Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiOpini

Tentang Nihilisme di Tahun Baru Islam

×

Tentang Nihilisme di Tahun Baru Islam

Share this article
Sumber Ilustrasi: suaraindonews.com

Oleh: Ermansyah R. Hindi

Anggota Kelompok Pasca-Kiri Baru/ Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto

KHITTAH.CO- Nihilisme seperti bangunan besar nan megah¾ serba mewah tidak bernilai apa-apa. Nihilisme tidak lebih sebuah bangunan gelap dan bernoktah sempurna sebagai akhir dari zaman. Segalanya adalah penghancuran tatanan kenampakan, yaitu kelenyapan bukan manusia sebagai tubuh, juga bukan manusia sebagai makna dan spesies, melainkan penghancuran esensi “manusia yang telah mati” melebihi sosok nihilis.

Dalam istilah nihilisme, kata “nihil” tidak menunjukkan ‘ketidakberadaan’, melainkan menunjukkan “nilai nol”. Kehidupan memiliki nilai nol sejauh ia ditolak dan diperosotkan. Nihilisme bukanlah tubuh yang berbicara, menulis dan berpikir, tetapi pergerakan spontan dari pria dan wanita menuju titik akhir dari dirinya sendiri. Manusia sebagai eksistensi yang meragukan tidak dapat mengubah nilai lama apa-apa lagi yang ditinggalkan dalam ruang nihilisme atas nalar yang sekarat.

Nihilisme menihilkan “ketiadaan”, sebab dengannya meninggalkan “ketiadaan yang tidak terpikirkan”. Hal ini bukan sesuatu yang membuat kita gila, yang menyebabkan kita sedih, tetapi lebih daripada pupusnya harapan. Kita melihat bahwa ada tiga tahapan nihilisme Nietzschean: (i) Tuhan; (ii) perkemanusiaan; dan (iii) “manusia yang terakhir”, dimana beban berat yang kita pikul di atas pundak kita sendiri serentak kita tidak mampu lagi memikul beban begitu melelahkan.

Ada bentuk nihilisme estetika (dandyisme); bentuk nihilisme teknologi-genetika (robotik, kloning); bentuk nihilisme birokrasi-politik (korupsi), bentuk nihilisme metafisika dan sejarah (terorisme). Seluruh kehidupan akhirnya menjadi tidak nyata, ia digambarkan sebagai penampilan, yaitu penampilan palsu. Ia memiliki nilai nol dalam keseluruhannya.

Singkatnya, gagasan tentang dunia lain, tentang dunia super-layak dalam segala bentuknya (Tuhan, moral, esensi, kebaikan, kebenaran), gagasan tentang nilai-nilai yang lebih tinggi dibandingkan kehidupan bukanlah contoh dari sekian banyak contoh, tetapi merupakan elemen pembentuk semua fiksi bahkan penciptaan ilusi.

Dari nilai-nilai kehidupan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh-pengaruhnya: pemerosotan kehidupan, pengingkaran atas dunia ini. Jika mereka dipisahkan dari pengaruhnya, maka hal itu terjadi karena prinsip mereka adalah kehendak untuk menolak, untuk memerosotkan.

Nihil dalam nihilisme berarti cara kelenyapan pesona, kelenyapan sebagai kualitas dari ketelanjangan apa-apa yang kita kagumi dan tidak dilihat secara kasat mata. Namun demikian, dalam arti dasar dan pokonya, nihilisme menandakan nilai nol yang diambil oleh kehidupan, fiksi, dan ilusi tentang nilai-nilai yang lebih tinggi dari obyek (barang belanjaan, produk konsumen), dari hiperealitas (nge-mall, belanja virtual, uang virtual) yang memikat dan merayu itulah yang memberinya nilai tersebut dan hasrat yang tidak terbebaskan melalui simulasi.

Sebaliknya, kekacauan cara kenampakan dari kehidupan sampai kekuatan menghilang melalui keruntuhan dari dalam. Nihilisme memiliki arti yang dalam hal ini lebih berkaitan dengan bahasa dan logika non-dialektis, berkaitan dengan dengan hamparan dan gelombang peristiwa.

Tidak ada yang benar, tidak yang baik. “Di sini salju; di sini kehidupan telah membisu; burung-burung gagak terakhir yang meneriakkan suaranya terdengar di sini’Mengapa?’, ‘sia-sia’, nada!¾ di sini tidak ada lagi yang tumbuh atau berkembang” (Nietszche, Genealogy of Moral III 26, hlm. 157).

Sebelumnya, kehidupan dijatuhkan dari ketinggian nilai-nilai yang tinggi; ia ditolak demi nilai-nilai yang sama. Di sini sebaliknya, ada kehidupan yang masih ada, tetapi ia masih tetap kehidupan telah jatuh yang sekarang terus berlangsung dalam suatu dunia tanpa nilai, tanpa cermin, terpisahkan dari makna dan tujuannya telah hancur. Kehidupan manusia tergelincir lebih jauh lagi menuju kelenyapan dirinya sendiri yang tidak terbayangkan (pikiran dan hasrat dimaterialisasi melalui tubuh), akhirnya terjatuh kedalam kehampaan yang tidak terkira.

Hanya kekosongan atau kenihilan pada dandanan, bahasa, dan realitas yang mendasari kebanggaan pada ketelanjangan obyek; ilusi atas makna, dimensi ironis dari bahasa dan permainannya yang menukik tajam dan penuh teka-teki. Dunialah, bukan fenomena biasa yang harus diungkap, ia bukan sebagai keunggulan nilai-nilainya atau kebenarannya, tetapi kepura-puraan, akhirnya melebihi ilusi dari realitas.

Bandingkanlah seseorang yang menyenangi untuk melipatgandakan citra tontonan sejalan dengan melipatgandakan uang! Lihatlah diriku, “cantikkan”, “gagahkan”! Meskipun dipolesi, dimake-up, dan ditopengi membuat realitas tidak mampu berkutik lagi karenanya (Indonesia: diferensi “gincu” dan “garam”).

Lebih umum lagi fenomena “bedah plastik” atau bedah silikon, atau kloning. Lihatlah juga kekerasan simbolik orang tua membunuh anaknya atau anak membunuh orang tuanya. Ia bukan lagi permainan simulasi dan kisah artifisial melalui media massa. Mengilusikan gambar berarti menambah lebih nyata peristiwa kejahatan melalui media yang memproduksi nihilisme. Fenomena ini telanjang tidak mengenal teritorial. Peristiwa tragis tidak dapat dipandang remeh dan tidak ditata ulang dengan hitungan jam mundur.

Peristiwa tinggallah peristiwa yang hanya suatu saat peristiwa berulang-ulang dalam keadaan yang berbeda. Mengumbar ilusi adalah kesenangannya. “Saya adalah nihilis”, “Anda siapa”? Orang-orang lebih terpikat pada media daripada pesannya, terbujuk bentuk dibandingkan isinya, tergiring pada penanda dibandingkan petanda, tertantang oleh wujud seksual dibandingkan wujud fisiknya.

Semuanya dibentuk dengan jejaring nihilisme metafisika dan kebudayaan massa. Tarian telanjang memiliki peranan seperti peranan produksi hasrat dengan permainan erotis, sama dengan stamina spiritual. Ia melampaui bukan memecahkan, dimana dunia berada dalam ilusi dan kita semakin menihilkan kelenyapan makna.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply