Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Sepenggal Jurnal Marcus Aurelius*

×

Sepenggal Jurnal Marcus Aurelius*

Share this article

Oleh: Muhammad Chirzin**

KHITTAH.CO, – Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar Romawi pada 161-180 M. terlahir bernama Marcus Annius Verus pada 26 April 121 di Roma, Italia. Bukunya Meditations merupakan jurnal pribadi yang ditulis kira-kira pada masa kampanye militernya di Eropa Tengah pada tahun 171-175. 

Di masa mudanya, Marcus mempelajari Bahasa Latin dan Yunani dengan tekun. Keseriusan dan kerja kerasnya mendapat perhatian paman sang bapak, Kaisar Hadrian yang mengadopsinya atas permintaannya kepada penerusnya, Antonius Pius.

Ketika Antonius meninggal dunia, Marcus resmi naik tahta sebagai kaisar bernama Marcus Aurelius Antonius Augustus. Ia menjadi simbol Zaman Keemasan Kekaisaran Romawi. Namun ia mengalami banyak peristiwa sulit selama masa pemerintahannya, antara lain peperangan, dan munculnya wabah Antonine yang mematikan. Marcus meninggal akibat terserang wabah ini pada 17 Maret 180 di kota Wina, Austria.

Marcus Aurelius memulai jurnal pribadinya dengan mengungkapkan pengalaman belajarnya dari kakeknya, bapaknya, ibunya, kakek buyutnya, dan guru-gurunya. Dari kakeknya ia belajar tentang kesopanan dan bagaimana cara mengelola temperamennya. Dari nama baik dan kenangan tentang ayahnya, Marcus belajar tentang kerendahan hati dan karakter seorang laki-laki.

Dari ibunya, Marcus belajar tentang kesalehan, perbuatan baik, kesederhanaan dalam hidup, serta berpantang, bukan hanya dari perbuatan jahat, tapi juga dari pikiran jahat, dan menarik diri sejauh-jauhnya dari kebiasaan mereka yang kaya raya.

Dari kakek buyutnya, Marcus belajar untuk tidak menghadiri sekolah umum, dan untuk menimba ilmu dari banyak guru yang baik di rumah, serta untuk mengetahui bahwa sudah selayaknya seseorang mengeluarkan uang banyak untuk hal-hal seperti itu.

Dari gurunya, Marcus belajar untuk tidak berpihak pada kubu mana pun di aneka laga yang diselenggarakan di pusat kota; tidak mendukung salah satu pihak dalam pertandingan gladiator. Dia pun belajar tentang daya tahan dalam menekuni pekerjaan, untuk menoleransi rasa sakit, dan untuk tak punya banyak keinginan, untuk berkarya dengan tangannya sendiri, untuk tidak mencampuri urusan orang lain, dan untuk menjadi tuli saat mendengarkan fitnah.

Dari Diognetus, Marcus belajar untuk menghindari hal-hal remeh, dan untuk tidak memberi perhatian pada apa yang diucapkan oleh mereka yang menjanjikan keajaiban, juga para juru nujum, dukun, peramal yang merapalkan mantra serta pengusiran makhluk gaib dan semacamnya; untuk menoleransi kebebasan berbicara; dan untuk menulis esai dari usia muda.

Dari Rusticus, Marcus mendapat kesan bahwa karakternya butuh dikembangkan dan ditempa, serta menuliskan pemikiran-pemikirannya secara sederhana, dan untuk membaca dengan cermat, serta tidak berpuas diri dengan memahami pengetahuan dari kulitnya saja, dan tidak tergesa-gesa memberikan persetujuan pada mereka yang banyak cakap.

Dari Appolonius, Marcus belajar tentang kebebasan berkehendak dan teguh pada tujuan; dan untuk melihat dengan jernih pada contoh hidup, bahwa seorang laki-laki bisa menjadi sangat tegas, tapi juga fleksibel; dan tak pernah kehilangan kesabaran dalam memberikan instruksi; dan belajar bagaimana caranya untuk menerima bantuan mulia dari teman-teman, tanpa merasa dikerdilkan atau membiarkan mereka berlalu tanpa merasa dihargai.

Dari Sextus, Marcus belajar tentang welas asih, dan contoh yang beliau tunjukkan tentang keluarga yang dibangun dengan cara kebapakan, dan tentang pemikiran untuk hidup selaras dengan alam; martabat yang tak terbebani oleh kepura-puraan, dan untuk memperhatikan kebutuhan teman-teman dengan cermat, bertoleransi terhadap orang-orang yang kurang berpendidikan, dan mereka yang membangun prasangka tanpa berpikir panjang; mampu mengungkapkan pujian tanpa kegaduhan, dan memiliki pengetahuan yang begitu luas tanpa kesombongan.

Dari Alexander yang pandai dalam tata bahasa, Marcus belajar untuk menahan diri agar tidak selalu mencari-cari kesalahan, dan tidak menegur mereka yang kacau tata bahasanya atau terdengar aneh pengucapannya; akan tetapi dengan rapi memperkenalkan ungkapan yang semestinya digunakan, dengan menjawab, memberikan konfirmasi, atau terlibat diskusi dalam suatu topik, dan bukan semata-mata membahas ungkapan tata bahasanya, atau dengan saran lainnya yang lebih layak.

Dari Fronto, Marcus belajar mengamati efek dari rasa iri, tipu daya, dan kemunafikan yang muncul pada pribadi seorang tiran, dan bahwa pada umumnya orang-orang di antara mereka yang dikenal sebagai seorang “Ningrat” sebetulnya kurang mendapat kasih sayang.

Dari Alexander sang Platonis, Marcus belajar agar tidak terlalu sering, atau jika tidak diperlukan, mengucapkan, “Aku terlalu sibuk”; dan tidak terus-menerus menggunakan tekanan keadaan sebagai alasan untuk mengabaikan orang-orang terdekatnya.

Dari Seversus, Marcus belajar untuk mencintai keluarganya, untuk mencintai kebenaran, dan untuk mencintai keadilan; dan belajar tentang gagasan mengenai tata pemerintahan, di mana hukum perundang-undangan yang sama berlaku untuk semua orang tanpa kecuali, sebuah bentuk pemerintahan yang dikelola sedemikian rupa dengan menempatkan hak yang sama, dan kebebasan berbicara yang setara.

Dari Maximus, Marcus belajar bagaimana caranya mengelola dirinya sendidri, dan untuk tidak tergoyahkan oleh hal remeh apa pun, serta terus bersemangat dalam berbagai situasi; selalu bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakan, dan bermaksud baik dalam semua hal yang dilakukan; tak pernah menunda-nunda menyelesaikan segala sesuatu; tidak pernah putus asa atau merasa bingung; juga tak peranh tertawa basa-basi untuk menutupi kekesalannya; selalu melakukan tindakan-tindakan bermoral, dan selalu siap untuk memaafkan, serta selalu mampu bergurau dengan cara-cara yang menyenangkan hati.

Dari ayah angkatnya, Marcus belajar tentang kelembutan, rasa cinta terhadap kerja keras dan kegigihan; dan kesiapsediaan untuk mendengarkan mereka yang punya usul apa pun demi kebaikan bersama; dan memberikan apa yang telah menjadi hak orang lain; dan memandang dirinya sama dengan penduduk mana pun; selalu waspada setiap kali dirinya mendapatkan tepuk tangan dan pujian; menjadi seorang pengelola yang baik terhadap segala bentuk pengeluaran; tidak pernah berusaha membeli hati orang lain dengan membanjiri mereka berbagai hadiah ataupun mencoba untuk menyenangkan hati mereka. Beliau selalu menunjukkan ketenangan dalam segala hal, juga ketegasan, dan tak pernah punya pikiran maupun perilaku yang kejam terhadap orang lain.

Marcus Aurelius mengawali pagi harinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri, “Hari ini aku akan bertemu orang-orang yang suka ikut campur, tidak tahu terima kasih, arogan, penuh tipu daya, penuh iri dengki, maupun orang-orang yang tak peduli dengan sekeliling mereka. Semua ini terjadi karena mereka abai akan arti kebaikan dan kejahatan yang sesungguhnya. Akan tetapi, aku telah menyaksikan bahwa sesungguhnya kebaikan itu indah, dan kejahatan itu buruk. Karena itu, aku tak bisa dilukai oleh satu pun dari mereka, tak satu pun dapat mempengaruhiku dengan kejahatan mereka. Aku pun tak lagi marah terhadap sesama sanak saudara, maupun membenci mereka, karena kita semua terlahir untuk saling bekerja sama, seperti halnya kaki, tangan, juga kelopak matam serta baris gigi atas dan bawah. Melawan satu sama lain adalah bertentangan dengan alam; dan perasaan marah dan tindakan berpaling adalah perlawanan.”

Di antara perenungan Marcus Aurelius yang ditujukan kepada dirinya sendiri adalah sebagai berikut.

“Betapa sering dirimu mendapat kesempatan, tetapi tidak menggunakannya. Padahal, ada batas waktu yang sudah ditetapkan untukmu. Jika kau tidak memanfaatkannya, maka waktu akan berlalu, kau akan meninggalkan dunia ini, dan kesempatan itu tidak akan Kembali.”

“Kematian adalah hal yang pasti, demikian juga kehidupan, ketenaran dan aib, rasa sakit dan kenikmatan, kekayaan dan kemiskinan. Semua itu terjadi pada orang baik maupun jahat.”        

Terima apa pun yang terjadi. Semua itu tertulis dalam suratan takdir. Pada akhirnya, menanti datangnya sang maut dengan gembira, seolah-olah ini tak lebih dari bubarnya elemen pembentuk makhluk hidup.”

“Ketika kondisi ingatan menurun akibat usia, yang akan lebih dahulu hilang adalah kekuatan untuk membuat diri kita berguna, untuk memenuhi kewajiban kita, dan untuk semua hal yang memerlukan logika.”

“Jangan menyia-nyiakan sisa hidupmu untuk memikirkan orang lain, kecuali hal-hal yang menjadi kebaikan bersama. Kenapa kau harus kehilangan waktu dan kesempatan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting?”

“Jangan sampai ada satu pun pikiran yang tidak berguna dan tanpa tujuan, terutama yang bersifat terlalu ingin tahu atau berbahaya. Pertahankan kemandirianmu. Tugasmu adalah berdiri tegak dengan kemampuan sendiri, bukan ditegakkan oleh orang lain.”

“Seseorang yang mengutamakan pikiran dan keilahiannya sendiri, dan memuja supremasi Ilahi di dalam dirinya, tidak membutuhkan drama dalam hidupnya, tidak bertingkah polah seolah dirinya korban, tidak butuh kesendirian maupun keramaian, dan, yang paling utama dari semuanya, ia dapat menjalani hidup dengan sikap tidak mengejar atau menghindar.”

“Tak ada tempat yang lebih tenang daripada saat seorang manusia masuk ke dalam jiwanya sendiri. Kecemasan yang kita alami sejatinya hanya datang dari opini-opini yang muncul dari dalam hati kita sendiri. Hapus persepsi yang kaumuliki, dan dengan demikian kaju telah mnghilangkan keluhan, “Akui disakiti.” Singkirkan keluhan, “Aku disakiti,” maka rasa sakit itu pun akan terhapus.”

“Tinggalkan harapan yang sia-sia. Selamatkan dirimu sendiri selagi kau masih mampu. Selama kau masih diberkahi hidup, selagi kau masih punya kemampuan, jadilah orang yang baik. Jangan biarkan dirimu menjadi tiran maupun budak bagi manusia mana pun.”

“Semua yang indah dengan caranya sendiri adalah indah karena apa yuanhg ada di dalam dirinya, bukan karena pujian. Sesuatu yang dipuji tidak membuatnya lebih baik atau lebih buruk.”

“Sebagian besar hal yang kita ucapkan dan lakukan sejatinya tidaklah perlu: singkirkan hal-hal yang berlebihan, maka kau akan punya lebih banyak waktu senggang dan tak banyak merasa terganggu. Semuanya tidak kekal, baik yang mengingat maupun yang diingat. Semua yang ada di masa kini adalah benih dari semua yang ada di masa depan.” 

“Kita tidak boleh bertingkah seperti anak-anak yang sedang belajar dari orangtuanya, yaitu hanya bertindak dan berbicara seperti yang diperintahkan. Berkata-kata dan bertindaklah sesuai dengan akal sehat. Tujuan seperti itu membebaskan seseorang dari segala kebutuhan untuk membuat orang lain terkesan.”

Di waktu pagi, ketika kau enggan bangun, siapkan hal ini dalam pikiranmu, “Aku bangun tidur untuk berkarya sebagai seorang manusia. Mengapa aku membenci bangun pagi, jika aku akan melakukan segala sesuatu yang merupakan tujuan diriku dilahirkan dan tujuan keberadaanku di dunia? Atau, apakah aku diciptakan untuk membungkus tubuhku dengan selimut dan terus menghangatkan diri?”

“Setelah selesai melakukan sebuah perbuatan baik, maka tidak perlu memanggil orang-orang untuk datang dan melihat apa yang dilakukan, tetapi terus saja lakukan perbuatan-perbuatan baik lainnya.”

“Jangan patah semangat bila tidak berhasil melakukan sesuatu. Jika kau gagal, kembali dan coba lagi. Cintai dirimu karena kau kembali untuk mencoba. Jika apa pun bisa dicapai oleh manusia, selama itu selaras dengan kodratnya, maka percayalah bahwa semua ini bisa dicapai olehmu juga.” 

“Hasil dari hidup yang dijalani dengan baik: sikap rendah hati dan tindakan yang berguna bagi masyarakat. Sesuaikan dirimu dengan hal-hal yang telah menjadi tanggung jawabmu, dan cintai orang-orang yang telah ditakdirkan untukmu – tetapi cintamu harus tulus sepenuh hati.”

Demikian, sepenggal jurnal Marcus Aurelius yang insyaallah relevan dengan zaman kita. Bilamana kebenaran menghalangi langkah-langkah kita, berarti kita berada di jalan yang salah; kita mesti berbalik arah dan melanjutkan perjalanan hingga sampai tujuan.(m)  

*Marcus Aurelius, Meditations: Perenungan, terjemah Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo (Jakarta: Noura Books, 2021)

**Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Dosen Program S3 Psikologi Pendidikan Islam UMY, dan Kajian Kitab Tarsir Fakultas Agama Islam UAD, anggota Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Tematik dan Revisi Al-Quran dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, penulis trilogi Kamus Pintar Al-Quran, Kearifan Al-Quran, dan Nur ‘Ala Nur: Sepuluh Temua Utama Al-Quran (Jakarta: Gramedia, cetak ulang 20219), dan 60an buku lainnya.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply