Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Hikmah RamadanLiterasiOpini

Takwa Valensi Utama Umat Islam

43
×

Takwa Valensi Utama Umat Islam

Share this article
Example 468x60

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO,- Apapun tindakan atau perilaku manusia, maka dibaliknya ada motif, modus atau motivasi yang menjadi penggeraknya. Dalam kehidupan ini, minimal ada tiga motivasi yang membuat seseorang melakukan tindakan, perilaku atau perbuatan tertentu yaitu: to have, to be, dan/atau to valensi.

Example 300x600

Ketiga penggerak atau motivasi tindakan tersebut di atas, masing-masing memiliki atau menimbulkan wujud dan dampak yang berbeda-beda. Termasuk memengaruhi upaya yang dilakukan, tanpa kecuali jenis implikasinya baik kepada diri sendiri maupun ke yang lain, itu berbeda-beda.

Ketika seseorang melakukan suatu tindakan atas dorongan to have, sebagai contoh, maka orientasi utamanya adalah bagaimana cara memiliki sesuatu itu tanpa mengindahkan aturan, moralitas, etika, dan/atau implikasi negatifnya dalam kehidupan. Jika kita memahami pandangan Jamil Azzaini, dkk., dorongan to have cenderung mengabaikan dorongan to be dan valensi. Bahkan, to have yang tinggi cenderung merusak to be dan valensi

Memerhatikan kehidupan hari ini, dengan maraknya perilaku korupsi, maka bisa dipastikan bahwa dalam dirinya bersemayam to have yang sangat tinggi. To have bisa pula dimaknai sebagai ambisi yang sangat tinggi, atau sebagaimana yang sering saya tuliskan dengan meminjam istilah dan pandangan dari Yudi Latif, the love of power (cinta kekuasaan)-nya sangat tinggi.

Saya dan kita pun harus menyadari bahwa sudah pasti dibalik setiap tindakan atau perilaku ada to have, karena hanya malaikat (menurut Jamil, dkk.) yang tidak memiliki to have. Hanya saja perlu dikendalikan, jangan hanya hal tersebut yang mendominasi diri.

Idealnya setiap diri, tindakan atau perilakunya lebih didominasi atas dorongan atau motivasi to be dan valensi. Satu renungan menarik dari Jamil, dkk.,: bila Anda memiliki to have namun tidak punya valensi dan to be, Anda akan menghalalkan semua cara; bila Anda punya to be namun tidak punya valensi, Anda tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengejar prestasi Anda; dan jika Anda punya valensi namun Anda tidak punya to be, Anda tidak memiliki arah dan fokus menuju prestasi Anda.

Setelah membaca secara singkat poin-poin di atas, dan semoga kita bisa memahaminya termasuk (mungkin) melalui referensi lain yang pernah dibaca, maka fokus pada tulisan kali ini, saya ingin menegaskan bahwa sesungguhnya “takwa” adalah valensi utama umat Islam. Tulisan ini, berawal dan terinspirasi ketika ada pembaca tulisan-tulisan saya (tidak lain beliau adalah senior kami sendiri), menyampaikan harapan dalam salah satu grup WhatsApp agar saya menulis korelasi antara takwa dan valensi.

Valensi sebagaimana saya kutip dari buku Kubik Leadership karya Jamil Azzaini, dkk., berasal dari bahasa Latin valentia yang berarti kekuatan (power) atau kapasitas (capacity). Menurut Jamil, dkk., valensi nilai yang menentukan jumlah atom yang dapat berkombinasi. Atau bisa dimaknai kekuatan dari elemen-elemen dalam atom yang berkombinasi. Selain itu valensi akan menentukan bagaimana elemen tersebut bersatu.

Dalam bahasa pakar pengembangan diri—salah satunya dari Jamil—valensi adalah “takaran” atau “bobot” yang mewakili keseluruhan kapasitas diri Anda. Dan ini, diyakini berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang.

Dari pemahaman sederhana tersebut di atas, saya sampai pada kesimpulan—termasuk pada saat itu langsung, merespon harapan senior kami di grup WhtasApp tersebut—bahwa “takwa” adalah puncak valensi seorang Muslim. Meskipun, akhirnya—sebagaimana judul di atas—saya mengatakan bahwa “takwa” adalah valensi utama umat Islam.

Ada sejumlah alasan dan/atau pun dalil, yang menyebabkan proses algoritmik dalam diri ini langsung menyimpulkan seperti itu: “takwa valensi utama umat Islam”. Meskipun, terkesan refleks atau spontan pada saat itu, tetapi setelah mendalami beberapa referensi termasuk salah satunya buku The Vision of Islam karya Sachiko Murata dan William C. Chittick, saya semakin yakin bahwa kesimpulan tersebut bisa dibenarkan.

Para sahabat pembaca, mungkin masih ingat, pernah membaca, dan/atau pernah mendengar firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13. Allah menegaskan melalui firman-Nya ini “…sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa….”

Atas dasar penegasan dari firman Allah, dan termasuk atas pemahaman dan pemaknaan terkait valensi di atas, saya yakin—sekali lagi saya menegaskan—tidak keliru dengan kesimpulan tersebut bahwa “takwa adalah velansi utama umat Islam”. Dalam pandangan Murata dan C. Chittick, takwa adalah identik dengan kepatuhan, kesalehan, kelurusan, perilaku baik, teguh melawan kejahatan, takut kepada Tuhan, dan kesadaran akan Tuhan.

Apa yang baru saja, saya sampaikan di atas mengenai pandangan Murata dan C. Chittick terkait “takwa” maka bisa bermakna sebagaimana respon awal saya di grup WhatsApp tersebut bahwa, takwa adalah puncak dari valensi. Bisa pula dimaknai hasil dari valensi umat Islam. Terkesan pula bahwa “takwa” lebih sebagai to be.

Selain penegasan firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13 di atas, di mana “takwa” bisa dipandang sebagai nilai, bobot, dan/atau takaran kemuliaan seseorang di sisi Allah, Murata dan C. Chittick pun menyimpulkan bahwa di antara sinonim ihsan, yang paling penting adalah “takwa”. Padahal ihsan dan/atau pun yang dimaknai sebagai spiritualitas ihsan adalah bobot dan takaran utama umat Islam, khususnya dalam kehidupan sosial, yang sekaligus sebagai bentuk refleksi dan implikasi keimanannya yang kokoh ke dalam kehidupan sosial.

Ihsan, yang oleh Murata dan C. Chittick sinonim dengan takwa, adalah kualitas ideal diri manusia. Ihsan yang sinonim dengan takwa dipahami pula mampu mengarahkan motivasi dan kualitas psikologis seseorang agar harmonis dengan aktivitas dan pemahamannya.

Untuk diketahui bahwa Murata dan C. Chittick punya pandangan menarik antara Islam, Iman, dan Ihsan sebagai sesuatu yang dikenal tiga pilar Islam. Islam fokus pada wilayah aktivitas, sedangkan iman fokus pada wilayah pemahaman. Islam memberikan petunjuk apa yang seharusnya mereka lakukan, sedangkan iman memberikan pemahaman mengapa mereka perlu melakukan apa yang dilakukannya itu. Sedangkan ihsan, sebagaimana telah ditegaskan di atas fokus pada motivasi dan kualitas psikologisnya.

Sama halnya, ketika suatu tindakan, perbuatan atau perilaku yang dilakukan didasari atas landasan takwa, maka bisa dipastikan hal tersebut akan melewati proses di atas rel aturan, koridor etika, dan dalam bingkai kebenaran, kebaikan dan kepatutan. Tidak ada satu pun perbuatan, yang dilakukan atas dasar takwa dan berujung pada hal negatif, destruktif, nir etika, dan amoral.

Takwa akan melindungi setiap diri manusia dari sesuatu yang berbahaya; Takwa akan senantiasa memfokuskan diri umat Islam pada ingatan dan kesadaran akan kehadiran Allah, ke mana dan di mana pun dirinya berada. Orang yang bertakwa akan menyadari bahwa setiap perbuatannya akan diawasi dan disaksikan oleh Allah.

Dari buku The Vision of Islam karya Murata dan C. Chittick ini pun, saya bisa melihat, membaca, dan memahami dengan baik bahwa banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menegaskan tentang urgensi, signifikansi dan implikasi dari “takwa”. Bahkan dari buku ini pula kita bisa memahami bahwa, dari sekian banyak ayat al-Qur’an kata takwa jauh lebih banyak dari pada ayat-ayat tentang keikhlasan dan yang lainnya yang berkaitan dengan ihsan.

Maka sekali lagi, saya yakin tidak keliru jika dikatakak atau disimpulkan bahwa takwa adalah valensi utama umat Islam dan/atau takwa adalah puncak tertinggi dari valensi Muslim.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

[metaslider id="39673"]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *