengetahuan saya, ciri paling saintifik tentu saja dimiliki oleh para petugas kesehatan ini.
Selama Physical Distancing ini, saya cukup rutin mengikuti berbagai narasi – narasi (mungkin bisa disebut ramalan) dari akhir kasus COVID-19 ini. Namun narasi yang muncul tentu saja kebanyakan dari para politisi, intelektual, agamawan hingga analisis abal – abal para netizen. Dan bagi saya, tentu saja semua itu adalah subjektifitas dalam ‘terawang’ hasil pemikiran. Bahasa paling sederhana adalah kita hanya bisa meraba – raba atau menerka – nerka atau melakukan prediksi untuk sebuah kemungkinan – kemungkinan kecil terkait Covid19 ini.
Pemikiran atau narasi dari seorang dokter sangat jarang kita (atau mungkin hanya saya sendiri) baca. “From Lockdown to Slowdown” oleh dr. Agni B Sugiyatmo, Sp. PD, “Corupsi Wabah” oleh dr. Midi, Sp. KK, ataupun “Hidup Berdampingan dengan Mikrobiota” tulisan kedua dr. Agni merupakan tulisan ringan yang memberi pencerahan dan pengharapan. Memang, narasi yang mendominasi masyarakat kita selama ini adalah narasi politik, ekonomi, sosial ataupun agama. Suara – suara dari para dokter ataupun petugas kesehatan yang bersifat saintifik menjadi tenggelam oleh dominasi narasi yang lain. Pada akhirnya, hanya sains dalam narasi para dokter ataupun sainstis yang bisa membawa kita melalui wabah hari ini dan mungkin wabah wabah lain di masa depan.
Problem kita di Indonesia mungkin dominannya para politisi mengambil panggung dan menyihir masyarakat dengan janji ataupun retorika. Lihatlah bagaimana mereka tampil pada saat pandemi ini. Dibagian dunia lain, misalnya mengutip Yuval Noah Harari, kita telah melihat banyak politisi populis menyerang sains, mengatakan bahwa para ilmuwan adalah segelintir elit terpencil yang terputus dari masyarakat, mengatakan bahwa hal-hal seperti perubahan iklim hanya bohong belaka. Tetapi pada saat krisis di seluruh dunia, kita melihat bahwa kebanyakan orang lebih percaya sains daripada sumber lainnya.
Sudah waktunya para Sains melalui tangan – tangan para dokter, petugas kesehatan, hingga mungkin mahasiswa (kedokteran) untuk menunjukkan langkah paling progressive dan aktual perihal dunia mereka. Dan itu bisa dimulai dari kultur menulis. Menulis apa saja tentang pikiran – pikiran mereka terkait Sains Yang Mencerahkan.
Aminn.