Oleh : Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, OPINI– Agama secara fungsional menata kehidupan personal dan kehidupan kolektif/sosial. Prof. M. Amin Abdullah menegaskan bahwa agama memiliki dua dimensi yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya: normativitas dan historisitas.
Apa yang lazim dikenal sebagai “agama” sesungguhnya itu bisa dimaknai sebagai dimensi normativitas. Sedangkan apa yang disebut “peradaban”—kemudian untuk konteks yang lebih kecil: tatanan kehidupan yang tentram dan damai; Tata kelola pemerintahan yang baik; Etika pergaulan sehari-hari—idealnya merupakan hasil aktualisasi historis dari normativitas tersebut. Dan inilah yang dimaksud dimensi historisitas.
Saya mencoba mereformulasi pemaknaan secara sederhana dari konstruksi yang telah dibangun oleh Amin Abdullah. Tujuan saya jelas, agar selain kita mudah memahami, termasuk akan ditemukan makna esensial bahwa sejatinya agama bukan hanya untuk kepentingan menata kehidupan personal, tetapi kepentingan tatanan kehidupan yang lebih luas, juga mendapatkan porsi perhatian yang besar.
Agama, termasuk ajarannya mengandung dimensi esoterik (batiniah) dan eksoterik (lahiriah). Saya menarik garis relevansi tentang dimensi agama—normativitas dan historisitas—yang telah dikonstruksi oleh Amin Abdullah. Normativitas bisa disejajarkan dengan esoterik dan historisitas disejajarkan dengan eksoterik.
Berdasarkan perenungan dan penalaran pribadi saya, apa yang dimaknai historisitas atau pun eksoterik—ternyata di dalamnya tetap mengandung dua dimensi lagi: esoterik dan eksoterik. Artinya meskipun hal tersebut telah berada dalam dimensi historisitas, selama masih memiliki relasi ke dimensi batiniah atau transendensi maka itu masih dipandang berdimensi esoterik. Dan sesuatu yang kita temukan dalam dimensi historisitas yang telah lepas dari normativitas agama, maka itu adalah eksoterik. Atau mungkin bisa dinilai sebagai historisitas yang tidak memiliki relasi dengan agama.
Apa yang ada di atas, sebagai starting point sebelum memasuki substansi bahasan dalam tulisan ini. Saya ingin menghadirkan spiritualitas ihsan sebagai pancaran esoterik dari puasa. Jika diilustrasikan lebih sederhana, bahwa saya bermaksud untuk menghadirkan etika, kinerja terbaik, kemanfaatan yang memiliki garis relasi atau dijiwai dan berlandaskan daripada nilai batiniah, core value daripada puasa.
Sebelum lebih jauh, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan beberapa fenomena kehidupan yang bisa dipandang sebagai antitesa dari harapan dan tujuan yang menjadi substansi dalam tulisan ini. Hari ini ada banyak sikap dan perilaku yang bersifat menggerogoti kohesivitas sosial dan sila ketiga Pancasila (persatuan Indonesia).
Selain fenomena pertama di atas, etika terutama etika publik apalagi di media sosial memberikan cerminan yang kurang elok dipandang. Reformasi birokrasi yang menjadi harapan dalam tata kelola pemerintahan belum terwujud maksimal dan menyeluruh sesuai harapan. Sikap dan perilaku menghadapi pandemi Covid-19 dan berbagai problematika kehidupan seringkali belum menunjukkan keteladan yang baik.
Selain daripada itu—untuk konteks global dan sebagaimana telah disampaikan oleh Amin Abdullah—bahwa ada kegelisahan dan kegalauan Universitas Al-Azhar terhadap arah dakwah Islam Kontemporer. Yang dimaksud adalah—dan ini menjadi alasan sehingga suatu seminar internasional dilaksanakan oleh Al-Azhar dengan menghadirkan berbagai ulama dan cendekiawan—adanya kecenderungan dakwah Islam yang bermuatan atau berbau ta’assub, yaitu dakwah yang memperkuat identitas pribadi, kelompok dan komunal berbasis agama yang menjurus ke arah kekerasan.
Terkait fenomena dan alasan terakhir atau apa yang dikhawatirkan oleh univeristas Al-Azhar—sambil saya menyelesaikan tulisan ini—ada hal yang memprihatikan dan menyedihkan bagi saya, “sekejam dan sekeras itukah hatinya (dan mereka), tidak bisa berempati”. Seorang sahabat membagikan status facebook seseorang, di dalamnya tertulis “Tak ada MATI SYAHID bagi Thaghut dan Anshor nya meskipun mati tenggelam. Contohnya Fir’aun dan bala tentaranya”.
Status facebook seseorang tersebut, “mungkin” bermaksud merespon peristiwa dan harapan serta do’a para netizen atas duka bangsa terkait kapal selam KRI Nanggala 402 dan gugurnya 53 prajurit. Alih-alih mau menyampaikan rasa duka dan empati, justru sebaliknya. Meskipun saya masih menggunakan diksi “mungkin” tetapi ketika memperhatikan komentar-komentar yang ada termasuk si pembuat tulisan (status) tersebut, besar dugaan pribadi saya, latar peristiwa tulisan statusnya adalah KRI Nanggala 402.
Mungkin bermaksud menunjukkan “cinta agama” tetapi justru yang diekspresikan ke ruang publik bukanlah “agama cinta”. Ini adalah hal paradoks. Idealnya dari “cinta agama” menjadi “agama cinta”. Untuk ini, bisa membaca tulisan saya “Dari Cinta Agama Menjadi Agama Cinta” yang terbit pada tanggal 1 Juli 2020 di media online, kalaliterasi.com.
Dari segelintir fenomena yang sempat disebutkan—dan yang pasti masih banyak hal lainnya—maka solusi yang tepat jika kita mau memahami dan merenungkannya lebih dalam adalah “spiritualitas ihsan”.
Islam memiliki tiga pondasi utama: Iman, Islam dan Ihsan. Ihsan dipandang sebagai puncak tertinggi dari pencapaian. Menurut Zakiyuddin Baidhawy dan Azaki Khoirudin, “pemahaman tentang agama di topang oleh rukun Iman dan rukun Islam”, dan “defenisi Islam yang paling puncak adalah Ihsan, dan ini banyak dilupakan kaum muslim sendiri.
Ihsan didefenisikan an ta’buda al-Allah ka annaka tarahu, wa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (Hendaklah kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, dan seandainya tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu).
Di sini ada perasaan mendalam bahwa setiap gerak-gerik, aktivitas kita berada dalam pengawasan Allah SWT. Hanya saja yang menjadi paradoks perasaan mendalam ini, hanya berlaku pada dimensi ibadah ritual (personal). Terlupakan ketika memasuki ruang publik, dimensi realitas sosial.
Di sinilah urgensi dan implikasi menghadirkan spiritualitas ihsan dalam kehidupan sosial. Persoalan ini telah dirumuskan secara mendalam oleh Amin Abdullah dan pernah diulas ulang oleh Zakiyuddin dan Azaki.
Namun secara sederhana—untuk konteks tulisan ini—saya memaknai bahwa perasaan dalam pengawasan Allah perlu dihadirkan pula dalam kehidupan pergaulan, sosial, lingkup birokrasi dan lingkup yang lebih besar, kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan global. Dengan perasaan ini, maka akan senantiasa memberikan kemanfaatan, menunjukkan kinerja dan kolaborasi serta kohesivitas sosial yang terbaik dan penuh keteladanan.
Dan sikap ini bahkan melintasi batas primordial, sehingga menjadi modal persatuan dalam membangun hubungan, bukan hanya antaragama tetapi lintas agama. Ada kesadaran termasuk unity of creation (kesatuan penciptaan) dengan makhluk lain, apa pun latar yang membedakan dengna diri kita.
Spiritualitas Ihsan yang merupakan pancaran esoterik puasa—meskipun puasa bukan satu-satunya yang akan memancarkan cahaya esoterik untuk spiritualitas ihsan—akan menunjukkan perilaku yang mengedepankan empati, pengendalian diri, kejujuran, kesabaran, kolaborasi dan keseimbangan orientasi duniawi dan ukhrawi.
Empati, pengendalian diri, kejujuran, kesabaan, kolaborasi dan keseimbangan orientasi duniawi dan ukhrawi adalah dimensi esoterik daripada puasa. Kemudian nilai-nilai, sikap dan perilaku esoterik ini ditransmisikan dan/atau dikonversi ke dalam spiritualitas ihsan. Hasilnya akan melahirkan rasa empati bukan hanya rasa kasihan; Pengendalian diri dan kejujuran bukan karena dorongan aspek manajerial. Tetapi semua itu dilakukan karena merasa Allah ikut menyaksikan apa yang dilakukan.
Selain daripada nilai, sikap dan perilaku ini diimpelementasikan dalam kehidupan sosial bukan karena dorongan target pencapaian kesuksesan material dan duniawi semata, tetapi melampaui hal tersebut. Dilakukan, selain merasa Allah ikut mengawasi (menyaksikan), termasuk bahwa sesungguhnya dalam hidup ini, core value kita adalah Ridho Allah.
Siapapun kita, sesungguhnya dihadirkan di muka dengan membawa mandat kosmis, merawat tatanan kehidupan ini dengan baik, penuh cinta. Dengan misi besar mendakwahkan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta, tanpa memandang sekat primordial). Inilah spiritualitas ihsan yang salah satunya mendapatkan pancaran dari esoterik puasa.
*Agusliadi Massere adalah Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang. Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023.