Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Terjebak Ekstasi Kecepatan dalam Dunia yang Berlari

×

Terjebak Ekstasi Kecepatan dalam Dunia yang Berlari

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Saya memiliki sejumlah buku karya Yasraf Amir Piliang: buku Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kehidupan; buku Dunia yang Berlari; Buku Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi; danbuku Hipersemiotika. Saya pun sering membaca karyanya. Adalah Muhidin M. Dahlan menegaskan “Esai-esai Yasraf Amir Piliang mengajak kita bertamasya pada sejumlah istilah-istilah ‘baru’ yang menyihir di sekujur esainya:…” (2017:50). Saya sepakat dengan penilaian Muhidin ini. Meskipun tergolong bacaan “berat”, tetapi saya senang dan menyukainya.

Membahas “Ekstasi Kecepatan dalam Dunia yang Berlari”, saya tidak bisa melepaskan diri dari karya Yasraf. Saya menjadikan buku karya Yasraf, sebagai referensi utama. Kurang lebih satu atau dua bulan yang lalu, saya terinspirasi untuk menulis dengan judul di atas, meskipun baru sempat menyelesaikannya hari ini.

Saya semakin bergairah menulis dan menyelesaikannya, berawal dari pembicaraan singkat saya dengan tukang becak, dua hari yang lalu di pinggir jalan, pada saat sedang menunggu istri untuk belanja “kebutuhan-dapur”. Fenomena dan sekaligus sebagai kesimpulan dari pembicaraan kami, “pengguna jasa tukang becak semakin berkurang, karena hampir setiap orang telah memiliki kendaraan bermotor”. Selain itu, akan diuraikan lebih lanjut.   

Selain itu, saya yakin kita bisa menemukan fenomena lain, betapa bergairahnya pelajar–meskipun tidak semua atau kita sebut oknum tertentu saja, tetapi jumlahnya jauh lebih banyak–berselancar mencari jawaban atas tugas-tugas sekolahnya melalui layanan situs pencarian “google”. Masih banyak fenomena lainnya, tanpa kecuali apa yang dimaknai disrupsi, dalam pandangan saya sesungguhnya itu berada dalam logika “kecepatan” bahkan “ekstasi kecepatan”.

Dua tahun yang lalu, saya pernah naik becak dari bengkel ke jalan raya, menunggu mobil angkutan umum untuk menuju kantor KPU Kabupaten Bantaeng. Apa yang saya rasakan, betapa lambatnya laju becak tersebut. Saya tidak pernah merasakan perasaaan seperti itu, 20 tahun/lebih lama dari titik waktu tersebut. Saya yakin, bukan hanya saya yang merasakan, yang lain pun dan bisa mencobanya, akan merasakan hal yang sama.

Narasi-narasi semiotik dan tesis Yasraf mengenai “dunia yang berlari” dan termasuk “ekstasi kecepatan” nyata dalam realitas empirik. Jika sebelumnya saya mengenal jargon “diam adalah emas”, kini hal tersebut tidak kontekstual lagi, melainkan “diam adalah tergilas”. Saya ingatkan kepada pembaca, jangan pula langsung memaknai terma “diam”, seperti pemaknaan yang kita pahami selama ini.

Adalah Yasraf menegaskan “Dunia yang berlari adalah dunia yang berjalan dengan kecepatan tinggi, dengan tempo yang meningkat, dengan waktu yang dipadatkan, dengan ruang yang dimampatkan dan dengan durasi yang diringkas”.

Dari Yasraf pun, kita bisa memahami bahwa “Dalam dunia yang berlari, kecepatan bukan hanya menjadi ukuran kemajuan, tetapi menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer”. Bahkan kecepatan pun menjadi paradigma kehidupan sehari-hari, menjadi motif segala tindakan, dan kecepatan menjadi generator tindakan.

Lalu bagaimana kita memahami terkait logika “percepatan” dan “ekstasi kecepatan”. Yang dalam pandangan Paul Virilio disebutnya ilmu percepatan atau “Dromologi”. Dari Yasraf, kita bisa memahami bahwa kini dunia sedang memasuki apa yang disebutnya “era pasca industri”. Era ini ditandai dengan penaklukan ruang dan waktu dengan “kekuatan elektromagnetik”.

Yasraf pun menegaskan “Tampaknya, kini ruang telah dijelajahi sampai sudut terakhirnya (sekurang-kurangnya dalam skala global), dan waktu telah digapai mendekati batas terjauhnya (kecepatan cahaya), sehingga yang terisa kini dalam politik ekonomi dan kehidupan sosial hanya diskursus kecepatan itu sendiri.

Kecepatan pun bisa menggiring dalam kondisi ekstasi karena kecepatan–sebagaimana Yasraf membangun analogi pembalap di sirkuit–dapat mengangkat manusia menuju apa yang disebut dengan pengalaman puncak atau trance. Dan kita perlu memahami bahwa kondisi ekstasi mampu membawa diri kita dalam “kebebasan” sekaligus “memenjarakan”

Sebagaimana dikutip oleh Yasraf, bahwa Marshall Berman pun melihat “…Modernitas tidak hanya ditandai oleh dialektika kebaruan, akan tetapi juga oleh dialektika kecepatan”. Selain itu dari karya Yasraf, kita bisa memahami bahwa “Dalam wacana politik, sosial, dan budaya kapitalisme global, kekuasaan tidak lagi sekadar bersumber dari apa yang disebut Michael Foucault sebagai power/knowledge, akan tetapi juga dari power/speed–kecepatan memperoleh informasi, kecepatan mengantisipasi pasar, kecepatan menjawab kuis tebakan, [dan] kecepatan mengejar trend.

Dari narasi di atas, tanpa kecuali merasakan dan mengalami langsung kehidupan dalam realitas empirik, kita sulit melepaskan diri dari logika dan paradigma “kecepatan”. Hal ini memengaruhi nalar, sehingga apa yang dilakukan (doing), bagaimana menjalin hubungan (relation), bagaimana memaknai (meaning), apa dan bagaimana cara berpikir (thinking), dan bagaimana cara menjadi (being), senantiasa berada dalam logika dan paradigma kecepatan tersebut.

Saya merasakan, meskipun relasinya tidak langsung atau bahkan mungkin terasa “jauh”, kita pun jarang mau menggunakan jasa “tukang becak”, bukan hanya karena, kita semua telah memiliki kendaraan bermotor–buktinya kita masih sering menggunakan jasa kurir (ojek online)–tetapi karena kita selalu mau “cepat”.

Kecenderungan beberapa siswa, yang jumlahnya tidak sedikit, mencari jawaban melalui mesin pencari “google”, bukan melalui membaca buku, itu karena terjebak dalam logika “kecepatan” atau bahkan “ekstasi kecepatan”. Mereka ingin cepat selesai, mereka merasa terkejar oleh target batas waktu, “deadline”.

Sama halnya para koruptor jika, kita merenungkan maka yang mendorong sikap dan tindakannya itu, bukan hanya karena ingin kaya, tetapi ingin “cepat” kaya. Sekali lagi mereka terjebak pada logika dan paradigma “kecepatan”. Hal yang sama berlaku bagi para pengejar ijazah dan gelar akademik yang sifatnya “instan” bahkan ada yang terkesan “karbitan”.

Dari hal ini memang nampak nyata dampak daripada apa yang dimaknai sebagai “ekstasi”, sejumlah sikap, perilaku atau tindakan yang saya deskripsikan di atas, pada satu sisi itu bisa “membebaskan”, tetapi pada sisi lain, sekaligus “memenjarakan”. Bisa memenjarakan “idealitas”, “kebaikan”, “kebenaran” dan termasuk bisa memenjarakan “keadilan”.

Seperti kebiasaan siswa mencari jawaban melalui “google” itu bisa memenjarakan “keadilan”, karena berpotensi atau mengandung kemungkinan besar antara siswa yang murni menggunakan kemampuan berpikirnya dan siswa yang mengandalkan “google”, akan mendapatkan nilai yang sama dari guru atas tugasnya. Ini tidak adil sehingga dimaknai memenjarakan “keadilan” bahkan “kebaikan”. Kebaikan mengenai spirit belajar dan kemampuan mengasah otak. Bahkan bagi koruptor “ekstasi kecepatannya” terkait ingin cepat kaya bisa merasakan penjara dalam makna yang sebenarnya.

Mencermati kausalitas “Dunia yang Berlari”, adalah perkembagan teknologi digital, sehingga terkesan efeknya hanya berada dalam ruang imajiner. Ternyata efeknya atau “ekstasi kecepatan” pun terjadi di jalan yang memengaruhi data statistik Direktorat Lalu Lintas Polri, yang menggambarkan angka rata-rata kecelakaan lalu lintas yang cukup tinggi.

Terkait angka kecelakaan lalu lintas tersebut dan relasinya dengan “ekstasi kecepatan”, ada yang menarik dari Ahyar Anwar sebagai bentuk reinterpretasinya dari novel karya Gabriel Garcia Marques yang dikutipnya untuk memberikan pemahaman atau perspektif insting kematian manusia-manusia kontemporer. Hal menarik dari Ahyar tersebut, “Sehari-hari, kita menyaksikan orang-orang yang memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi untuk mengejar waktu, tetapi dengan mempertaruhkan akhir waktunya sendiri”.

Ahyar menambahkan “Juga tidak jarang kita menonton ataupun membaca berita kecelakaan mobil, bus kota, sepeda motor, dan kereta api. Mereka mengejar sesuatu yang dianggap sangat berarti bagi kehidupannya dengan mempertaruhkan kehidupan itu sendiri”. Yang digambarkan oleh Ahyar ini, saya pun menilai bahwa ini mengandung apa yang dimaknai “ekstasi”. Artinya mengandung sesuatu yang menarik, menggairahkan atau menjanjikan tetapi, sekaligus mengandung sesuatu yang harus “rela mengorbankan”. Meskipun pilihan diksi saya ini masih sangat halus.

Kecepatan–jika mengikuti cara pandang Ahyar–seringkali termanifestasi menjadi “ekstasi” yang mendorong diri kita mendekati insting kematian  dengan dorongan tidak realistis dari insting kehidupan. Hal serupa meskipun dengan diksi konotatif, berlaku bagi siswa(i) yang suka “nyontek” dan mengandalkan “google” dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Secara sederhana bisa dimaknai bahwa perilakunya itu mendorong mereka pada “kematian” (kematian akal, nalar dan kekuatan analisis otaknya) demi dorongan tidak realistis berupa “angka rapor” dan “cepat selesai”. Hal dan “rumus” yang sama berlaku bagi koruptor.

Kita sudah seringkali terjebak dalam “kecepatan”. Kecepatan telah mengikis sisi terdalam dimensi kehidupan kita. Hidup dihabiskan dalam siklus kerja/hiburan yang berjalan dengan tempo yang tinggi, sehingga memerangkap manusia dalam irama percepatannya, dan sebaliknya makin mempersempit waktu dan ruang bagi perjalanan kehidupan yang bermakna dan bernilai luhur (spiritual dan moral). Ekstasi percepatan/kecepatan di satu sisi meningkatkan durasi kesenangan, namun pada sisi lain mempersempit durasi spiritual.

Demi sisi terdalam dimensi kehidupan kita yang bermakna, maka tentunya dalam kecepatan itu pun, perlu menghadirkan Allah. Menghadirkan Allah dalam pemahaman imanen, bahwa Allah hadir dalam struktur alam semesta dan mengambil bagian dalam setiap proses kehidupan manusia. Satu contoh saja, korupsi yang menghancurkan negeri ini, sebenarnya karena dlama dimensi percepatan/kecepatan untuk menjadi kaya, tidak menghadirkan Allah (ridho Allah) dalam prosesnya, sehingga langkah salah yang bernama korupsi itu menjadi talkshow yang menarik dalam pentas keindonesiaan kita.

Kepanikan, kegelisahan akan suatu target adalah efek ketidakhadiran Allah, atau kita tidak menghadirkan Allah dalam setiap target, sehingga kecepatan yang sering menjelma menjadi ekstasi membuat kita mengalami perasaan tersebut.

Terkait dengan kecepatan untuk konteks yang berbeda, dalam buku Sejarah Tuhan, Karen Amstrong menegaskan bahwa “Tuhan memerintahkan Muhammad untuk mendengarkan makna yang tidak koheren itu dengan seksama dan dengan apa yang disebut oleh Wordsworth sebagai “Kepasifan yang bijaksana”.

Amstrong menambahkan “Dia tidak boleh tergesa-gesa memaksakan kata atau makna konseptual tertentu pada wahyu itu sebelum maknanya yang sejati terungkap pada saat yang tepat. “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya”. Ini pun bagi saya menegaskan satu pesan bahwa “hasrat akan kecepatan perlu diperhatikan untuk tidak menjadi ekstasi pada diri kita”.

Membaca buku Esai Tanpa Pagar karya Ahyar Anwar, dkk. ada hal menarik bahwa, “Finlandia yang menempati urutan pertama dalam urusan kinerja dan keberaksaraan, atau negara dengan kualitas pendidikan terbaik, justru menerapkan pendekatan di buku Carl Honore yang menawarakan gerakan lambat”. Filosofi gerakan lambat tidak berarti melakukan segala hal seperti siput, tetap mengatur irama dan memilih kecepatan yang tepat. jauh lebih penting menikmati waktu ketimbang menghitungnya.

Masih dari buku Esai Tanpa Pagar, dijelaskan bahwa, “Pada dekade tahun 1980-an, saya akrab dengan jarogan kreatif penumpas kejahatan yang masing-masing mengenakan warna topeng berbeda. Nama mereka diambil dari para jenius, seniman dan ilmuan abad pertengahan: Leonardo, Michael Angelo, Donatello dan Raphel. Mereka adalah Kura-Kura Ninja. Kura-kura merupakan hewan lambat, produktif, dan cerdas. Di beberapa kebudayaan, mereka menjadi lambing kebijakan dan kebajikan.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa, saya pribadi senantiasa merasa bersyukur karena Allah selalu hadir dalam “kecepatan” itu. Seringkali ketika seseorang mencoba untuk menjebak dan mendorongku dalam rekayasa atau membohongi waktu dengan hasrat kecepatan, maka serta merta alam mengambil alih sistem kendali diri ini untuk melakukan proses yang wajar. Dan tidak sampai hanya pada tataran itu, secara otomatis akan terbukti bahwa rekayasa dan kebohongannya itu benar adanya. Dan pada sisi lain, ketika sedang berada dalam jurang waktu, di mana kompromi tidak lagi meruang maka secara otomatis terkesan di luar kendali diri, semua bergerak bahkan melampaui batas kecepatan untuk membawa diri ini pada posisi yang tepat waktu. Saya yakin, itu karena Allah hadir di dalam kecepatan, menuntun diri ini.

Selain itu, saya pun ingin menegaskan bahwa tulisan ini sama sekali tidak bisa disimpulkan bahwa saya tidak sepakat dengan kecepatan sebagai konsekuensi logis dari perkembagnan teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply