Oleh : Muh. Asratillah Senge
Dalam sejarah Indonesia, kata “Marhaenisme” pernah masuk dalam nominasi kata-kata yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dan ekonomi, kata-kata yang dapat membangunkan “latency demon” yang mengancam harmoni bernegara. Tapi itulah “kata”, apalagi jika mewakili serangkaian gagasan yang cukup agresif dan dalam riwayatnya dipenuhi tanya dan protes, cenderung bermuara pada satu nasib, dipuji sekaligus dibully, tetapi satu yang pasti “kata” itu tetap memilki pesona.
Tapi pesona “Marhaenisme” bukanlah tanpa sebab, salah satu sebabnya adalah pesona dari Soekarno itu sendiri, sesorang yang dijuluki “jagoan muda” saat masih bersekolah di ELS Ongkoloro, membawakan pidato yang berapi-api di kegiatan Radicale Concentratio dan akhirnya bertanda tangan bersama sohibnya (yang sebenarnya sekaligus rival politiknya) pada naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Walaupun pasca peristiwa berdarah 1965, rezim Orde Baru berusaha meredupkan dan menyembunyikan pesona Soekarno bersama pesona kata-kata tertentu- seperti marxisme, komunisme,sosialisme, revolusi dan marhaenisme-tapi itulah politik, selalu ada yang absen pada dirinya kata Ranciere. Bagaimanapun politik adalah pergulatan dialektis antara la-politique (politik sebagai gebrakan dan perjuangan) dan la-police ( politik sebagai penata-an dan pendisiplinan), tak selamanya politik Orba mampu mendisiplinkan Soekarno beserta pesonanya dalam sel-sel tahanan politik dan penjara-penjara pengetahuan.
Konon suatu hari Soekarno berjalan-jalan di sebuah desa di Bandung, dia bertemu dengan seorang petani, bercakap-cakap dengannya. Dalam pertemuan itu lalu muncul semacam “wangsit” pada dirinya, dia bertanya saat itu, jika petani itu memiliki tenaga kerjanya sendiri (karena dirinya seorang yang mengerjakan sawahnya), memiliki cangkul, benih dan tanahnya sendiri dengan kata lain memiliki alat-alat produksinya sendiri, lalu kenapa hidupnya masih melarat ?. Jikalau bagi Marxisme akar dari kemiskinan, alienasi dan proletarisasi disebabkan bercerainya pekerja dari tenaga dan alat-alat produksinya sendiri, lalu kenapa petani yang ditemui Soekarno masih miskin sebagaimana miskinnya kaum proletar dalam khazanah marxisme ?.
Soekarno adalah pecinta buku sebagaimana Sjahrir, Hatta dan kaum intelegensia Indonesia saat itu. Penulis yakin, beragam ide, gagasan dan proposisi-proposisi pengetahuan yang dia peroleh dari berbagai sumber (buku, tokoh dan teman saat itu) menciptakan semacam kosmik pengetahuan tersendiri dalam diri Soekarno. Tapi dalam perhelatannya ke desa di Bandung telah memaksa kosmik pengetahuan yang berasal dan melalang buana ke sana ke mari, berhenti sejenak dan menapakkan kakinya pada lumpur realitas sejarah konkrit saat itu. Sudah saatnya kosmik pengetahuan yang merupakan hasil abstraksi diperhadapkan dengan materialitas sejarah, sejarah si petani. Dan akhirnya ia menanyakan nama, dan petani itu menjawab “Marhaen”.
Dari nama “Marhaen” itulah istilah Marhaensme lahir, bukan berasal dari kata sifat, kata kerja dan kata benda umum sebagaimana “Filsafat” (cinta kebenaran) dan liberalisme , bukan berasal dari nama-nama besar seperti marxisme dan leninisme, tapi berasal dari nama petani sederhana, berpikiran sederhana dan sekaligus korban sejarah saat itu. Nama diri Marhaen lalu diabstraksi oleh Soekarno, denotasinya (ruang lingkup) diperluas sedemikian rupa, diubah menjadi nama kaum tertentu yaitu kaum “Marhaen”. Tapi istilah kaum Marhen tidaklah menunjuk pada pengikut tertentu, sebagaimana umat Buddha, umat Kristus, Umat islam dan sebagainya, istilah kaum Marhen menunjuk pada orang-orang yang juga mengalami kemelaratan sebagaimana petani yang bernama Marhaen, pada titik inilah terdapat kesamaan antara “Marhaen” dan “Proletar”.
Dalam Indonesia Mengugat Soekarno berkata “ pergaulan hidup mereka marhaen..pergaulan sebagian besar sekali adalah kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil , kaum pelajar kecil , pendek kata : kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semuanya kecil “, dari kalimat tersebut kita bisa membaca bahwa istilah “marhaen” merupakan penanda yang diperluas (expanded signifier) dari kata “proletar”. Bakat Soekarno dalam mengartikulasikan gagasan sebagai consolidate maker begitu mencolok di sini, Soekarno yakin saat itu bahwa dirinya perlu menciptakan “kata” yang memiliki gaya tarik dan daya dorong sekaligus dan merangkul elemen bangsa seluas mungkin.
Goenawan Mohamad dalam salah satu kuliah umumnya di Salihara mengatakan bahwa pergerakan politik memerlukan sebuah universalitas agar bisa efektif , dan menurut penulis melalui kata “marhaen” Soekarno telah menemukan kata yang “medan efektif” nya jauh lebih luas dibanding kata “proletar”. Universalitas yang paling besar gaya tariknya adalah universalitas yang dalam artikulasinya terdapat negativitas, universalitas yang bernuansa “anti…………..” dan yang paling luas “medan efektif” nya adalah “anti penindasan”, kenapa demikian ?. Karena kata penindasan dalam “anti penindasan” bisa disubtitusi atau dikomplementarisasi dengan kata-kata lain semisal “anti nuklir”, “anti penindasan gender”, “anti kerusakan lingkungan”, “anti narkoba”, “anti kolonialisme”, “anti kapitalisme” dan sebagainya. Dan dalam kata marhaen terdapat universalitas seperti itu, bukan cuman kaum buruh industri yang mendesak untuk dibebaskan, tetapi juga “kaum tani kecil”, “kaum buruh kecil”, “kaum pedagang kecil” dan “kaum pelajar kecil”.
Tapi orang-orang tak cukup mengidentifikasi diri mereka sebagai “kaum marhaen” mereka harus memiliki “rasa nasionalistis” sebagaimana yang dikatakan oleh Soekarno “nasionalisme adalah suatu i’tikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa…rasa nasionalistis itu akan menimbulkan rasa percaya dirinya sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mengalahkan kita” . Di sini kita bisa melihat bahwa Soekarno cukup berutang pada Ernest Reanan dalam menyusun ide nya tentang nasionalisme, bahwa nasionalisme tumbuh dan berkembang dari kesadaran akan riwayat nasib yang sama.
Tapi nasionalisme marhaen ala Soekarno tak hanya berhenti di situ, nasionalisme marhaen adalah nasionalisme yang berangkat dari titik tumpah darah tertentu tapi tidak menafikan dan menghinakan titik-titik tumpah darah lain di dunia ini. Selain itu nasionalisme marhaen adalah nasionalisme dalam perihal politik sekaligus ekonomi dan Soekarno memberinya nama “sosio-nasionalisme”, yaitu “suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki…sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio nasionalisme”.
Itulah marhaenisme, dia semacam tokoh krisna dalam mitologi hindu ataupun semar dalam mitologi jawa yang merupakan inkarnasi “dewata” dalam hirup pikuk sejarah konkrit di bumi. Marhaenisme sejak kelahirannya adalah inkarnasi “Yang Ideal” dalam denyut nadi keseharian orang-orang kecil. “…..kita bergerak tidak karena ‘ideal’ saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup minimum seni dan kultur-pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya” kata Soekarno.
* Penulis adalah anggota Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel