Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniTabligh

Sakralisasi Khutbah, Hindari Ambil Gambar

×

Sakralisasi Khutbah, Hindari Ambil Gambar

Share this article

                                                      Foto penulis bersama Hidir Fitrah Siagian

Oleh: M. Nasir al-Faqir
(Dosen Syariah II Fakultas Agama Islam UIM Makassar)

KHITTAH.co- Dalam khazanah Islam, ada banyak khutbah, diantaranya khutbah jumat, idul fitri, idul adha, al khusuf, al kusuf, al istisqa dan sebagainya. Teologi “fas tami’uu lahuu wa anshithuu” mesti terdepan. Karena inti materi khutbah akan diperoleh jika kita berkonsentrasi pada khitabah sang khatib.

Untuk persoalan, apakah boleh berfoto mengabadikan momen kala khutbah id dilaksanakan? Menurut hemat saya, jika itu hal tersebut merupakan hajat seperti seorang wartawan, pengurus mesjid, atau sejenisnya saya rasa itu boleh karena bagian dari hifdzuddin.

Namun, apakah berselfie, atau memotret diri dan beberapa orang dalam situasi khutbah id dibacakan diperbolehkan? Menurut hemat saya, berangkat dari qiyas dalalah, menyamakan khutbah jumat dengan khutbah id, karena ada kesamaan shalat, rukun dan syarat, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Amalan khutbah bisa gugur. Bukankah berselfie dapat dilakukan usai id? Apalagi khutbah adalah rangkaian dari pada shalat yang menyertainya.

Terkait qiyas, imam Syafi’i berkata, “Setiap urusan yang menimpa seorang muslim pastilah ada penjelasan tentang hukumnya atau petunjuk yang menunjukkan jalan kebenaran tentangnya. Karenanya, bila telah ditemukan hukum khusus tentang masalahnya, maka ia wajib untuk mengamalkanya. Namun bila tidak ditemukan hukum khusus tentang masalahnya, maka ia wajib mencari petunjuk menuju jalan kebenaran yaitu dengan berijtihad. Dan yang dimaksud dengan ijtihad ialah qiyas.” (al-Risalah, h. 477).

Adapun dalil kesakralan khutbah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat (tongkat selfie, misalnya), maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim)

Anjuran menyimak khutbah Idul Fitri juga dikuatkan oleh hadits dari Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan:

أُمِرْنَا أَنْ نَخْرُجَ فَنُخْرِجَ الحُيَّضَ، وَالعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الخُدُورِ فَأَمَّا الحُيَّضُ؛ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ، وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلْنَ مُصَلَّاهُمْ

Kami diperintahkan untuk keluar (ketika hari raya), maka kamipun mengajak keluar para wanita haid, para gadis, dan wanita pingitan. Adapun para wanita haid, mereka menyaksikan kegiatan kaum muslimin dan khutbah mereka, dan menjauhi tempat shalat. (HR. Bukhari & Muslim).

Jika khutbah jumat dihadiri oleh para lelaki setempat, bagaimana dengan khutbah id yang oleh Nabi dianjurkan untuk disimak, bahkan oleh wanita haid sekalipun.?

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply