Oleh : Idham Malik*
KHITTAH.co – Sjahrir adalah salah sedikit bunga mekar di abad 20, abad perjuangan, abad nasionalisme. Aromanya tentu tercium hingga saat ini.Dalam setiap tapak hidupnya, ia menampakkan gairah besar bergerak dalam sejarah dan mensetting sejarah.
Sejak muda, Sjahrir memang sudah menonjol, dengan perawakannya yang kecil, ia memukau kawan-kawannya dengan komentar-komentarnya yang ciamik, serta keberaniannya dalam memimpin organisasi Pemuda Indonesia, yang dengan tekun menelurkan opini-opini tentang kebebasan dan kebangsaan. Memang, saat itu, siswa-siswa setaraf SMA sudah berada jauh di depan rakyat pada umumnya. Siswa EMS Bandung itu pun melakukan pengajaran kepada rakyat yang berada di pedesaan-pedesaan. Mereka menempa dirinya untuk dapat menjadi pemimpin rakyat kelak.
Di Eropa Sjahrir tidak belajar begitu serius di universitas, ia malah meluangkan waktunya untuk bergaul dengan para aktivis muda Belanda. Dengan mudah dia diterima oleh lingkaran sosialis Belanda dan tampak lebih barat dibandingkan orang barat itu sendiri.Sjahrir nyaris hidup ideal dalam lingkaran anarkisme, menerapkan totalisme hidup bersama. Makan bersama, tidur bersama, pakaian bersama, semua serba bersama, kecuali tidak bersama dalam menggunakan sikat gigi.Sjahrir begitu dicintai oleh rekan-rekannya.Di Belanda, ia dengan begitu cepat menjad pimpinan nomor dua Perhimpunan Indonesia (PI) setelah Bung Hatta. Dua orang ini pun menjadi artis, dimana-mana mereka ceramah – membakar jiwa, populisme mereka bersinar terang, menghantui para pejabat pemerintahan Belanda.
Ia lebih dahulu kembali ke Hindia Belanda dibanding Hatta, atas desakan para aktivis nasional yang mengeluhkan kekosongan kepemimpinan nasional di tanah air. Pasca pemberantasan PKI tahun 1926, stok pemimpin nasional anjlok, para aktivis yang masih hidup pun dibuang jauh-jauh dari peradaban, yaitu di Boven Digoel. Memang, masih ada stok, yaitu Soekarno yang darahnya mendidih oleh nasionalisme, bergelora membangkitkan jiwa bangsa lewat tulisan-tulisan, dan pidato-pidatonya. Namun, pemuda-pemuda juga merindukan pemimpin-pemimpin yang terdidik di luar negeri, yang tulisan-tulisannya selalu dibaca dan dinanti oleh para aktivis muda tanah air.
Kehadiran Sjahrir, kemudian Hatta, menambah dialektika gerak dan wacana pergerakan nasional. Kedua pemimpin didikan Belanda ini menawarkan konsep pergerakan nasional yang lebih terukur, yaitu melalui pendidikan. Sedangkan Soekarno, dengan gerakan massa, menanamkan kesadaran nasional dan menuntut kemerdekaan melalui aksi massa, dengan tetap mengikuti kaidah aturan colonial waktu itu, yang sudah cukup ketat. Sjahrir dan Hatta melakukan pengkaderan, dia mengajak teman-teman pelajarnya dahulu, serta alumni-alumni Belanda untuk membentuk PNI Pendidikan. Tugas gerakan ini adalah mendidik kader, yang kelak akan mengisi kepemimpinanpemerintahan Indonesia.
Bandul bergerak, kebijakan kolonial kian keras.Tokoh-tokoh pergerakan ditangkap. Soekarno tentu lebih dahulu merasakan penderitaan, sebab Soekarno tidak henti-hentinya berbicara dan menambah imajinasi rakyat akan kemerdekaan dan nasionalisme. Jauh sebelum Sjahrir dan Hatta dibuang ke Digoel, Soekarno sudah mendekam di penjara Banceuy dan Sukamiskin. Akhirnya, ketiganya diasingkan, diinternir, Sjahrir dan Hatta di Digoel, Soekarno di Ende-Flores.
Di Digoel, Sjahrir masih muda. Untuk mengatasi kebosanan, Sjahrir kian kemari mendatangi satu persatu kawan interniran untuk diajak ngobrol. Dia tak bias duduk diam dan menghabiskan waktu untuk membaca atau pun berfikir. Alasan lainnya, karena alam yang keras dan rentan terjangkiti malaria, Sjahrir harus membiasakan dirinya untuk bergerak, menghindari pembusukan diri dengan hidup bermalas-malasan. Meski dengan disiplin keras, keduanya tetap menunjukkan gejala penurunan kesehatan.Tubuh mereka didesain untuk berfikir dan memerintah, bukan untuk bekerja fisik, sehingga alam Digoel dianggap tidak cocok bagi pemimpin terdidik ini. Karena alas an itulah, keduanya dipindahkan ke Banda Neira.
Di Banda, Sjahrir kembali menikmati hidupnya. Di pulau yang tidak begitu luas itu, dia bersahabat dengan anak-anak, beberapa di antaranya dijadikan anak angkat, salah satunya Des Alwi. Diajaknya sahabat-sahabatnya itu menyebarang pulau, di pulau itu Sjahrir berenang bersama lalu mengajar anak-anak itu lagu Indonesia Raya. Bung Hatta sibuk denganbuku-bukunya, Sjahrir sibuk menjahit baju untuk anak-anak angkatnya. Bung Hatta sibuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh nasional yang juga ditahan di sana. Sjahrir dengan gembira mengajar anak-anak bahasaInggris, dan matematika.
Perang Dunia II, para pemimpin ini harus diamankan oleh Belanda, sebaga iantisipasi agar mereka tidak dimanfaatkan oleh Jepang untuk kepentingan agresi Jepang. Berangkatlah mereka dengan menggunakan helikopter, dimana Sjahrir harus membawa anak-anak angkatnya. Bung Hatta dengan terpaksa menunda membawa buku-bukunya yang telahd isimpan rapi dalam peti. Anak kecil lebih berarti bagi Sjahrir, dibandingkan buku-buku.
Sesampai di Jawa, keduanya harus menyesuaikan lantaran seranganJepang yang begitu kilat. Sehingga Belanda lari terbirit-birit meninggalkan kepulauan Indonesia.Tokoh – tokoh nasional yang sebelumnya diasingkan itu, kembali berkumpul di Jakarta. Mereka pun berbeda sikap terhadap Kolonialisme Jepang. Soekarno dan Hatta lebih memilihkompromi dengan alasan yang lebih teknik strategik, sedangkan Sjahrir memilih bergerak di bawah tanah untuk berurusan dengan radio. Ketiga tokoh itu berbeda sikap, namun tetap berjuang bersama dengan tujuan Indonesia Merdeka.
Soekarno memanfaatkan Jepang untuk mendidik birokrat pribumi untuk bias memimpin rakyatnya sendiri, memanfaatkan Jepang untuk mendidik pemuda untuk menjadi pasukan handal dalam PETA, yang nantinya, tidak hanya mengusir sekutu, tapi juga Jepang itu sendiri. Otak Soekarno memang kolaboratif, tapi bersifat strategis, karena beliau tahu bahwa Jepang tak akan lama merusak dan menghina rakyat Indonesia. Sedangkan Sjahrir, sosialis humanis ini, bersama para pemuda bergerak untuk mencari informasi melalui siaran-siaran radio yang saat itu begitu diharamkan oleh pemerintah Jepang.
Memasuki kemerdekaan, Sjahrir tidak begitu berperan, tapi dia dibutuhkan oleh pemerintahan yang masih muda dan rentan. Sjahrir diajak berulang kali oleh Soekarno dkk untuk ikut berkiprah dalam pemerintahan. Beberapakali ia menolak, tapi akhirnya dia setuju. Pun akhirnya, Sjharir bersama Hatta mengambil alih pemerintahan yang sebelumnya berbentuk komite menjadi parlementer, Sjahrir pun menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia, dengan usia 34 tahun.
Pemerintahan Sjahrir disambut gembira oleh Negara-negara sekutu, yang berarti ada peluang untuk menanamkan kepentingan di Indonesia. Sjahrir, bersama orang-orang yang dipilihnya berkeliling eropa, untuk memperkenalkan Indonesia dan menggalang dukungan negara-negara di dunia. Akhirnya, politik diplomatik Sjahrir berhasil meyakinkan para pemimpin bangsa, apalagi Amerika, bahwa Belanda harus taat pada aturan internasional untuk menghentikan agresi militer, apalagi saat itu warga dunia sudah muak dengan perang, suasana saat itu suasana pasca perang dunia II. Suasana trauma peperangan.Di sela-sela tugasnya ini, Sjahrir turut mewarnai demokrasi Indonesia, dengan mendirikan PSI (PartaiSosialis Indonesia). Dalam partai inilah digodok ide-ide sosialisme, dan menjadi wacana dominan bagi pemuda-pemuda terdidik kalaitu. Pemuda-pemuda Sjahrir akhirnya banyak mengisi pos-pos kementeriandan jabatan-jabatan di birokrasi Indonesia, bahkan kemiliteran Indonesia.
Peran Sjahrir mulai merosot, ketika Soekarno menerapkan politik terpimpin. Sjahrir dianggap berada di barisan seberang. Sjahrir pun dirumahkan. Sjahrir diasingkan lagi dan tidak dibiarkan berkiprah dalam dunia politik. Namun, ketika Sjahrir sakit, Sokarno sendirilah yang mendorongnya untuk berobat ke luar negeri. Dan ketika Sjahrir meninggal akibat stroke dan tekanan darah tinggi, atas izin Soekarno beliau dimakamkan di Kalibata. Bung Hatta bersama ribuan rakyat Indonesia mengantar jenasah Bung Kecil dengan berlinang air mata.
*) Penulis adalah pegiat literasi Kota Makassar