Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Tertundanya Utopia Radikal (Bagian 2)

×

Tertundanya Utopia Radikal (Bagian 2)

Share this article

Oleh : Ermansyah R. Hindi
*) Anggota “Kelompok Pasca-Kiri Baru”/Mantan Kabid. IPTEK DPD IMM Sul-Sel

KHITTAH.CO- Anak-anak muda dan kaum pinggiran tidak lagi mampu beredar, kespontanan yang terlucuti, dan tidak lagi melawan realitas kesadarannya sendiri. Ia tidak mampu lagi mengatakan, bahwa kamilah garis terdepan untuk menentang semua ketidakbecusan ini akibat ia telah keluar dari penjelasan bagaimana berpikir lebih logis dan berbicara lunak. Mimpi atau harapan Ayah (utopia Kapitalis) menuntut Anaknya (kaum pekerja) harus beredar dan menuju padanya. Tetapi, semua penjelasan yang diberikan padanya tidak lebih dari perangkap, dan karena itu Anak akan leluasa melanggar batas-batas sebagaimana Ayah tidak lagi mampu memantulkan padanya suatu  karakteristik agung, sekalipun atas nama visi, fantasi, mimpi atau harapan masa depan.

Segala fantasi ideologi anak muda dan kaum pinggiran (Dunia Ketiga, miskin, kaum tertindas, buruh-petani, sebagai multitude-“banyak orang” yang tercampakkan) telah diredusir oleh utopia kapitalis. Melalui mesin kapitalis bersumber dari kaum pinggiran-kaum pekerja itu sendiri setelah diserap, dikuras, dan dikontrol sedemikian rupa, kaum pinggiran telah dijinakkan dan diritualkan bersifat mekanis melalui tubuhnya sendiri.  Selain itu, utopia kapitalis tidak tergantung pada kaum pekerja, tetapi bersumber dari energinya sendiri. Dalam akhir dari utopia sosialisme, anak-anak muda datang lebih cepat dibanding massa yang tidak kritis. Akibat ilusi ideologi terjadi, energi massa yang diserap dan tidak mampu dibiaskannya tiba-tiba berbalik ke arah Anak (kaum pekerja), karena kaum pekerja dan massa lainnya: mahasiswa, telah tergiring kedalam kelinglungan.

Kita tidak lagi melintasi batas apapun akibat pergerakan dari utopia revolusioner ke sejarah non dialektis, karena tidak ada lagi batas untuk dilintasi. Meskipun kita sudah lama tidak berada disitu, bukan hanya hari esok, sekarangpun masih menunggu terlalu lama datangnya fajar baru, manusia baru atau dunia baru. Apakah utopia sudah tidak diperlukan lagi? Ia nampak seperti mimpi di siang bolong menunggu titik balik fantasi revolusioner, sekalipun hari yang ditunggu belum terlambat datangya.

Tidak ada lagi batas yang kita harus lintasi, karena batas itu sudah tidak ada lagi bersama hilangnya nilai guna ditelan oleh nilai simbolik, dan esensi tidak nampak lagi di ujung arus peristiwa acak. Ataukah memang segalanya kita tidak memerlukan lagi radikalitas setelah utopia revolusioner berlalu begitu saja? Kini, mereka tidak selalu datang terlambat, karena ia seperti tubuh (Anak, kaum pinggiran) berjalan, bergerak, dan menentang takdir di tengah padang pasar nyata tanpa bayangan diri. Ia: Anak, kaum pinggiran berada di tengah rangkaian metamorfosis menuju pada sesuatu yang nampak tersingkapnya tabir fantasi atau mimpi diantara ‘tontonan baru dari panggung yang berbeda’, dimana diri kita ditemukan mengapung-ngapung bebas seperti benda-benda nampak ringan antara angkasa luar dan bumi.

Banyak orang  belum mampu keluar dari garis orbit yang tertular oleh virus yang mematikan melalui hiburan dari ide tentang “keadilan”, visi “Ekonomi Hijau-Biru”, fantasi “peleburan identitas”, mimpi “Tanah Esok”, atau harapan akan “Perdamaian Abadi” tidak lebih tampak seperti visi utopia. Fantasi atau mimpi utopia kapitalis (menguasai ladang minyak atau kekayaan Dunia Ketiga) memiliki kemiripan untuk menikmati hidangan masakan lezat, menonton layar lebar, mendaki gunung, membaca peta bumi, atau kesenangan berburu binatang.

Pada satu sisi, nilai demokrasi menjadikan  hambar, lenyap, dan absurd di seiring tindakan korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan berlangsung sampai saat ini. Sementara,  kejahatan radikal, transeksualitas radikal, dan perang radikal  berlangsung pada ‘taraf makna yang mati’. Sisi lain, pluralisme adalah hegemonik ditandai dengan korban ‘Hak Asas Manusia’ atau ‘toleransi’ terjatuh kedalam ilusi ideologi. Pada tingkat lebih kecil, utopia “Taman Firdaus” didambakan oleh keluarga yang senang makan malam bersama; melupakan hiruk-pikuknya kota dengan cara menghabiskan waktu liburnya di akhir minggu; atau mengakhiri rasa jenuh di rumah dengan menonton sinema bersama dengan teman-temannya.

Utopia radikal adalah “teater alien” yang menarik dirinya  dari mimpi masa depan. Utopia radikal merupakan retakan dan patahan dalam peristiwa yang tidak menuntut suatu tayangan tunda. Mimpi utopia tentang perdamaian abadi seperti antara Palestina dan Israel (kini, tragedi Aleppo Syria). Apa yang datang setelah semua kekacau-balauan jagat raya memasuki lubang besar, dimana tempo pembebasannya datang terlambat. Permainan fantasi ideologi di ruang publik merosot seiring masa permainan ‘kenikmatan puncak’ dari Ayah (rezim otoriter) menjadi akhir pemujaan diri dari Anaknya akibat mimpi masa depan tidak lagi penting diperjuangkan (seperti bercokolnya erzat capitalism atau crony capitalism sejak zaman Orde Baru di Indonesia). Kita tidak lagi menanggapi peristiwa lunak sebagai revolusi yang menyimpan bom waktu akibat bukan lagi dari ruang yang sumpek dan berdesak-desakan, tetapi akibat tidak tersalurkannya kenikmatan atau hasrat yang imanen terhadap sesuatu yang kasat mata. (*)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply