Oleh : Muh. Asratillah Senge
“Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta”
(Cairil Anwar)
Ada Yang Menuju Kematian
Mengapa bencana disebut “bencana” ? ini bukan sekedar soal penamaan, tapi juga soal kerentanaan “keberadaan” kita sebagai manusia. Manusia berada dalam situasi yang rapuh ujar eksistensialisme, apa yang kita cita-citakan, yang kita rencanakan sedemikian rupa, yang kita upayakan sedari dulu, dalam hitungan detik bisa lenyap begitu saja. Yah ibarat seseorang yang baru menyadari sambil terheran-heran, jika jam tangan yang dia kenakan di pergelangan tangan, tiba-tiba saja raib oleh ulah sang copet. Begitu pula dengan Sang Bencana, datang dengan ketiba-tibaannya, bahkan terkesan licik, merebut apapun dari kita, merenggut hal yang dicintai ataupun yang sepele dan membuat kita selalu merasa “tak habis pikir” mengapa “ini terjadi pada diri saya”.
Saya tidak bisa memastikan, apakah para korban ataupun kerabat korban gempa serta tsunami Palu-Donggala lampau hari, merasa ataupun berpikir seperti paragraf di atas. Tapi dari dokumentasi yang ada, jelas terlihat adanya kepanikan, keheranan, ketakutan, kecemasan dan tentunya harap (karena mereka melantunkan doa) yang semuanya bercampur aduk oleh sebuah “mixer” luar biasa besarnya tapi tak terlihat dalam satu momen tertentu. Mungkin dalam momen seperti itu, tercipta semacam singularitas atau “lubang hitam” yang menganga, menyedot semua intensionalitas kesadaran kita. Dan melalui dokumentasi yang ada, naluri untuk bertahan hidup dan perilaku kasih/altruisme untuk menolong sesama dari dampak bencana hampir hadir secara besamaan, tak ada “egoisme bertahan hidup” sepenuhnya dan tidak ada “altruisme” sepenuhnya.
Lalu duka pun menyelimuti pasca bencana terjadi, derita dan kematian menjadi semacam adegan penutup, dan seakan meng-amin-kan perkataan Heidegger bahwa manusia adalah sein-zum-tode “ada menuju kematian”. Dan tentunya yang paling mencemaskan dari kematian adalah bukanlah kematian itu sendiri, tetapi ketidakjelasan “kapan” dia menghampiri.
Merasionalisasi Bencana
Heidegger pernah berujar, sebagaimana yang dikutip oleh Demske (1970), bahwa kematian bukanlah keberhentian-untuk-menjadi, tetapi sebuah cara berada itu sendiri. Lain kata kematian memiliki posisi penting bagi kehidupan, yaitu ada dalam rangka menghidup-hidup kehidupan, dan inilah barangkali yang menjadi hasrat purba dari lahirnya segala bentuk pengetahuan dan teknologi. Dan ini juga sedikit banyaknya mengaminkan tesis Freudian bahwa peradaban pada dasarnya adalah “hasrat” yang mengambil jalan memutar, dimana hasrat memiliki dua wajah yang berdampingan dan saling mengandaikan, yaitu eros (elan-kehidupan) dan thatanos (elan-kematian).
Setelah bencana Palu-Donggala terjadi, tetiba kita mencoba mencari kejelasan dan penjelasan di tengah-tengah kabut duka dan kecemasan yang begitu tebal. Kita lalu menjangkarkan penjelasan kita pada bidang keilmuan yang paling mungkin untuk menerangkannya (dalam hal ini salah satunya adalah Geologi), di sertai dengan beberapa perangkat-perangkat teoritis yang relevan dengan situasi bencana (Geologi Dinamik, Geologi Struktur, Teori Lempeng Tektonik dan Geoteknik). Lalu kita sebutlah bahwa biang keladi dari gempa dan tsunami yang terjadi, bermula dari kerak bumi kita (yang disangka stabil dan diam) yang tak pernah diam, bergerak terus-menerus, bahkan saling berinteraksi (saling menjauh seperti di tengah samudera pasifik yang melahirkan kepualan Hawaii, saling bertubrukan seperti di sebelah barat Sumatera yang memicu tsunami Aceh, dan saling bergesekan seperti di patahan Sand-Andreas di Amerika Utara).
Celakanya, Indonesia menjadi semacam titik destinasi bersama dari tiga lempeng tektonik utama di Bumi, Indonesia menjadi wilayah pertemuan antara Lempeng Eurasia dimana Pulau Kalimantan termasuk di dalamnya, Lempeng Pasifik dan Lempeng Indo-Australia. Pertemuan ketiga lempeng ini, konon menciptakan karakteristik khas pada pulau sulawesi dan melahirkan sebuah salah satu sesar geser yang paling aktif di dunia yaitu sesar Palu-Koro (Palu Koro Fault). Apa itu sesar ? yang semacam dua blok raksasa batuan yang saling bergesekan satu sama lain, dan inilah nanti yang bisa menyebabkan gempa dan akhirnya memicu gelombang tsunami di Palu.
Tapi Sains tak hanya puas menjelaskan mekanisme kejadian sebuah fenomena alam, sains berusaha mereplikasi variabel-variabelnya, lalu mengeksperimentasikannya jika perlu memprediksikannya. Dan ini terlihat dari berbagai wawancara di stasiun TV, pertanyaan yang selalu host layangkan kepada ahli geologi adalah “apa mekanisme penyebab gempa dan tsunami ini ? “, “apakah gempa selanjutnya bisa diprediksi ?”. Dan itulah rasio dan sains, selalu berusahan untuk menaklukkan ketidakjelasan, dan memang ketidakjelasan seringkali menjadi biang keladi dari kebodohan, tapi bencana alam dan kematian memiliki ketidakjelasan yang berbeda, karena bukan sekedar menyangkut tentang bodoh dan mengetahui (tau tidaknya kita tentang mekanisme bencana alam dan antisipasi terhadapnya), tapi berkaitan dengan garis yang berbatasan dengan kematian.
Karena kita tidak bisa memprediksi, maka kita pun berusaha memetakan daerah-daerah yang berpotensi terkena dampak gempa dan tsunami. Merekomendasikan regulasi tata ruang dan standar bangunan yang disesuaikan dengan potensi bencana. Walaupun begitu hati kecil kita pun tetap berkata, dengan semua antisipasi yang kita lakukan, kematian akan tetap menghampiri, dan inilah yang menjadi pangkal kecemasan manusia. Lalu apakah itu berarti, bahwa sikap yang paling bijak adalah pasrah sepenuhnya ? agar cemas bisa dikalahkan ?. Jawabnya tidak.
Bencana dan Penyingkapan Dasein
Kecemasan (dalam artian eksistensial bukan dalam artian psikologi klinis) bukan ada untuk dipadamkan, tapi ada justru untuk “dirangkul”, karena apa ? bagi Heidegger kecemasan adalah “privileged locus” dari penyingkapan ada manusia (Dasesin). Kecemasan membuat manusia sadar akan interioritas dirinya, tanpa harus terperangkap sepenuhnya dengan benda-benda (uang, teknologi, properti dll.), dan tentunya akan membuat membuat manusia memahami interiotas “yang lain”. Dari sebuah video tsunami Palu misalnya, membuat seseorang yang merekam peristiwa luar biasa tersebut, tiba-tiba “beristigfar” yang sebenarnya lebih pada “meneropong ke dalam diri sendiri” atau “menengok interioritas diri sendiri”.
Kecemasan, membuat kita melakukan upaya-upaya melampaui “kematian”, artinya apa ?, kecemasan (yang sebabnya hanya dan hanya lah kesadaran akan kematian), justru membuat Dasein (manusia) menyeruakkan kemungkinan-kemungkinan keberadaannya. Teknologi, kebudayaan, peradaban, sains, sastra, filsafat dan mitologi adalah sedikit dari sekian banyak kemungkina-kemungkinan keberadaan manusia. Maka dari itu Sains penting dalam memberikan penjelasan, tapi kita juga membutuhkan obor dari filsafat, lantunan dari sastra, buaian dari mitologi, hangatnya kepedulian dan sejumput doa, agar kita bisa utuh saat menghadapi petaka, jikalaupun kematian tak terhindarkan kita tetap autentik saat dipeluknya.
Sehingga dibutuhkan sikap yang arif dalam situasi seperti ini, apakah posisi kita sebagai korban ataupun bukan. Dan sebuah ungkapan berkata “kearifan sesungguhnya adalah, buah dari pelampuan ego pribadi”.
Pray For Sulteng