Oleh: Mukhtar Tompo
Anggota Delegasi Indonesia dalam Konferensi Konvensi Minamata Jenewa/ Anggota Komisi VII DPR RI
KHITTAH.co, Jenewa – Pada 24-29 September 2017 berlangsung Konferensi Para Pihak (Conference of Parties/COP)-I Konvensi Minamata di Jenewa. Indonesia resmi meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury. Saya dan beberapa kolega di Komisi VII (Pak Hadi Mulyadi, Pak Agus, Pak Kurtubi) adalah perwakilan DPR RI, bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemenko Kemaritiman, dan Kementerian Ekonomi hadir dalam Konferensi tersebut, untuk mempertegas dukungan Pemerintah Indonesia terhadap Konvensi Minamata.
Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya seperti amendemen terhadap konstitusi melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional di mana suatu Negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional.
Ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan. Oleh karenanya patut saya apresiasi Ibu Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK yang menyegerakan ratifikasi sebagai respon serius yang menentukan masa depan manusia dan lingkungan hidup.
Konvensi Minamata ini meliputi 35 Pasal dan lima lampiran terbagi dalam empat bagian utama. Pertama, pengaturan operasional, memuat kewajiban mengurangi emisi dan lepasan merkuri dan senyawa merkuri antropogenik ke media lingkungan. Kedua, dukungan bagi negara pihak dalam sumber pendanaan, peningkatan kapasitas, bantuan teknis dan alih teknologi, pelaksanaan dan komite kepatuhan. Ketiga, informasi dan peningkatan kesadaran termasuk aksi untuk mengurangi dampak merkuri. Keempat, pengaturan administrasi lain.
Substansi Konvensi Minamata mencakup muatan pokok meliputi berbagai pengaturan dari hulu hingga hilir, antara lain, sumber pasokan dan perdagangan merkuri, pembatasan produksi pada impor dan ekspor produk mengandung merkuri, perlindungan populasi manusia berisiko tercemar, dan lain-lain.
Sejarah Konvensi Minamata
Krisis kesehatan masyarakat umum yang diakibatkan oleh keracunan merkuri, seperti penyakit Minamata dan penyakit Niigata Minamata, telah membawa masalah ini kepada manusia. Mencuat Pada tahun 1972, dalam Konferensi Stockholm yang fokus membahas isu lingkungan dan manusia. Mereka menyaksikan seorang siswa Jepang, Shinobu Sakamoto cacat akibat keracunan metilmerkuri sejak dalam kandungan.
Peristiwa ini yang menjadi sejarah terbentuknya United Nations Environment Programme (UNEP). Pada 20 Februari 2009, Konsul Pemerintahan yang ke – 25 UNEP menghasilkan keputusan untuk memulai langkah internasional dalam mengelola merkuri secara efektif, efisien, dan koheren. Komite Negosiasi Antar Pemerintah (INC) didirikan dan dipimpin oleh Fernando Lugris dari Uruguay dan didukung oleh Cabang Kimia dan Divisi Teknologi, Industri, dan Ekonomi UNEP.
INC telah mendirikan lima pertemuan untuk mendiskusikan dan menegosiasikan persetujuan global mengenai merkuri. INC 1 berlangsung pada tgl 7 – 11 Juni 2010 di Stockholm – Swedia, INC II pd tgl 24 – 28 Januari 2011 di Chiba – Jepang, INC III pd tgl 31 Oktober – 4 November 2011 di Nairobi – Kenya, INC IV tgl 27 Juni – 2 Juli 2012 di Punta del Este – Uruguay, INC V tgl 13 – 18 Januari 2013 di Geneva, Swiss.
Pada 19 Januari 2013, negosiasi menghasilkan 147 pemerintahan menyetujui draft teks konvensi. Konvensi diadopsi dan dibuka untuk ditanda tangani pada tanggal 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang, yang didahului oleh pertemuan pendahuluan pada tanggal 7-8 Oktober 2013. Ada 86 negara dan Uni Eropa telah menandatangani konvensi pada hari pertama tahun itu, Indonesia Salah satunya.
Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menandatangani Konvensi Minamata tahun 2013, yang merupakan upaya penanggulangan dampak merkuri sebagai pencemar global dan untuk tidak mengulangi tragedi kemanusian akibat pencemaran merkuri di Teluk Minamata, Jepang.
Belajar dari tragedi pencemaran dari merkuri di Minamata, Indonesia menaruh perhatian yang sangat serius terhadap penggunaan merkuri, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya lantang menyampaikan itu pada tahun 2013 sejak Penandatanganan Konvensi Minamata dilakukan oleh delegasi dari 121 negara di Kumamoto, Jepang.
Kini KLHK kembali menyeriusi persoalan ini. Bagi saya, Indonesia lambat memberi respon pasca tahun 2013, karena hambatan regulasi dan juga pergolakan politik yang dinamis. Seyogyanya sejak tahun 2013, kita melakukan ratifikasi sebagai jalan keluar atas berbagai peraturan yang mengikat supaya kita memiliki hak suara penuh dalam sidang dan juga atas konvensi perdagangan dunia atas merkuri.
Kenapa Harus Diseriusi?
Merkuri tidak hanya merusak sesaat sebagaimana yang terlihat, namun masuk ke dalam peredaran darah, merusak syaraf, membahayakan ibu hamil, dll. Merkuri merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Lingkungan yang sdh terkontaminasi Merkuri susah dinetralkan lagi, walau jejaknya 30 tahun kemudian. Pencemaran merkuri dapat merusak saluran pernapasan, penyerapan melalui kulit dan konsumsi makanan serta minuman terkontaminasi. Merkuri itu 60-80% masuk diserap tubuh melalui udara, artinya lebih parah saat menghirup udara yang mengandung merkuri, dibandingkan melalui makanan dan kulit. Kondisi Indonesia sangatlah krisis.
Penyakit Minamata menyerang sistem saraf yang tidak hanya menyebabkan penderitaan dan kematian korban, tetapi juga mewariskan dampak kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat. Penyakit Minamata itu dapat terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia, khususnya akibat kecerobohan manusia.
Indonesia Darurat Merkuri
Indonesia harus segera mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan merkuri pada kegiatan industri, termasuk yang digunakan pada pertambangan emas skala kecil. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, pertambangan emas skala kecil yang menggunakan merkuri semakin marak di Indonesia, seperti di Solok (Sumatera Barat), Pongkor (Jawa Barat), Sekotong (NTB), Katingan (Kalimantan Tengah), Pulau buru Maluku Utara, Palu, Mamuju dan hampir semua daerah yg memiliki potensi tambang emas di Indonesia.
Upaya penertiban sudah berjalan tetapi belum efektif, seperti penutupan tambang batu cinnabar, bahan produksi merkuri di Gunung Tembaga, Pulau Seram, Maluku. Warga kembali menambang setelah tak dijaga aparat. Dibutuhkan langkah serentak dan seirama oleh semua pihak, pemerintah daerah harus berada di garda terdepan, dengan mengikutkan akademisi, LSM dan masyarakat luas.
Saya tak sepakat dengan bapak Presiden ketika beliau berkomentar agar tak represif dalam penertiban kepada masyarakat pengguna Merkuri. Kasus di Gunung Poboya, PT Citra Palu Mineral yang memiliki izin sejak tahun 1997, namun baru menjadi tambang rakyat pada 2007 perlu jadi pelajaran.
Saat ini KLHK sedang menyiapkan proyek percontohan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dengan mengganti merkuri dengan sianida. Bahan kimia pemisahan emas dan batuan ini sudah dilakukan di beberapa lokasi, salah satunya di Gunung Poboya. Ada sekitar 20-25 kolam sianida yang dibuat. Disana pembakaran emas yang menggunakan sianida dilakukan tertutup agar pembuangan zat berbahaya diatur tak menyebar.
Dari Kasus dan langkah pemerintah di Poboya Palu harus jadi contoh dalam menyelamatkan Indonesia dari genosida dampak merkuri dan sianida. Saya mengikuti secara seksama laporan masyarakat, dan juga berita yang diekspos oleh media, soal ancaman krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan di Palu, Sulawesi Tengah, terutama Gunung Poboya.
Data atas Penelitian Dinas Kesehatan Kota Palu pada 2014 menunjukkan tujuh dari 10 sampel sumur baku mutu air bersih di Kota Palu memiliki kadar merkuri 0,005 atau lima kali lipat dari standar normal. Padahal, Poboya, merupakan dataran tinggi sebagai tangkapan air bagi PDAM Palu. Ada 400.000 penduduk Palu yang dihantui ancaman merkuri dan sianida, yang terpapar melalui air dan udara. Itu di dataran tinggi lho, bagaimana dengan dataran rendah sebagai tangkapan dan resapan air?
Berdasarkan data yang diekspos oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), perusahaan tambang di Palu seluas 85.000 hektar, tumpang tindih dengan kawasan konservasi Taman Hutan Raya 18.000 hektar, dimana 5.000 hektar tambang rakyat. Kondisi Palu sangat memprihatinkan, perlu menindak tegas semua pihak yang melakukan pelanggaran, baik masyarakat, oknum KLHK maupun KESDM.
Di Proboya pasti ada backing aparat dan oknum pemerintah yang mengambil manfaat secara pribadi atau kelompok. Bahaya Merkuri belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Masih ada dokter yang menggunakan Merkuri untuk membersihkan dan menambal gigi. Masih banyak produk industri yang menggunakan material yang menggunakan bahan merkuri. Masih banyak industri yang limbahnya mengandung banyak merkuri yang belum diolah dan menjadi bahan beracun berbahaya yang merusak ekosistem laut dan meracuni manusia yang memakan kerang dan ikan.
Jika di Kota Palu Sulawesi Tengah, 400.000 penduduk yang dihantui ancaman merkuri dan sianida yang terpapar melalui air dan udara, bagaimana dengan warga di sekitar area pertambangan Freeport?