Oleh: Sangaji Furqan Jurdi
(Ketua Bidang Organisasi Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Makassar Timur)
KHITTAH.co- Pergolakan politik yang terjadi akhir-akhir ini, mengingatkan kita khususnya Umat Islam akan kondisi di tahun-tahun 1956-1960, di mana pergolakan politik dan singgungan politik antara Islam dan Negara, yang akhirnya berujung pada kemenangan Komunisme di hati presiden Soekarno.
Setelah dilaksanakan pemilihan umum pada tahun 1955 dibawah Kabinet Burhanuddin Hararap, dari 45 tanda gambar yang ikut, hanya sepuluh yang berhasil memperoleh kursi. Diantara sepuluh partai itu, muncul empat partai pemenang, yakni PNI dan Masyumi, masing-masing mendapat 57 kursi di parlemen, NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi.
Walaupun sudah keluar partai pemenang, presiden memiliki hak penuh untuk menunjuk formatur Kabinet. Pada waktu itu dari pihak PNI mencalonkan Ali Sastroamijojo dan Wilopo, namun presiden lebih senang kepada Ali. Dengan tokoh ini Soekarno ingin mewujudkan mimpinya pada tahun 1920-an yaitu bersatunya tiga aliran, yakni Nasionalisme, ISlamisme dan Marxisme. Kabinet yang dicita-citakan oleh Soekarno itu ialah “Kabinet Kaki Empat” yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Namun rupa-rupanya kedua partai Islam, Masyumi dan NU menolak untuk berkoalisi dengan PKI. Melihat kondisi yang demikian terpaksalah Ali membangun koalisi nasionalisme-Islam sambil mengajak partai-partai kecil lainya untuk memperkuat sokongan parlemen.
Mendengar itu Soekarno marah besar, “Saudara sebagai formatur bertindak tidak adil kepada PKI. Mengapakah suatu partai besar yang mendapat suara dari rakyat lebih dari enam juta itu, tidak kau ikutsertakan dalam Kabinet baru. Ini tidak adil. Kata Soekarno. Ali hanya menjawab bahwa itulah hasil maksimum yang bisa dicapainya, karena partai Islam menolak keras partai Komunis, dan bahkan orang-orang yang bergaya komunis sudah ditampik. Dalam kondisi terpojok Ali pasrah, dan hanya menunggu presiden menyetujuinya atau tidak.
Namun soerarno tidak langsung menolak, ia meminta waktu untuk berpikir selama seminggu. Perngulurang waktu tersebut menimbulkan spekulasi dalam masyarakat, ada ketidakserasian antara presiden dan formatur. Ternyata waktu seminggu itu dipakai Soekarno untuk memanggil tokoh-tokoh NU dan Masyumi ke istana. Soekarno mendesak Masyumi dan NU agar mau mengukitsertakan PKI dalam Kabinet. Namun sikap Masyumi melalui ketuanya Dr. Sukiman Wirjosanjojo dan KH. Idham Chalid tetap menolak. Dalam keadaan demikian Soekarno akhirnya terpaksa menyetujui Kabinet yang diajukan Ali, dengan mengatakan bahwa Kabinet itu ibarat kuda yang kakinya hanya tiga. Maka berjalanlah Kabinet Ali kedua atau yang lebih dikenal dengan sebutan kebinet Ali-Roem-Idham (ARI).
Dari sikapnya itu Soekarno tidak saja berlawanan dengan etika demokrasi parlemen, tetapi juga tidak dibenarkan oleh UUD Sementara 1950. Sebenarnya sebagai Presiden Konstitusional, ia hanya menolak dan menyetujui anggota Kabinet yang diajukan oleh formatur, tapi Soekarno adalah Soekarno, yang sudah sejak lama merasa tidak puas dengan kedudukannya sebagai presiden seremonial, ataupun presiden “tukan stempel” saja.
Dapatlah kita ketahui bahwa sejak awal Kabinet Ali kedua banyak menemui kesulitan karena perbedaan pandangannya dengan presiden dalam menjalankan programnya. Kemajuan-kemajuan yang dicapai terdesak ke belakang terutama terjadinya pemogokan oleh Serikat Buruh yang dimotori oleh PKI yang makin leluasa dibawah pelindungan Soekarno, sehingga rencana peningkatan produksi menjadi lumpuh. Pembangunan daerah terbengkalai, sehingga menimbulkan pergolakan dan protes dimana-mana. Harga kebutuhan pokok di masa Kabinet Burhanuddin Harapa yang relative stabil, meningkat semakin tajam. Gerakan anti-Cina menyebar di berbagai kota dan menimbulkan beberapa insiden kekerasan. Keamanan yang sudah mantap terutama saat-saat pemilihan umum, menjadi kacau lagi. Terjadi pengungsian besar-besaran diberbagai daerah, khususnya di Sumatera, Sulawesi, Aceh dan Jawa Barat.
Kesulitan yang paling serius dihadapi oleh Kabinet Ali adalah terjadinya penyelundupan berskala besar diberbagai daerah-daerah, yang memiliki latar belakang politik. Kolonel J.F. Warow dan Letnan Kolonel Andi Mattalata di Sulawesi, dan Kolonel M. Simbolon di Sumatera Utara, menyatakan secara terang-terangan berdiri di belakang penyelundupan-penyeluntupan tersebut. Dan alasan mereka jelas, bahwa dengan sikap inilah daerah-daerah diperhatikan. Dimana gaji pegawai, prajurit dan membiayai operasi militer.
Selain itu kesulitan yang lain yang dihadapi oleh Kabinet Ali adalah timbulnya kecaman-kecaman keras terhadap berbagai korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Kecaman itu tidak saja muncul dari Koran PKI, tetapi juga Koran-koran satelit PSI, terutama Indonesia Raya pimpinan Muchtar Lubis. Koran terakhir ini dengan keras menyebutkan adanya korupsi yang dilakukan oleh seorang keturunan Cina bernama Lie Tok Hay, yang menjabat pimpinan disebuh percetakan Negara. Kasus Lie ini melibatkan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani. Sehingga pada tanggal 13 Agustus 1956 terjadilah penangkapan atas diri Roeslan ketika hendak ingin pergi ke London untuk menghadiri Konferensi Terusan Suez oleh Sejumlah Militer atas perintah Deputi KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Namun akhirnya Roeslan di lepas lagi atas perintah PM Ali yang merangkap menteri pertahanan. Kasus penangkapan diri Roeslan menyebabkan merosotnya wibawa Kabinet, walaupun Muhammad Roem mengclearkan keterlibatan Roeslan dalam kasus tersebut. Namun segera Muchtar Lubis menyiapkan foto copy bukti keterlibatan ROeslan dalam Kasus Lie Tok Hay, Kabinet pun menjadi kehilangan muka.
Akhir November 1956, setelah delapan bulan memerintah, pamor Kabinet Ali menurun tajam. Keadaan ini mendorong daerah-daerah, untuk lebih memperhebat tekanan-tekanan kepada, supaya pusat memberikan perhatian khusus kepada daerah. Pada tanggal 1 Desember 1956 Wakil Presiden Moh. Hatta mengundurkan diri karena perbedaan pandangan dengan Soekarno yang lebih mesra dengan komunis. Pengunduran diri Hatta ini melipatgandakan ketidakpuasan daerah-daerah kepada pusat. Banyak orang diluar Jawa, terutama Sumatera menganggap sosok Hatta sebagai wakil mereka. Aksi Saling tuduh menuduh dalam diri militer tentang “antek jawa” pun muncul seperti tuduhan Simbolon dan Zulkifli Lubis kepada Nasution yang menjadi “antek” Soekarno dan Ali.
Ditengah pertentangan politik yang tajam antara pusat dan daerah-daerah, maka di Padang pada tanggal 20-24 November 1956, diadakanlah reuni perwira-perwira, bekas devisi Banten yang dibubarkan oleh Nasution. 746 orang diberitakan hadir dalam reuni itu, termasuk Letnan Kolonel Barlian, Komandan Distrik Militer Sumatera Selatan. Hasilnya ialah terbentuknya Dewan Banteng yang diketuai oleh Kolonel Ahmad Husen, Komandan Resimen Militer Sumatera Tengah. Dalam bulan November itu pula Kolonel Zulkifli Lubis mendesak Simbolon untuk memutuskan hubungan dengan pemeritah pusat, bila tuntutan daerah tidak digubris oleh pusat.
Tanggal 20 Desember 1956, Ahmad Husen mengambil alih pemerintah Sipil di Sumatera Tengah dari Ruslan Muljohardjo. Simbolon melakukan tindakan serupa di Sumatera Utara, ia mengambil alih kekuasaan sipil dan menyatakan keadaan darurat berlaku diseluruh wilayahnya. Dua hari kemuadian Barlian melakukan control politis terhadap pemerintah sipil di Sumatera Selatan. Pada tanggal 15 Januari 1957, Barlian dan Alamsjah, membentuk Dewan Garuda, yang praksis berkuasa di Sumatera Selatan.
Tindakan serupa juga terjadi di Sulawesi. Tokoh-tokoh Militer seperti Vantje Sumual, D. Somba, Saleh Lahade dan lain-lain segera membentuk dewan-dewan serupa di Sulawesi. Tanggal 2 Maret 1957, Saleh Lahade membacakan Piagam Perjuangan Semesta, yang mengandung tuntutan kepada pusat, dan kejadian ini adalah awal berdirinya Permesta.
Tanggal 9 Januari 1997, Masyumi menarik menterinya dari kebinet, karena perbedaan pandangan mengenai penanganan kesulitan yang dihadapi oleh Negara. Dari statemen 12 point yang ditandatangani oleh Mohammad Natsir dan M. Yunan Nasution, dapat diketahui dengan jelas bahwa sebab terpokok penarikan mereka dari koalisi adalah karena Ali dan Nasution telah merencanakan untuk menghadapi geraka-gerakan daerah dengan kekerasan militer, sedangkan Masyumi menginginkan agar masalah itu diselesaikan secara damai dan mengembalikan dwi-tunggal Soekarno-Hatta.
Dalam polemic politik yang semakin suram itu, presiden setelah kembali melakukan lawatan keluar negeri ia menyampaikan sebuah konsepsi. Dalam pidatonya pada peringatan hari sumpah pemuda di hadapan para pemuda, Soekarno menyampaikan keinginan setelah bermimpi di Sianghai, dan pada hari ini ia bermimpi lagi, mimpinya itu ingin menguburkan partai-partai politik. Ketika semua orang masih menunggu apa yang sebeanrnya diinginkan oleh Soekarno, muncullah Natsir yang memberikan reaksi, di Koran Abadi, 30 Oktober 1956, Natsir mengatakan bahwa nampaknya presiden mulai merasa banyak hal yang tidak memuaskan. Rupa-rupanya, sebab-musabab dari semua yang tidak memuaskan itu adalah partai-partai. Maka Natsir menjelaskan pendirian demokrasinya, bahwa semasih demokrasi itu ada maka partai politik harus ada, dan apabila partai politik dikubur, demokrasi pun turut pula, yang tinggal berdiri diatas kuburan itu diktatur. Kata Natsir.
Reaksi terhadap konsepsi itu cukup seru. Beberapa partai seperti PKI, Murba dan PNI menyokong konspesi itu. Tapi partai-partai agama seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik dan Partai Rakyat Indonesia menolak konsepsi itu dengan cara dan gaya masing-masing. Dalam pernyataan bersamanya tanggal 9 Maret 1957, mereka menilai bahwa konsepsi itu harus diserahkan kepada Dewan Konstituante, karena menyangkut perambakan struktur ketatanegaraan secara fundamental. Bahkan Bung Hatta semenjak mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, untuk kali pertamannya menanggapi dengan keras Konsepsi itu pada tanggal 1Maret 1957.
Dalam kondisi yang demikian Kabinet Ali kedua tidak berdaya lagi dengan mundurnya Masyumi dari koalisi, yang akhirnya tenggelam daram hiru biru konsepsi. Pada tanggal 14 Maret 1957 Ali mengembalikan mandar kepada Soekarno dan diterima dengan baik. Pada saat pengembalian mandate itu sejumlah pemimpin militer yang hadir untuk mendesak Ali supaya menandatangani pernyataan keadaan bahaya (SOB). Dengan berat hati Ali menandatangani. Keabsahan Penyataan SOB ini mengundang kritik yang tak bereksudahan. Natsir mempertanyakannya, karena tidak bisa seorang Perdana menteri Demisioner menandatangani penyataan kondisi Darurat Negara. Tetapi orang seperti Soekarno, Nasution, dan Suryadharma mengerti betul apa yang dimaksud SOB itu. Berarti kebebasan politik dan pers di bungkam, rapat umum dilarang, dalam keadaan yang demikian tersedialah jalan mulus bagi bagi Soekarno dengan dukungan penuk pihak militer untuk menjalankan kemauannya dalam konsepsi itu. Dan ternyata memang menurut Yusril bahwa dengan konsepsi presiden itu menjanjikan golongan fungsionaris masuk dalam Kabinet maupun parlemen. Inilah titik awal keterlibatan militer ke politik secara langsung dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Di bawah gejolak politik yang tertekan akibat SOB, Soekarno dalam bulan Maret itu memanggil tokoh-tokoh di Istana, sekitar 70 orang hadir, duduk berhadapan dengan Soekarno, yang didampingi oleh Petinggi-petinggi militer. Semua yang hadir diberi amplop untuk menulis satu kata setuju atau tidak duduk di Kabinet gotong royong. Semua proses itu berlangsung sepuluh menit. Hanya beberapa partai politik yang terang-terangan tidak ingin duduk bersama dengan PKI dalam Kabinet gotong royong, diantaranya Muhammada Natsir (Ketua Masyumi), dan Kasimo (ketua Partai Katolik). NU yang semula menolak konsepsi, malam itu juga melalui Idham Chalid menyatakan setuju ikut Kabinet Gotong Royong. Ini berarti NU yang mula-mula menolak duduk bersama PKI, akhirnya besedia duduk semeja dengan PKI.
Lalu presiden soekarno menunjuk Ketua umum PNI Suworjo, untuk menyusun Kabinet berikutnya, suatu penunjukan yang semula-mula ditolak oleh DPP PNI, tapi akhirnya diterima juga. Dua kali Suwirjo menyusun formatur namun gagal. Alasanya sederhana, karena partai-partai agama (Masyumi dan Partai Katolik) menolak untuk menyusun Kabinet atas selera Soekarno. Akhirnya Soekarno kehilangan kasabaran lalu membentuk Kabinet atau yang disebut “Zaken Kabinet Darurat Ekstra Parlementer”, yaitu presiden Republik Indonesia menunjuk warga Negara Indonesia, Dr. Ir. Soekarno sebagai formatur. Sesuatu tindakan yang mengherankan ditinjau dari segi tatanegara Indonesia.
Presiden tidak membentuk Kabinet Presidentiil, karena ia mengangkat Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana Menteri. Itulah sebabnya Masyumi melalui Mawardi Noor, anggota parlemen pada waktu itu menyatakan, bahwa Kabinet itu adalah “Kabinet Haram jadah”. Karena Kabinet katanya adalah anak kandung parlemen, tapi Kabinet ini kata Mawardi dibentuk diluar parlemen. Sampai akhir hanyatnya Masyumi tetap konsisten dengan garis perjuangannya.
Dalam kondisi politik yang memanas tanggal 7 dan 8 September 1957, dibawah situasi politik nasional yang semakin memanas, di Sungai Dareh di adakanlah pertemuan tokoh pergolakan daerah. Semua petinggi militer dari Sumatera dan Sulawesi, yang akhirnya melahirkan Piagam Palembang yang berisi enam point yang sangat penting diantaranya, dipulihkannya dwitunggal Soekarno Hatta, Pergantian pimpinan TNI, Desentralisasi, pembentukan senat, perbaikan dan penyederhanaan aparatur Negara, dan pelarangan komunisme.
Tanggal 5 Oktober 1957, intimadasi PKI terhadap tokoh-tokoh yang berseberangan dengan Soekarno semakin tinggi. Kemudian pada tanggal 30 November 1957 terjadi usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno disebuah sekolah dasar di Cikini Raya Jakarta. Desas-desus yang tidak terbukti sampai hari ini menyatakan bahwa Kolonel Zulkifli Lubis adalah otak dari kejadian tersebut.
Di Jakarta terjadi demo anti Belanda, karena Indonesia dikalahkan oleh Belanda dalam perdebatan di PBB terkait status Irian Barat. Demonstrasi itu di organisir oleh SOBSI, Organisasi Serikat Buruh di bawah PKI, dan mereka menduduki semua perusahaan asing. Menteri Kehakiman mengeluarkan instruksi mengusir semua warga Negara Belanda di Indonesia. Kebrutalan terhadapa warga Negara Belanda terjadi di mana-mana. Sikap pemenrintah yang pasif terhadap warga Negara Belanda itu dikritik oleh Natsir dan Kasimo, karena menurut mereka tindakan seperti ini akan memperburuk citra Indonesia di mata Internasional, sekaligus menyulitkan Indonesia untuk mencari legitimasi internasional terkait status Irian Barat. Kritik Natsir ini membuat Harian Rakyat sebagai corong PKI menuduh Natsir sebagai antek imperialis dan bermaksud hendak melindungi kolonialisme. Akibatnya Natsir menerima ancaman dari berbagai sudut, bahkan rumah Natsir dikepung oleh pemuda-pemuda PKI, sedangkan polisi nampaknya tenang-tenang saja menyaksikan ancaman tersebut. Karena mendapatkan perlakuan demikian Natsir dan tokoh-tokoh Mayumi lainnya melaporkan ke Kejaksaan Agung, dan kepolisian. Apa yang terjadi? Polisi dan Jaksa Agung tidak merespon laporang itu.
Akhirnya Harian Rakyat Koran corong PKI itu semakin menjadi-jadi dan bahkan mengaikan Natsir dengan rencana pembunuhan presiden di cikini. Dalam keadaan demikian Natsir dan Syafruddin Prawiranegara diam-diam meninggalkan Jakarta menuju Sumatera, karena keamanan pribadi mereka tidak dijamin di ibukota. Sementara itu Dr. Soemitro Djojohadikusumo, seorang tokoh PSI ikut pula bergabung ke Padang, setelah tiap hari dicaci oleh Koran PKI dengan berbagai tuduhan dan korupsi. Di Padang ikut pula Saladin Sarumpaet, tokoh partai Kristen Indonesia.
Di Padang diadakalnlah pertemuan tokoh-tokoh daerah pada tanggal 10 Februari 1958 atas prakarsa colonel Dahlan Djambek, yang diikuti oleh tokoh-tokoh militer di Sumatera dan tokoh nasional yang ke Padang untuk mengamankan diri. Hasil pertemuan itu melahirkan Dewan Perjuangan yang beranggotakan 16 orang yang terdiri atas 11 tokoh militer, dan 5 orang tokoh sipil. Dengan terbentuknya dewan Perjuangan ini mereka mengeluarkan ultimatum kepada puasat untuk segera mengindahkan tuntutan Dewan Perjuangan itu lima hari setelah dibacakan oleh Ketua Dewan Perjuangan Kolonel Ahmad Husein melalui RRI Padang. Ultimatum yang intinya adalah agar dalam waktu lima hari Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandate kepada Presiden, dan dibentuk kabiner baru dibawah Hatta dan Hamengkubuwono IX, sebagai tokoh yang dapat diterima oleh semua pihak. Kemudian meminta kepada Presiden Soekarni Untuk menaati Konstitusi baik dalam kata maupun perbuatan. Apabila tuntutan itu tidak diindahkan maka mereka berhak untuk tidak taat kepada Presiden Soekarno, dan itu menjadi tanggungjawab Soekarno sendiri.
Setelah lewat lima hari maka berdirilah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Natsir sendiri tidak duduk dalam Kabinet. Di Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipelopori oleh Perwira militer yang mayoritas beragama Kristen untuk menyokong berdirinya PRRI. Maka disebutlah sebagai PRRI/Permesta.
Kejadian-kejadian itu, yang akhirnya menjadi korban adalah partai-partai agama, khususnya partai Islam Masyumi. Karena alasan pemberontakan itu, maka Presiden melalui Kepres 200 Tahun 1960 pada tanggal 17 Agustus 1960, Masyumi dibubarkan. Walaupun tokoh Masyumi terutama sekali Prawoto Mangkusasmito sebagai Ketua Umumnya mengatakanbahwa masyumi PRRI Inkonstitusional. Namun Soekarno tetap membubarkan partai tersebut. Akhirnya PKI menang dan pada tanggal 30 September PKI “memakan bapaknya sendiri”, dengan kejadian yang mengerikkan dalam sejarah, dan berakhirnya Komunisme di Indonesia.
Dari penjelasan panjang di atas, pembaca tinggal menilai bagaimana pada awal pemerintahan Jokowi-Jk, di mana kegaduhan politik, dualism DPR yang membingungkan kita dari sudut pandang tata Negara, adanya intervensi pemerintah terhadap Partai Politik, jatuh-bangun cabinet, dan berbagaimacam hiruk-pikuk bangsa yang tidak ada akhir. Propaganda media yang dimainkan hamper sama dengan apa yang dilakukan oleh Koran Harian Rakyat kepada Natsir dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Rakyat Indonesia, tinggal melihat bagaimana korelasinya dengan kondisi sekarang sehingga kejadian itu bisa dikatakan menuju pada kesamaan. Soekarno anti Amerika dan Eropa, tapi bergandengan tangan dengan komunisme Uni Soviet, sedangkan rezim yang sekarang bagaimana? Tinggal kita menilai dengan jujur. Dan bagaimana pula Islam dan ulama dimata pemerintahan sekarang dengan kejadian yang menghebohkan kondisi bangsa hari ini?
Wallahualam bis shawab
Sumber Referensi.
- Badruzzaman Busyairi, Buku Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution (1985), PT. Pustaka Panjimas Jakarta.
- Fatahullah Jurdi, Sejarah Politik Indonesia Modern, (2016) Calpulis, Yogyakarta.
- C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2010) PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
- Yusril Ihza Mahendra, dalam Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah (2011), Harian Republika, Jakarta.