Oleh: Daniel Mohammad Rosyid*
Pada peringatan Milad ke-109 Muhammadiyah bertema Optimis Hadapi Covid19 Menebar Nilai Utama, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir memberi amanat agar bangsa Indonesia menjaga optimisme, semangat kebersamaan dan persatuan serta menghilangkan kepentingan sempit kelompok. Dengan nilai-nilai utama itulah bangsa Indonesia dapat terus maju dengan penuh karakter dalam menghadapi persaingan peradaban global.
Ini tentu amanat yang penting diperhatikan. Saya akan memberi catatan kecil agar amanat itu wujud tidak hilang ditiup angin. Catatan ini sekaligus sebuah tantangan bagi Muhammadiyah. Pertama, semangat kebersamaan itu secara serius dihambat oleh model pembangunan yang justru memperlebar kesenjangan dan ketimpangan. Terlalu menekankan pada daya saing telah mengorbankan daya sanding yang dibutuhkan dalam membangun kebersamaan dan persatuan. Jabodetabek akan selalu memiliki daya saing tinggi dalam menarik investasi dibanding Papua atau Nusa Tenggara dengan ketersediaan sumberdaya manusia, listrik, dan prasarana yg sangat terbatas. Konsumsi energi perkapita di Jabodetabek mencapai 5 kilo-liter setara minyak pertahun, sementara di Papua hanya sepersepuluhnya.
Ketimpangan ekonomi sebagian besar disebabkan oleh sistem ekonomi ribawi yang kita warisi sejak Konferensi Meja Bundar 1949. Kapitalisasi perbankan syariah hari ini masih belum berarti dibanding perbankan konvensional. Tanpa menghapus riba, ketimpangan sosial dan penjarahan kekayaan alam nasional akan terus terjadi melalui perdagangan regional/global yang tidak adil. Human trafficking yang masih terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia masih terus terjadi sebagai modern slavery Sebagai sesama bangsa Melayu-muslim tentu ini memalukan bagi kedua bangsa ini. Muhammadiyah harus menetapkan sebuah peta jalan kapan Indonesia lepas dari cengkraman riba. Mengatasnamakan kedaruratan untuk menerima riba sudah tidak bisa diterima lagi.
Dengan membangun ekonomi bebas riba, Muhammadiyah mulai bisa memasuki sektor ekonomi yang lebih luas – tidak cuma di sektor pendidikan dan kesehatan- dengan membangun lembaga pembiayaan sendiri, pabrik-pabrik berbagai produk consumer goods, sampai pabrik kapal dan laptop, serta mengoperasikan satelit dan jaringan internet. Satuan-satuan produktif itu diiintegrasikan dengan Sisdikmuh yang menghasilkan warga muda trampil, berkarakter serta enterpreneurial pada umur 18tahun. Saatnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah lebih fokus pada inovasi dan knowledge creation bukan sekedar menutup-nutupi kegagalan pendidikan menengah melahirkan warga muda yang mandiri, sehat dan produktif. Melalui penciptaan lapangan kerja domestik, ekspor TKI/W yg sering bermasalah menjadi perbudakan terselubung bisa dikurangi dan dihentikan sama sekali.
Dalam menghadapi covid-19, Muhammadiyah perlu mengembangkan model manajemen Covid-19 yang lebih promotif dan preventif. Manajemen covid19 yang diterapkan selama hampir 2 tahun belakangan ini perlu dievaluasi secara kritis. Potensi bonus demografi yang rusak akibat pembatasan mobilitas untuk mencegah penularan harus diganti dengan paradigma peningkatan imunitas. Pembatasan mobilitas lokal telah menghancurkan banyak sektor strategis. Oleh karena itu, ke depan sambil menerapkan karantina wilayah, mobilitas lokal justru perlu tetap dipertahankan agar sektor pendidikan dan ekonomi serta pasar lokal tetap bergerak mungkin dengan laju yang lebih rendah. Masyarakat perlu tetap aktif secara fisik dan mental agar imunitasnya tetap tinggi. Defisit kompetensi dan mental-spiritual akibat penutupan sekolah dan tempat-tempat ibadah tidak perlu dilakukan lagi.
Kedua, sistem persekolahan Muhammadiyah perlu direposisi untuk menghadapai internet dan pola belajar baru dengan lebih melibatkan keluarga, masjid dan masyarakat. Persekolahan tidak mungkin kembali seperti dulu sebelum internet ada dan pandemi melanda. Warga muda harus lebih dilibatkan dalam berbagai kegiatan masyarakat agar mengenal potensi-potensi lokal agro maritim yang melimpah. Universitas Siber Muhammadiyah sudah tepat, tapi remaja dan warga muda memerlukan pengalaman konkrit 3-dimensi yang penuh tantangan mental dan fisik di ruang terbuka dan di masyarakat. Terlalu awal pembelajaran secara virtual tidak menyehatkan dan kurang mencerdaskan karena tanpa tantangan fisik dan mental serta intelektual yang berarti. Saya berkeyakinan, Muhammadiyah yang memiliki spirit kepeloporan akan mampu menjawab tantangan ini.
* Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya